Sejarah Provinsi Jambi dan Hal-Hal yang Belum Terungkap


Awal terbentuk provinsi Jambi, 6 Januari 1957

Oleh: Jumardi Putra*

Pembicaraan seputar sejarah berdiri provinsi Jambi selama ini selalu dalam satu tarikan nafas, yaitu peralihan rezim kekuasaan, terutama dikerucutkan pasca terbitnya Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, serta proses realisasi provinsi Jambi dengan pengisian djawatan-djawatan strategis sebagai konsekuensi logis dari sebuah daerah otonom yang berhubungan secara langsung dengan pemerintah pusat.

Sedangkan sejarah sosial yang melingkupinya, terutama awal mula digelorakannya tuntutan Jambi menjadi daerah otonom (sejak 1 Januari 1950 masuk ke dalam wilayah kekuasaan Sumatera Tengah bersama Sumatera Barat dan Riau) hingga peresmiannya kelak, baik secara defacto (6 Januari sebagai momen proklamasi provinsi Jambi dan 8 Februari 1957 sebagai hari peresmian Provinsi Jambi), dan secara dejure menyusul belakangan setelah dikeluarkannya Undang-undang Darurat 1957, boleh dikata terabaikan, apalagi sisi kontroversinya.

Ambil misal, warga masyarakat (terutama kaum terdidik) tidak mendapati informasi secara komprehensif kondisi sosial-ekonomi masyarakat Jambi masa itu, sehingga alasan utama di masa awal penguasa Sumatera Tengah yang mengatakan bahwa usulan Jambi ingin menjadi daerah otonom alias berpisah dari Sumatera tengah tidaklah relevan. Sementara saat yang sama, rakyat Jambi justru berkata sebaliknya yaitu dengan bergabung ke dalam Sumatera Tengah, pembangunan Jambi berjalan lamban. Dengan kata lain, agar Jambi bisa lebih maju harus keluar dari Sumatera Tengah.

Publik juga tidak mendapati informasi yang memadai catatan atau sejarah keberadaan organisasi selain Badan Kongres Rakyat Daerah (BKRD) Jambi beserta tokoh-tokoh di dalamnya, yaitu kaum pejuang republiken, kalangan militer, ulama, partai Masyumi dan bahkan PKI, yang menjadi bagian dari proses menuju realisasi Provinsi Jambi kala itu.

Kita juga tidak mengetahui keberadaan organisasi pemuda di tahun 1954, yaitu Front Pemuda Djambi (FROPEDJA) dan Himpunan Pemuda Merangin Batanghari (MERBAHARI), yang di masa awal tiada henti mendesak Badan Kongres Rakyat Daerah (BKRD) Jambi untuk segera merealisasikan Keresidenan Jambi sebagai daerah otonom alias tidak lagi di kaki kekuasaan Sumatera Tengah. Bahkan, bila tuntutan tersebut tidak terealisasi, mereka akan mengambil sikap sendiri sesuai keadaan di lapangan.

Begitu juga publik tidak mendapati kajian mendalam tarik menarik kepentingan dalam internal Badan Kongres Rakyat Daerah Jambi (BKRD) dalam hubungannya dengan pemerintah pusat, penguasa sumatera tengah, residen se-Sumatera, Dewan Banteng, penguasa militer T.T II Sriwijaya, serta strategi diplomasi “Perundingan Segi Tiga” yang dipakai berkali-kali.

Sementara saat yang sama, gelora pelbagai kelompok organisasi pemuda pada tanggal 10 sampai 24 Juni 1957 terus bermunculan, untuk menyebut contoh, seperti Gerakan Pembela Provinsi Jambi (GPRD), yang diikuti kemudian dukungan secara resmi oleh DPP Himpunan Pemuda Daerah Jambi, DPC Gerakan Pemuda Ansor Kota Pradja Jambi, DPAC GPII Marga Mestong, DPC Persatuan Bekas Pejuang Bersenjata Seluruh Indonesia (PERBEPSI) Kab. Batanghari, Kaum Veteran Kabupaten Bataghari, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Kab. Batanghari, Komite PKI Jambi, Dewan Pimpinan Daerah Besar (DPDB), serta dukungan dari Persatuan Keluarga Kerintji (PKK) pada 22 Juli 1957 (yang isi butir di dalam surat itu, kepada pemerintah pusat agar tingkat II kabupaten Kerintji dikembalikan ke dalam wilayah Jambi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya), terbitnya Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang pembentukan Daerah-Daerah Watantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau.

Tidak hanya itu, yang tidak kalah penting yaitu generasi sekarang tidak mengetahui isu-isu kontraproduktif yang berkembang di kalangan warga masyarakat Jambi sepanjang diplomasi BKRD dengan pemerintah pusat, residen se-Sumatera, Dewan Banteng, dan penguasa militer T.T II Sriwijaya, dan bagaimana pula BKRD bersama kalangan organisasi sipil lainnya, tidak saja meredam, tapi tiada henti menggelorakan tuntutan Jambi berdiri sebagai daerah otonom.

Dan, perlu juga dicatat, mungkin sebagian besar dari kita tidak mengetahui lokasi dan tempat-tempat penting selain gedung residen Jambi (kini dipakai oleh Polair), yaitu Gedung Bioskop Murni dan bioskop Capitol, dua tempat terselenggarannya kongres rakyat Jambi, yang menjadi saksi bisu terus bersamainya gagasan untuk menjadi daerah tingkat I, provinsi Jambi.

Sejarah itu kompleks. Di situ sejarah tidak melulu tentang perebutan dan peralihan dari satu rezim kekuasaan ke rezim berikutnya, tetapi bagaimana mengungkai kesadaran kritis dan gagasan progresif itu membumi dan bekerja. Di situ sejarah tidak melulu tentang “orang-orang besar”, tapi juga orang-orang kecil, yang tidak tercatat dan akhirnya terlupakan dalam catatan sejarah. Pun demikiaan hal-hal yang menjadi rintangan sekaligus sisi kontroversi yang melingkupinya. Semua perlu mendapat tempat untuk dipercakapkan.

Membicarakan hal-ihwal masa awal hingga berdirinya provinsi Jambi adalah jalan bagi kita, tidak saja untuk bersikap arif, tetapi sekaligus kritis terhadap masa lampau, korelasinya dengan masa kini, dan sudah barang tentu menyongsong hari depan Provinsi Jambi, yang sejahtera, sebagaimana tjita-jita rakyat Jambi.

*Tulisan penulis buat sebagai TOR Dialog Beranda Budaya TVRI Jambi pada tanggal 1 Agustus 2017.

*Tulisan saya lainnya:

(1) Hanafie: Gubernur Pertama Jambi (yang) Gagal Dilantik

(2) Jalan Berliku Berdirinya Provinsi Jambi

(3) Napak Tilas Sejarah Provinsi Jambi: Warisan Usman Meng

(4) Sejarah Kontoroversi Elit Jambi

(5) A. Mukty Nasruddin: Penulis Sejarah Jambi yang Dilupakan

0 Komentar