Hasta Siempre, Viejo Querido: Belajar dari Jose Mujica

Jose Alberto Mujica Cordano. Sumber: http://expreso.ec

 

Oleh: Jumardi Putra*

Medio Mei 2025, pelbagai kantor berita baik dalam maupun luar negeri gencar memberitakan kepergian sosok Jose Alberto Mujica Cordano yang dikenal sebagai "Pepe" Mujica. Ia wafat pada 13 Mei 2025 di rumah pertaniannya di Rincón del Cerro, Uruguay, kurang dari tujuh hari lagi genap berusia 90 tahun sebagai tonggak kelahirannya yaitu 20 Mei 1935.

Kepergian Mujica ditangisi bangsa-bangsa Amerika Latin. Presiden Uruguay Yamandu Orsi, Selasa (13/5/2025) siang waktu Montevideo atau Rabu dini hari WIB menulis di laman resminya, ”Dengan kesedihan mendalam, kami mengumumkan wafatnya kamerad kami, Pepe Mujica. Presiden, aktivis, pemandu, dan pemimpin. Kami akan sangat merindukanmu”.

Mujica merupakan seorang mantan gerilyawan yang menjadi Presiden Uruguay mulai 1 Maret 2010 hingga 1 Maret 2015. Ia dikenal sebagai "Presiden termiskin di dunia". Tersebab cara hidupnya yang sederhana sebagai Presiden, Mujica menjadi tokoh politik yang terkenal di Amerika Latin dan sekitarnya. Bahkan, bagi seorang presiden yang hanya mengurusi penduduk Uruguay sebanyak 3,4 juta jiwa, popularitas globalnya mengalahkan nama-nama Presiden negara lainnya semasa menjabat.

Hasrat Mujica terhadap politik, buku-buku, dan bahkan bercocok tanam, nyatanya diturunkan oleh ibunya. Dari sang ibu pula yang membesarkannya di rumah mereka yang tergolong kelas menengah di Montevideo, ibu kota Uruguay.

Merujuk rilis pelbagai media, sewaktu muda, Mujica merupakan anggota Partai Nasional, salah satu kekuatan politik tradisional Uruguay. Belakangan partai itu menjadi oposisi berhaluan kanan-tengah terhadap pemerintahannya. Usut penya usut, sikap sederhana Mujica tidak hanya terhadi dalam urusan politik, melainkan juga di luar dunia politik.

Mujica diketahui pernah melarikan diri dari penjara dua kali, salah satunya melalui terowongan bersama 105 tahanan MLN-T lainnya, dalam salah satu pelarian terbesar dalam sejarah penjara Uruguay. Tidak kurang dari 14 tahun ia habiskan di penjara pada 1970-an dan 1980-an. Pada periode itu ia disiksa dan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kondisi terisolasi. Barulah 1985 ketika Uruguay kembali ke sistem demokrasi, Mujica dibebaskan.

Di tengah situasi politik Uruguay yang mencekam itu, Mujica mengaku pernah mengalami kegilaan, menderita delusi, dan bahkan berbicara dengan semut selama berada di penjara. Tak pelak, bagi setiap pejuang politik berlaku sebuah adigium penjara adalah universitas baginya, sehingga hari ketika ia dibebaskan merupakan kenangan terindahnya. Mujica berkata, "Menjadi Presiden tidak ada apa-apanya dibandingkan jejak langkah saya dalam masa pergerakan."

Beberapa tahun setelah dibebaskan, ia menjabat sebagai anggota parlemen baik di DPR maupun di Senat, majelis rendah dan tinggi negara tersebut. Selanjutnya, pada 2005 ia menjadi menteri dalam pemerintahan pertama Frente Amplio, koalisi sayap kiri Uruguay. Lima tahun kemudian, Mujica terpilih sebagai presiden Uruguay.

Saat dilantik sebagai Presiden, ia sudah berusia 74 tahun, dan masih belum dikenal khalayak dunia. Namun, pemilihannya menandai momen penting bagi sayap kiri Amerika Latin. Mujica menjadi pemimpin bersama presiden sayap kiri lainnya seperti Luis Incio Lula da Silva di Brasil dan Hugo Chvez di Venezuela.

Latar belakang pergerakan (termasuk menjadi tahanan dan sandera politik), sikap dan pandangan politik Mujica bisa tuan dan puan telusuri di pelbagai sumber pemberitaan baik dalam maupun luar negeri, tapi yang menarik buat saya adalah pandangan sekaligus sikapnya sebagai Presiden selama memimpin.

Selama menjabat Mujica menolak pindah ke kediaman presiden, galibnya dilakukan kepala negara di seluruh dunia. Sebaliknya, ia tinggal bersama istrinya, politikus dan mantan gerilyawan Luca Topolansky di rumah sederhana mereka di pinggiran Montevideo, tanpa pembantu rumah tangga dan sedikit personel keamanan. Dia juga kerap berpakaian kasual dan sering terlihat mengendarai Volkswagen Beetle 1987 biru muda. Bahkan, Mujica juga menyumbangkan sebagian besar gajinya. Sejak itu, beberapa media menyebutnya "presiden termiskin di dunia". Tidak hanya itu, tidak seperti pemimpin lain di wilayah tersebut, ia tidak pernah dituduh melakukan korupsi atau merusak demokrasi negaranya.

Pada akhir pemerintahannya, Mujica memiliki peringkat popularitas domestik yang tinggi (hampir 70%) dan terpilih sebagai senator. Kompas menulis total kekayaan Jose Mujica tidak sampai Rp 3 miliar terhitung sejak menjadi senator dan Presiden. Bahkan, selama jadi presiden, ia cuma ambil gaji 800 dollar AS.

Kendati kerap disebut sebagai Presiden Termiskin di Dunia, Mujica selalu menolak sebutan itu. “Tidak, bukan. Miskin adalah mereka yang menginginkan lebih [...] karena mereka berada dalam persaingan yang tak ada habisnya,” katanya dalam sebuah wawancara bersama BBC tahun 2012 di rumahnya.

"Jadi, apa yang menarik perhatian dunia? Bahwa saya hidup pas-pasan, rumah sederhana, dan saya berkeliling dengan mobil tua? Jadi, dunia ini gila karena terkejut dengan [apa yang] biasa saja," ujarnya sebelum masa jabatannya rampung dan dilanjutkan oleh penerus politiknya yaitu Yamand Orsi, sang Presiden Uruguay yang baru.

Pandangan Mujica itu hemat saya benar-benar menohok bagi pikiran dan hati yang durja. Sosoknya adalah contoh yang tepat bagi pejabat di negeri ini. Dengan kata lain, Mujica berhasil melewati segala macam keinginan yang sejatinya itu mudah bagi dia untuk mendapatkannya sebagai seorang presiden, walakin ia sadar penghasilan dalam jumlah besar mungkin akan memuaskan ego-materinya, tapi nyatanya ia menerima penghasilan secara cukup (tidak berlebihan) dari sebuah amanat yang diberikannya. Demikian itu jelas menunjukkan kesadaran seorang pribadi yang menempatkan hati dan jiwa di atas limpahan materi (kekuasaan dan uang).

Film dokumenter Pepe Mujica

Bila Tuan dan Puan luang waktu, perlu menonton film dokumenter tentang José Mujica ini melalui link berikut ini https://www.youtube.com/watch?v=kGHZlqcVx-s. Film dokumenter ini menawarkan pandangan yang kuat dan intim, juga eksentrik dalam kehidupannya yang sederhana. Film yang disutradarai Heidi Specogna ini mengeksplorasi keyakinan Mujica tentang kebebasan, kapitalisme, keberlanjutan, dan apa artinya menjalani kehidupan yang bermakna. Sebuah film dokumenter yang memadukan hasil wawancara pribadi, rekaman di balik layar, dan refleksi tentang beberapa reformasi politik yang diperjuangkan Mujica sebagai presiden, seperti legalisasi ganja dan upaya untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan.

April 2024 Mujica mengumumkan bahwa ia didiagnosa mengidap kanker eofagus. Ucapannya bahwa dirinya semakin mendekati ajal menjadi lebih sering terucap. Walakin, dia selalu mengucapkan hal itu sebagai sesuatu yang wajar, tanpa drama.

Bahkan, dalam wawancara terakhirnya dengan BBC pada bulan November, ia berkata: "Orang tahu bahwa kematian tidak dapat dihindari. Dan mungkin itu seperti garam kehidupan."

Lagi dan lagi, pada Mujica Cordano, masing-masing kita perlu belajar, terutama untuk para pejabat di republik ini bahwa hiduplah dengan sederhana (tidak mementingkan materi secara berlebihan, apalagi jika sampai melakukan korupsi), bekerjalah dengan sepenuh jiwa dan raga, penuh integritas, fokus pada kebutuhan riil sekaligus jangka panjang masyarakat, dan berani melawan sistem yang tidak adil. Pemimpin dengan tipe demikian itu layak mendapatkan penghormatan dari seluruh rakyatnya, seperti kepergian Mujica akan selalu dikenang oleh warganya, seperti kalimat pada spanduk di kantor pusat MPP, partai Mujica, berbunyi “Hasta siempre, viejo querido”, sebuah ungkapan pamit yang penuh cinta dan kasih sayang teramat dalam.


*Kota Jambi, 23 Mei 2025. 


*Sumber referensi:

0 Komentar