![]() |
Candi Tinggi, KCBN Muaro Jambi |
Oleh: Jumardi Putra*
Akhir pekan tiba, mengunjungi tempat-tempat wisata menjadi pilihan masuk akal bagi kami sekeluarga. Lebih-lebih dalam suasana libur nasional menyambut Hari Raya Waisak bagi umat Buddha. Walakin, hingga pukul 08.35 WIB, belum ada pilihan tujuan wisata yang kami sepakati. Jadi, kami leyeh-leyeh saja di rumah sambil memikirkan ke mana tujuan bakal ditambatkan.
Saya pun memilih membaca kembali magnum opus Tan Malaka berjudul Madilog (Materialisme Dialektika Logika) yang ditulisnya mulai dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. Ternyata, pada sub-bahasan Ke Taman Manusia, halaman 504, Tan Malaka menyebut nama Guru Dharmakirti (biasa di Tibet disebut sebagai Lama Serlingpa), ahli buddhisme tersohor pada masanya, untuk menyebut semacam Guru Besar dalam bahasa orang kampus sekarang. Sang ideolog itu juga menyebut Yah Hien dan I-Tsing, keduanya ahli tionghoa tentang agama Buddha, dan diakui oleh dunia barat juga sebagai ahli sejarah timur yang besar, lama tinggal di Ibukota Sriwijaya buat mempelajari Buddha dan pengetahuan lainnya di perguruan tinggi Budha---kini menjadi Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi. Kalimat menarik dari tulisan Bapak Republik itu berbunyi:
“Maluku (is) het verleden,
Java (is) het heden,
Sumatra (is) de toekomst.
(Kebesaran Indonesia dahulu terletak di Maluku; sekarang di Jawa, nanti di Sumatra). “Sumatra ialah hari depan, sudah berlaku". Begitu nujum tukang warung,” tulis Tan Malaka. Peralihan dari Maluku ke Jawa dan disusul Sumatra diurai Tan Malaka dalam bukunya. Harus saya akui membaca Madilog butuh kecermatan, karena tidak mudah dipahami dengan hanya sekali baca, setidaknya itu pengalaman pribadi saya membacanya pertama kali tahun 2003an di Jogja.
Melacak
Jambi (bagian dari Svarnadvipa/Sumatra) hingga masa jauh ke belakang, seperti disinggung
Tan Malaka—juga pernah disampaikan oleh antropolog Fiona Kerlogue tahun 2012 kepada saya
dan teman-teman Seloko Institute—bahwa melihat hulu Jambi (buddhisme-bukan
sebagai ajaran agama, melainkan peradaban gemilang pada masanya) adalah satu
cara untuk menyibak kebesaran Jambi nun jauh di masa kelampauan, lalu menemukan relevansinya bagi kebutuhan sekarang sekaligus modal menatap masa depan.
Bukan kebetulan pula, pikiran saya tertuju pada buku tiga bahasa berjudul Dreams From The Golden Island (Mimpi-mimpi Pulau Emas) karya kolaborasi jurnalis Prancis Elisabeth D. Inandiak bersama beberapa remaja Desa Muaro Jambi. Usut punya usut, hari ini, Minggu 11 Mei 2025, usia buku itu tepat tujuh tahun setelah digelanggangkan pertama kali pada 11 Mei 2018, malam hari di dermaga Desa Muaro Jambi—kebetulan saya juga ikut merayakannya ketika itu (Lebih lanjut baca di sini: Percandian Muaro Jambi Cangkang Bagi Budi dan Kecendiakaan).
![]() |
Buku Tan Malaka (Madilog) dan Elisabeth Inandiak dkk (Mimpi-mimpi Pulau Emas) |
Dari kedua sumber bacaan penting itu, tanpa pikir panjang saya mengajak istri dan si bungsu Rendra mengunjungi Candi Muaro Jambi, berjarak sekitar 30an kilometer dari pusat Kota Jambi melewati jembatan Batanghari II.
Kami pun bergegas menuju Candi Muaro Jambi menggunakan kendaraan roda
dua. Tersebab berangkat hampir pukul 11.25an WIB, terik matahari mulai terasa menyengat
di kulit. Kendati demikian, pantang mundur sebelum sampai lokus yang dituju. Tidak
ada kemacetan yang berarti di sepanjang jalan, kecuali di beberapa titik
keluar-masuk truk-truk perusahaan di tepian Batanghari. Usai melewati jembatan
Batanghari II dan beberapa perusahaan di tepi Batanghari, kami singgah
menunaikan shalat zuhur di masjid Al Ashab berlokasi di Desa Bakung, Kecamatan Muaro
Sebo, Kabupaten Muaro Jambi. Masjid tersebut tergolong baru diresmikan tahun
2021 oleh Gubernur Jambi Al Haris. Lepas shalat, kami pun sejenak melepas penat
sembari menikmati hawa sejuk di dalam masjid.
Berselang 20an menit kemudian, kami pun melanjutkan perjalanan ke candi Muarojambi.
Perjalanan lancar tanpa ada halangan, kecuali melewati serbuan debu yang dibawa
mobil-mobil puso milik perusahaan yang melintasi jalan umum. Kami pun sampai di
gerbang KCBN Muaro Jambi, Desa Muaro Jambi. Halaman parkir di situ sudah dipenuhi
kendaraan para pengunjung baik roda empat maupun dua.
Dari situ kami langsung menuju pojok kopi dusun, tempat mangkal
wisatawan yang ingin menikmati makanan, minuman dan suasana ala dusun,
sisi menarik selain KCBN Muaro Jambi. Wisatawan datang silih berganti di pojok
kopi dusun yang terletak di Rt 05 Desa Muarajambi. Kini terdapat lebih dari
lima pondok yang berdiri di antara kebun karet di kawasan pojok kopi dusun,
sehingga menambah suasana makin nikmat dan seru.
Pojok kopi dusun didesain dengan perabot lawas mulai dari teko blirik,
gelas seng jadul hingga radio lawas juga terpampang di etalase dapur. Perabot
ini adalah perabot kampung yang hingga kini masih digunakan oleh sebagian
warga. Tak syak, wisatawan acapkali mengabadikan momen di warung pojok kopi dusun
itu ke dalam insta-story dan kanal media sosialnya masing-masing.
Begitu juga sajian pelbagai jenis minuman, terutama kopi terasa lebih nikmat dengan tambahan pisang rebus atau pisang goreng. Harganya pun terjangkau, satu cangkir kopi dijual Rp10.000 dan seporsi pisang goreng juga dijual dengan harga yang 12.000. Semua menu makan yang terdapat di pojok kopi dusun dimasak oleh emak-emak yang tidak lagi muda dengan menggunakan tungku kayu bakar. Pojok kopi dusun ini dikelola oleh Brata dan sejawat muda lainnya.
![]() |
Kami di Pojok Kopi Dusun |
Hampir sejam kami di pojok kopi dusun. Setelahnya kami melanjutkan perjalanan ke area candi Gumpung, candi Tinggi dan beberapa candi lainnya yang belum lama selesai dipugar. Kesemua itu adalah cagar budaya tinggalan abad 7 hingga 13 Masehi. Tidak jauh dari kawasan situs ini, terdapat danau Telagorajo yang melegenda. Meski sedang terik, rerimbunan daun pohon-pohon berusia tua yang menjulang tinggi di kawasan ini membuat suasana adem.
Suasana di kawasan candi sekarang berubah drastis. Para pedagang tidak
lagi berada di dalam kawasan inti. Semua pengunjung jalan kaki. Alat
tranportasi yang menghubungkan pengunjung dari satu situs ke situs candi
lainnya di KCBN Muaro Jambi bisa memakai perahu melewati kanal-kanal kuno maupun
dengan sepeda dan motor listrik yang bisa disewa pengunjung sepuasnya.
Tidak terasa hampir satu jam pula kami di komplek candi Gumpung dan situs
lain di dekatnya, lalu kami melanjutkan perjalanan ke komplek Candi
Kedaton—sebuah komplek situs terluas dibanding situs-situs lainnya dalam
kawasan KCBN Muaro Jambi. Kawasan cagara budaya nasional ini total memiliki luas 3.981 hektare,
sehingga digolongkan terluas di Asia Tenggara yang luasnya mencapai delapan
kali luas candi Borobudur. Dengan demikian, butuh waktu berhari-hari bila
berniat ingin mengunjungi seluruh Candi yang ada di kawasan bersejarah ini.
Suasana komplek situs Candi Kedaton tidak seramai candi gumpung, lokus
utama bagi banyak wisatawan. Kami pun sepakat menghabiskan waktu sore hari di
sini, sembari sesekali membaca buku yang sengaja saya bawa dari rumah. Tidak
lama setelah menikmati suasana candi Kedaton, saya berjumpa dengan Abdul Haviz, akrab dipanggil Ahok, sosok
pemuda yang hari-hari mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk pelestarian KCBN
Muaro Jambi. Tentu saja ia tidak sendirian, melainkan bebarengan dengan
pemuda-pemudi dusun Muarojambi, serta difasilitasi oleh Balai Pelestarian
Kebudayaan Wilayah V Jambi—dulunya bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) yang membawahi tiga wilayah yaitu Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan
Bangka Belitung.
![]() |
Kami di Candi Kedaton |
Masih di komplek Candi Kedaton, saya bersama wisatawan lainnya melihat langsung sumur tua yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke 7 Masehi. Sumur ini familiar bagi wisatawan, lantaran air di dalam sumur itu diyakini memiliki khasiat untuk kesahatan, dan bahkan Ahok sempat berkekalar kepada kami bahwa meminum air itu bisa membuat awet dan wajah jadi glowing. Kami pun yang mendengarkannya tersenyum. Yang pasti, kami semua di situ minum dan mencuci muka dengan air yang berasal dari sumur tua tersebut. Memang, airnya jernih dan segar.
Sumur tua itu terbuat dari batu bata berwarna merah, sama seperti dengan
yang digunakan untuk membangun candi. Diameternya kecil saja, kurang dari 1
meter. Menariknya lagi sumur tersebut tidak berbentuk bulat sempurna, lazimnya
sumur di banyak rumah penduduk di Jambi, melainkan mengikuti tumpukan batu bata
yang menjadi penyusunnya.
Merasa cukup di candi Kedaton, kami pun siap-siap pulang ke kota Jambi. Bukan
kebetulan pula, usai melewati pintu masuk candi Kedaton, saya melihat rumah nan
artistik yang diperuntukkan bagi para pemandu. Di rumah ini saya bertemu dengan
Mas Agus Widiatmoko, kepala BPK Wilayah V Jambi, yang hari-harinya lebih banyak
beraktifitas di KCBN Muaro Jambi, lebih-lebih dalam masa pelaksanaan program
strategis Kementerian Kebudayaan RI yaitu revitalisasi KCBN Muaro Jambi, di
antara yaitu eskavasi dan pemugaran beberapa situs candi, pembangunan museum
dan ruang-ruang kreatif serta pembangunan kafasitas sumber daya manusia warga
di sekitar KCBN Muaro Jambi sebagai lokomotif budaya di tengah gencarnya
misi turisme oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah baik tingkat provinsi dan kabupaten.
Perjumpaan tidak sengaja antara saya dengan mas Agus Widiatomoko dan
Ahok sore hari itu lebih kepada mempererat tali silaturahmi sekaligus berbagi
informasi dan pandangan tentang dunia kebudayaan Jambi, tidak terkecuali
dinamika gerakan kebudayaan di Jambi dewasa ini. Lazimnya mas Agus, pandangannya lebih
banyak tertuju pada pengelolaan KCBN Muaro Jambi dengan segala dinamika di
lapangan. Tidak terasa hampir satu jam pertemuan kami di rumah pemandu--tempat
bagi anak-anak muda di sekitar Desa Muaro Jambi dan Desa lainnya.
“Tahun depan (Juli 2026), saya memasuki masa purnatugas, jadi di
sisa waktu inilah saya lebih banyak menghabiskan waktu di sini memfasilitasi
teman-teman di sini, selain juga fokus mengerjakan tugas saya selaku kepala BPK
Wilayah V,” ungkapnya.
![]() |
Rumah Pemandu di komplek candi Kedaton |
Kepada mereka berdua, saya menyampaikan sesuatu yang saya lihat dalam perjalanan sebelum sampai di KCBN Muaro Jambi, tepatnya baliho besar di depan Masjid Al-Falah, berbunyi Pelantikan & Pengukuhan pengurus Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) wilayah Provinsi Jambi di Rumah Dinas Gubenur Jambi hari Minggu, 11 Mei 2025.
Saya mengapresiasi setiap kerja kebudayaan oleh siapapun di Provinsi Jambi. Kendati demikian, sulit pula menyangkal bahwa Jambi sebagai tuan rumah selalu berhasil merayakan jamak perhelatan kebudayaan, tapi tidak dengan pikiran-pikirannya. DMDI dulu pernah ada di sini, kurun waktu 2002-2007 sejak pertama kali digagas di Malaka-Malaysia tahun 2000-an, lalu menguap begitu saja. Setelah lama tidak terdengar, kini muncul lagi. Begitu seterusnya. Gerakan kebudayaan tanpa visi dan strategi kebudayaan...tak berkaki..hanya berkutat di lapisan elit, tidak menjalar sampai ke akar rumput. Akhirnya, sebatas seremonial dan romantisme semata. Lagian, DMDI itu dalam konteks sejarah dan dinamika kebudayaan Jambi baik dahulu kala hingga masa sekarang (sebelum dan setelah masuk Islam) dan untuk masa depan, apa relevansinya? Hal-hal itu abai dipercakapan jelang setiap agenda kebudayaan ditaja di negeri ini, tidak terkecuali oleh mereka yang mengklaim dirinya sebagai pelaku adat dan budaya. Yang jelas, pandangan sekaligus sikap kebudayaan yang mereduksi hanya pada satu fase babakan dalam perjalanan panjang Jambi, selain akan membuat mundur, juga a-historis.
Mendengar pandangan saya demikian itu, Mas Agus dan saudara Ahok hanya tersenyum, lalu sejenak terdiam. “Bergerak di lapangan kebudayaan itu mulai dari bawah, terlibat di tengah-tengah masyarakat. Bukan lagi mengawang-ngawang, berada di lapisan elit-penuh seremonial. Segera turun ke bawah dengan tetap berpijak pada akar historis,” ujarnya.
Jarum jam menunjukkan angka 16.20 WIB. Saya pun pamit undur diri, kembali ke kota Jambi. Sebagaimana zuhur tadi, kami pun singgah lagi di masjid Al Ashab menunaikan shalat Ashar sebelum melewati jembatan Batanghari II sekitar pukul 16.55 WIB. Dalam perjalanan pulang itu saya teringat kata arkeolog Prof. Jhon N. Miksic tahun 2013, "amat mungkin untuk menyimpulkan bahwa sumbangan terpenting Muaro Jambi bagi warisan budaya dunia terletak bukan pada bangunan gedung (situsi candi), tetapi pada kegiatan kecendekiaannya seperti diajarkan M. Dumarcay kepada saya, gedung-gedung ini hanya cangkang bagi pikiran manusia dan renungan tentang sifat kenyataan".
*Kota Jambi, 12 Mei 2025.
*Tulisan-tulisan saya lainnya tentang kebudayaan:
1) Najwa Shihab dan Peradaban Yang Hilang di Muaro Jambi
2) Mimpi-mimpi Pulau Emas: Cangkang Bagi Budi dan Kecendekiaan
3) Candi Muarojambi Gagal Menjadi Warisan Dunia
4) Merebut Hati dengan Petisi: Selamatkan Candi Muaro Jambi
5) Al Haris-Sani dan Pengarus-utamaan Kebudayaan; Sebuah Autokritik
6) Pemeringkatan Cagar Budaya Jambi
7) Piknik di Tengah Pandemi: Catatan Perjalanan Ke Candi Muaro Jambi
8) Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan
9) Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Sepanjang Oktober
10) Polemik di Balik Gelar Adat Melayu Jambi
11) Apa dan Kenapa MWCF Jambi?
12) Batu Bara sebagai Persoalan Kebudayaan: Sebuah Autokritik
13) Festival Literasi Jambi, Dari Militansi ke Retrospeksi
14) Di Balik Layar Beranda Budaya TVRI Jambi
15) Di Balik Panggung Pemilihan Bujang-Gadis Jambi
16) Quo Vadis Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi
17) Mengenal Dr. Fiona Kerlogue dan Batik Jambi
18) Profesor Bill Watson dan Kerinci
19) Quo Vadis Dewan Kesenian Jambi
20) Maryam dan Anugerah Maestro Seni Tradisi
21) Menyoal Warisan Budaya Tak Benda Prov Jambi
22) Quo Vadis Taman Budaya Jambi
23) Jambi TUNTAS Defisit Kebudayaan
24) Melampaui Kekisruhan FIB Universitas Jambi
25) Pilgub Jambi: Pariwisata Tunabudaya
26) Malam Keagungan Melayu Jambi dan Hal-Hal Yang Belum Selesai
27) Jambi EMAS Minus Kebudayaan
0 Komentar