![]() |
Biografi Eri Argawan (Mei 2025) |
Oleh: Jumardi Putra*
Selamat menempuh masa purnatugas bang Eri Argawan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), tapi tidak sebagai seniman. Rasanya harapan itu tidaklah berlebihan, kalau
bukan debatable. Tahniah
juga buat Bung Wendy atas karya biografi ketiganya (setelah sebelumnya menulis
biografi perupa Fauzi Zubir dan budayawan Jafar Rassuh). Keduanya, baik Eri
Argawan maupun Wendy, saya kenal dan bahkan dalam beberapa kali kesempatan menjadi
bagian dari kelompok diskusi kecil yang mempercakapkan ide pemajuan
kebudayaan Jambi, terutama mendorong penguatan regulasi bidang kebudayaan.
Perayaan kelahiran buku
biografi Eri Argawan Sabtu malam bebarengan dengan peringatan Hari Buku Nasional
yang jatuh pada 17 Mei 2025. Jadi, boleh dikata hari elok ketiko baik. Atas dasar itu pula saya menghadiri perayaan
buku biografi itu di Taman Budaya Jambi (TBJ) plus menonton hingga selesai
monolog berjudul “Pada Waktunya” karya sutradara teater cum penyair EM
Yogiswara yang diperankan Eri Argawan sendiri (sosok yang punya hajatan). Hanya
saja saya undur diri terlebih dahulu dari panggung perayaan, sehingga maaf nian
tak sempat beramah-tamah dengan budayawan/seniman yang hadir hingga penghujung
acara.
Saya awam dalam dunia teater, tapi setelah menyaksikan Eri Argawan yang juga adalah Kepala Taman Budaya Jambi, memerankan sosok lelaki—lebih-lebih mantan pegawai negeri sipil—jatuh dalam kegalauan memaknai masa purnatugas--boleh dikata menabalkan yang semula menjadi keraguan saya pribadi bahwa Eri Argawan nyatanya memiliki rekam jejak sebagai aktor dalam perjalanan karir keseniannya. Kendati dikenal luas sebagai koreografer/penari dan menjadi otak di balik Sanggar Seni Sekintang Dayo—yang banyak melahirkan penari--sejatinya menjelaskan makna di balik judul buku biografi Eri Argawan.
Meski demikian, pelbagai tafsir atas buku ini terbuka
luas, sebut saja seperti signifikansi kontribusi Eri Argawan selaku pekerja seni dengan filosofi “Lah Puar Jelutung
Tumbuh”—dengan pelbagai karya tari, teater, musik dan kegiatan seni—yang juga dirinya
adalah birokrat kesenian. Saya pikir hal itu tidak banyak disinggung dalam buku
ini oleh penulis biografi. Biarlah itu menjadi tugas para peneliti yang menaruh
minat pada ekosistem kesenian, terutama seni tari di Provinsi Jambi.
***
Tersebab penasaran, setiba di
rumah saya segera membaca buku berjudul Tarian Sang Aktor ini. Dari judulnya
menyiratkan dua hal, bak dua sisi dalam satu keping mata uang yaitu Eri Argawan
selain seniman tari, adalah juga aktor teater. Sesuatu yang mungkin belum
banyak diketahui publik seni Jambi. Setidaknya malam itu saya membaca sampai
lembar halaman 53. Tutup buku, lalu
tidur. Hasil bacaannya pun saya endapkan.
Malam berikutnya, 18 Mei
2025, lepas Magrib saya membuka kembali buku itu. Setidaknya butuh 1 jam 30
menit bagi saya menuntaskan keseluruhan isi buku ini seraya mencatat poin-poin
penting yang saya temukan di sepanjang pembacaan, berikut ini:
Pertama, saya menjadi tahu
sosok pria kelahiran 23 Juli 1967 ini sebelum kini ia dikenal sebagai
penari/koreografer, ia juga bergelut di lapangan seni teater, bermula dari
keikutsertaannya di Sanggar Merah Putih pimpinan Arifin Ahmad, seniman teater
jebolan Akademi Senirupa (Asdrafi) Yogyakarta era 1990an. Sebagai seorang anak dari
orang tua (pasangan Anwar EBG Mulia bin Sutan Buyung Mulia dengan Sulastri)
yang memilih berpisah hingga diasuh oleh nenek-kakek yang merupakan pensiunan
tentara dengan tempaan keras tapi tidak pelit apresiasi, lalu tumbuh hingga
remaja--dengan segala dinamika, melanjutkan bangku sekolah mulai dari SD-SMA
hingga kuliah-ia menaruh minat dan ketertarikan pada seni teater, tanpa
meninggalkan seni tari yang juga ia geluti terlebih dahulu era medio 1980an
atau masa sekolah SMP di bawah binaan langsung pamannya sendiri yaitu seniman
tari Darwin Asri (sosok seniman Jambi yang pernah nyantri pada tahun 1978 selama
10 bulan di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja—ayah dari Butet Kertarajasa).
Ringkasnya, lepas kuliah dari
kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jambi, ia mesti mencari kerja, wujud
dari keseriusannya meminang sang kekasih kelahiran Bungo—yang kini menjadi
istrinya yaitu Yuherlis. Bermula sebagai pekerja swasta di sebuah swalayan
milik orang kaya Jambi Nurdin Hamzah dan selanjutnya menjadi PNS di lingkup pemerintahan Kota Jambi, itu pun
dengan catatan tidak langsung bekerja di Dinas Kebudayaan (di sinilah Eri
menyebut ada peran dari Sekretaris Daerah Chalik Saleh yang melihat
kepiawaiannya, sehingga memindahkan tugasnya dari semula pegawai kota menjadi pegawai provinsi di bidang seni), melainkan sempat mengabdi di Satpol PP dan Dinas
Sosial.
Kedua, saya menjadi tahu
kisah perjalananan Sanggar Seni Sekintang Dayo, dengan segala pernak-perniknya--yang
boleh dikata dalam kurun waktu tertentu diuntungkan (kalau bukan diistimewakan)
berkat dukungan fasilitas kesenian dari Pemerintah Kota (rumah dinas masa
kepemimpinan Wali Kota Jambi, Sabki) dan Pemerintah Provinsi Jambi melalui TBJ di
masa kepemimpinan Jafar Rassuh. Meski demikian, pasang surut Sekintang Dayo di
luar fase itu tidak boleh diabaikan baik sebelum dan setelah mendapat dukungan
fasilitas itu, sehingga menjadi bagian dari proses yang membentuk Sekintang Dayo
bisa bertahan hingga sekarang. Buku ini menjelaskan momen-momen jatuh bangun
itu.
Ketiga, saya menjadi tahu
beberapa seniman di Jambi yang menjadi bagian dari proses perjalanan Eri
Argawan sejak usia remaja hingga sekarang. Nama-nama itu sebagian masih hidup
dan sebagiannya lagi sudah wafat. Tentu saja nama-nama itu perlu mendapat
tempat dan dicatat di ranah kebudayaan Jambi. Mereka antara lain Darwan Asri (almarhum--yang
tak lain adalah pendiri sanggar Melati), Aifin Ahmad, Yoyo Suharyoso, Asmara,
Aris (Ketiganya dari Sanggar Merah Putih), Samsul Watir (jurnalis/seniman),
Jafar Rassuh, Jayusman, EM Yogiswara, dan Sri Purnama Syam.
![]() |
Aksi monolog Eri Argawan atas karya EM Yogiswara |
Selain seniman Jambi, pada masa awal ketertarikannya pada teater, terutama saat Eri Argawan mengunjungi Jakarta, tepatnya masa-masa bertemu dengan ayahnya—usai lama berpisah dengan ibunya, ia melihat dari jarak terdekat seniman ternama di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yaitu Didi Petet, Teguh Karya, Slamet Rahardjo dan Joze Rizal Manua. Bagi mereka yang menggeluti dunia peran, nama-nama itu tentu familiar. Meski tidak belajar langsung dari nama-nama beken itu, tapi Eri Argawan mengakui terinspirasi dan menjadikan dirinya tertarik menggeluti dunia teater.
Momen melihat proses teater orang-orang beken itu terjadi tidak saja saat dirinya berusia tamat sekolah dasar, tapi juga terulang kembali saat dirinya berniat melanjutkan kuliah di IKJ, tapi gagal. Dalam masa penantian yang tidak jelas itulah ia kembali melihat proses teater Teguh Karya, Slamet Rajardjo, Putu Wijaya dan Joze Rizal Manua. Makin keracunan seorang Eri Argawan menggeluti dunia teater (begitu penulis memberi istilah) dalam buku ini (halaman 40).
Keempat, di buku ini lebih
banyak narasi yang menceritakan perjalanan personal Eri Argawan (tidak lepas
dari peran kakek-nenek semasanya kecil dan kontribusi sang istri—yang tak lain
adalah orang terdekat turut membesarkan Sekintang Dayo) sebagai seniman yang
pernah terlibat aktif di sanggar teater, meski makin ke ujung dari buku ini
lebih banyak menceritakan perannya di balik layar tumbuh kembang Sekintang Dayo.
Seraya hal itu, perlu diketahui bahwa sejarah kelahiran Sekintang Dayo bukan
semata oleh Eri Argawan sendiri, melainkan tersebut nama Jayusman dan
EM. Yogiswara di masa-masa awal (Halaman 50). Keabsahan atau validitas tahun
kelahiran Sekintang Dayo memang sempat membingungkan saya selaku pembaca,
karena memuat informasi berbeda terkait tahun awal kelahiran Sekintang Dayo (lebih
lanjut baca halaman 36 dan 50).
Kelima, hal-ihwal Eri Argawan sebagai Kepala Taman Budaya Jambi tidak banyak penjelasan dalam buku ini, kecuali pandangan seniman yang berinteraksi dengannya seperti EM Yogiswara plus akademisi Prof. Mahdi Bahar, akademisi dari Universitas Jambi dan Armen, akademisi dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. Ukuran/indikator kesuksesan sebagai kepala TBJ tentu terbuka dipercakapkan, selain soal gaya kepemimpinan, gaya komunikasi serta dukungan fasilitas kesenian bagi seniman Jambi baik individu maupun kelompok sanggar. Usia TBJ tidak lagi muda (berdiri sejak 1992), dengan demikian keberadaannya harus memberikan manfaat bagi ekosistem kesenian di Provinsi Jambi.
Segendang sepenarian, yang
tidak kalah penting adalah sejauhmana kualitas program/kegiatan selama Eri Argawan memimpin
TBJ di mata seniman maupun kelompok seni. Salah satu isu krusial yang tak
kunjung mewujud saat ini adalah minimnya, kalau bukan tidak ada—tradisi kritik
seni dalam setiap perhelatan kesenian di Provinsi Jambi. Di dalam buku ini
sempat sedikit disinggung tradisi kritik muncul hanya menyasar
perseorangan atau individu seniman, bukan pada ranah kritik atas karya seni
yang (katanya) membangun. Tersebut nama Maizar Karim dan Sudaryono, keduanya
adalah akademisi sastra dan tradisi lisan dari Universitas Jambi, yang dinilai
memiliki perhatian pada kritik sastra/seni, tapi belum menunjukkan hasil yang
signifikan hingga saat ini terasa bahwa giat seni Jambi tuna kritik seni
(halaman 45).
Keenam, buku ini ditulis
mengalir sehingga mudah dipahami khalayak pembaca, khas jurnalis saat menulis reportase.
Diksi/bahasa yang digunakan penulis juga sederhana, jauh dari kehendak ingin terlihat intelek dengan diksi-diksi yang sulit dimengerti. Pada
takaran tertentu—subjektif saya pribadi--kadar narasinya tidak sesublim dua
buku sebelumnya yaitu biografi perupa Fauzi Zubir dan budayawan Jafar Rassuh.
Saya tidak tahu mengapa, apa mungkin linimasa pengerjaan buku Tarian Sang Aktor
ini lebih singkat daripada pengerjaan dua buku sebelumnya. Atau ada pertimbangan
lain? Semua terpulang kepada penulis buku ini.
Saya juga masih menemukan kesalahan
minor pada teknis penulisan di buku ini, seperti penulisan awal kata (di) pada
beberapa bagian di dalam buku ini antara (di)gabung atau (di)pisahkan, kata “detil”
(seharusnya detail), modrenitas (harusnya modernitas), dan beberapa kata
lainnya lainnya. Begitu juga penulisan huruf kapital pada kata dalam kalimat endorsement Prof. Mahdi Bahar yaitu pada
kata (B)erpikir dan (T)erbelenggu di kaver depan buku. Mungkin ini tampak
sepele, tapi cukup mengganggu.
Ketujuh, sub bagian berjudul
“Kata Mereka” pada halaman 130-134 lebih tepat diletakkan pada bagian akhir dari
rangkaian narasi perjalanan sosok Eri Argawan dalam biografi ini, karena isinya
merupakan testimoni dari sahabat dan orang-orang yang pernah berinteraksi dan
bekerjasama semasa Eri Argawan menjabat sebagai Kepala Taman Budaya Jambi, yang
juga dalam waktu bersamaan sebagai seniman—mewakili Sanggar Seni Sekintang Dayo
secara kelembagaan.
Kedelapan, buku biografi ini mengangkat fase kehidupan Eri Argawan secara personal sejauh amatan penulis dengan didukung sumber berupa dokumentasi foto, sertifikat dan wawancara langsung dengan beberapa sumber informan yang mengenal Eri Argawan. Pada masing-masing bagian (termuat dalam sub-sub judul-rata-rata ditulis 4-7 halaman dengan ukuran buku 14,8 cm x 21 cm) sejatinya masih terbuka ruang untuk ditulis lebih lengkap lagi. Sebagai biografi, tentu saja ia tidak akan sampai pada maksud sebagaimana hasil penelitian dengan satu topik kajian secara mendalam tentang karya dan kontribusi Eri Argawan baik sebagai seniman dan Kepala Taman Budaya Jambi. Dengan kata lain, biografi Tarian Sang Aktor ini boleh dikata kumpulan dari patahan-patahan narasi yang berserakan dari perjalanan panjang seorang Eri Argawan sebagai pekerja seni dan birokrat kesenian jelang memasuki masa purnatugas sebagai ASN. Dalam perjalanan panjang itulah, penulis menyingkap sisi “human interest sang tokoh”—dengan segala pernak-perniknya—sehingga diharapkan menginspirasi banyak orang untuk mencintai kesenian dengan penuh seluruh.
Terakhir, penulisan biografi ini langkah mini di saat masih banyak budayawan/seniman Jambi lainnya, termasuk mereka yang telah wafat, yang telah mendedikasikan hidupnya untuk pemajuan kebudayaan Jambi, tapi belum ditulis sosok dan kiprahnya. Terutama para maestro seni yang bermastautin di pelosok daerah di wilayah Provinsi Jambi. Kerja penulisan ini mendesak, sehingga perlu disokong banyak pihak dan lembaga yang menaruh kepedulian pada ranah kebudayaan Jambi. Saya berharap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi melalui TBJ, entah itu melalui dukungan APBD maupun dana transfer pemerintah pusat (DAK Non Fisik) memprakarsai penulisan biografi budayawan/seniman Jambi, sehingga terus meningkat dari tahun ke tahun dari sisi jumlah seraya menjaga kualitas atau mutu tulisan.
Demikian pembacaan saya atas
buku dengan ketebalan 172 halaman ini. Sebagai pengalaman membaca, bisa jadi berbeda dengan pembacaan orang lain.
Sekali lagi, selamat atas kelahiran buku ini. Semoga bermunculan berikutnya buku-buku
biografi budayawan/seniman Jambi lainnya, yang seluruh hidupnya
bertungkus-lumus untuk pemajuan kebudayaan.
*Kota Jambi, 19 Mei 2025.
*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:
1) Prematur: Catatan Atas Buku Biografi Haji Abdurrahman Sayoeti
2) Si "Bulldozer" Masjchun Sofwan (Mengenal Gubernur Jambi 1979-1989)
3) Srie Soedewi, Sosok Cemerlang di Balik Gubernur Jambi Maschun Sofwan
4) Jambi Yang Menanti Jamahan, Buah Pikiran Djamaludin Tambunan
5) Hanafie, Gubernur Jambi Terpilih (Gagal) Dilantik
6) Haji Hasan, Orang Gedang dari Empelu
7) A. Mukty Nasruddin, Penulis Sejarah Jambi Yang Dilupakan
8) Annabel Teh Gallop, Jambi dan Filologi di Zaman Gawai
9) Mengenal (Penjabat) Gubernur Jambi 1957-2024
10) Emi Nopisah, Dari Ajudan Gubernur sampai Sekretaris DPRD Provinsi Jambi
11) 65 Pemikiran Tokoh untuk 65 Tahun Provinsi Jambi
12) Jambi Tempo Dulu, Catatan Sepulang dari Pameran HUT Provinsi Jambi
13) Kisah Mayloedin ADN dan Buku-bukunya
14) Sosok dan Pemikiran Junaidi T. Noor
15) Mengenang Sakti Alam Watir
16) Selamat jalan, Bung Nurul Fahmy
17) Firman Lie dan Karya Seni di Ruang Publik
18) Kamal Firdaus: Ia Yang Masih Merisaukan Penegakan Hukum di Republik Ini
19) Langkah Sunyi Bung Firdaus
20) Djang Aisjah Muttalib, Penulis Sejarah Sarikat Abang di Jambi 1916
21) Jejak H. A. Thaib Hanafiah, Pejuang Jambi
22) Syamsul Watir dan Pers Jambi (Tanpa) Pusat Dokumentasi
23) Napak Tilas Sejarah Jambi, Warisan Usman Meng
24) Obituari Sulaiman Hasan, Datuk Bandar Paduko Betuah
25) Setelah Fakhrudin Saudagar Tak Ada Lagi
26) Jalan Seni Pelukis Fauzi Z
28) Peninggalan Abdurrahaman Sayoeti Tidak Terawat dan Kisah Yanti Mustafa Menjaganya
29) Sisi Lain Lily Sjarif, Istri Gubernur Jambi Abdurrahman Sayoeti
30) Kisah Putri Gubernur Jambi Djamaludin Tambunan Bersama Bung Karno
0 Komentar