Menyoal Warisan Budaya Tak Benda Indonesia

Gubernur Jambi menerima sertifikat WBTB Indonesia 2018.

Oleh: Jumardi Putra*

Sidang Tim Ahli Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang berlangsung pada 1- 4 Agustus 2018 di Jakarta resmi menetapkan sembilan karya budaya Jambi sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia 2018. Raihan tersebut merupakan sebagian kecil dari total 225 karya budaya warisan budaya tak benda se Indonesia tahun 2018 yang ditetapkan dan memperoleh sertifikat.

Fachrori Umar, Plt Gubernur Jambi, bersama kepala daerah lainnya di Indonesia dengan penuh sukacita menerima penghargaan tersebut langsung dari Dirut Warisan dan Diplomasi Budaya RI, Nadjamudin Ramly, di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu malam (10/10/18).

Kesembilan karya budaya Jambi tersebut berasal dari Kota Sungai Penuh yaitu Kenduri Sko, Tari Rangguk Kumun, Tari Iyo-iyo, Lapaik Koto Dian Rawang, dan Ntok Awo. Disusul berikutnya Tauh Lempur dan Ngangoah Imo Pulau Tengah dari Kabupaten Kerinci, serta Ompek Gonjie Limo Gonop (sastra lisan) dan Perkampungan Rumah Tuo Rantau Panjang dari Kabupaten Merangin.

Sebagaimana tuan dan puan, saya juga bersukacita atas capaian dan kerja keras banyak pihak baik di level Kabupaten/Kota maupun Provinsi, sehingga menambah daftar panjang WBTB asal Provinsi Jambi, terhitung sejak tahun 2013-2018 yaitu Tari Elang, Tomboi Sialong, Sebelik Sumpah, Ambung Orang Rimbo, Cawot, Ubat Ramuon, Belangun, Hompongan, Musik Gambang Danau Lamo, Tari Kadam; Tale naek Jei (Tale Naik Haji), Upacara Asyeik, Betauh, Tari kain kromong, Musik Kromong,  dan musik kolinong, tari Anggut (Kota Jambi), tari Tupai Jenjang (Kerinci), tari Piring Tujuh (Tebo), Tutur Kuaw (Merangin), Tari Pisang (Merangin), Tari Besayak (Merangin), Upacara Besale (Muarajambi), Kompangan (Kota Jambi), Aksara Incung (Kerinci), Seloko Adat, Senandung Jolo (Muaro Jambi), dan krinok (Bungo).

Tidak berhenti di situ saja, Nek Jariah (76 tahun), pelaku seni tradisi Dideng asal Kabupaten Bungo ditetapkan sebagai penerima penghargaan anugerah Maestro Seni Tradisi Indonesia Tahun 2014. Raihan tersebut melengkapi capaian empat tahun sebelumnya (2010) yakni Kementerian Kebudayaan dan pariwisata RI memberikannya gelar Maestro Seni Tradisi kepada budayawan Iskandar Zakaria (Kerinci).

Namun, segera setelah pentabalan, masing-masing kita dihadapkan pada pertanyaan, terutama bagi masyarakat daerah penerima sertfikat WBTB yaitu lantas diapakan puluhan WBTB tersebut? Adakah usaha kongkrit seraya berkelanjutan untuk menjaga, mengolah, mengembangkan, dan memanfaatkannya?

Faktanya, riwayat umumnya WBTB itu, kini hanya berujung pada klaim kesuksesan birokrasi kesenian, muatan di bundel Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Kepala Daerah, selebrasi kemenangan di forum-forum kepublikan, dan mengisi lembar advetorial koran, media online, dan tv lokal. Sementara pemilik dan pendukung karya budaya belum mendapat kepastian arah dan laku pelestarian. Bahkan permasalahan eksistensi karya budaya, sumber daya manusia, sarana prasarana pendukung, kian menurunnya apresiasi masarakat terhadap karya budaya, serta ketidakberpihakan anggaran untuk seni-budaya adalah persoalan pelik yang hingga sekarang belum ditemukan formulasi kebijakan (cetak biru) yang tepat dan komprehensif.  

Merujuk Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bahwa yang dimaksud dengan pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Setakat hal itu, bila pelestarian dirumuskan sebagai upaya mempertahankan cagar budaya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan, maka pengelolaan diartikan sebagai upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar besarnya kesejahteraan rakyat.

Konsepsi ideal di atas sejalan dengan ratifikasi Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage tahun 2003 oleh pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage yang menyebutkan bahwa selain unsur budaya Indonesia dicatat, perlu juga dilakukan pemberian status Budaya Takbenda menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Menteri.

Hanya saja realitas faktual menunjukkan pelestarian WBTB jauh panggang dari api. Berikut hemat saya yang menyebabkan pemberian status WBTB oleh Pemerintah Pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) pada pemerintah daerah belum bergerak maju, sebagaimana amanat undang-undang di atas.

Pertama, Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi maupun Kabupaten/Kota yang menjadi penerjemah dua kementerian teknis: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (rujukan program kebudayaan) dan Kementerian Pariwisata (acuan program pariwisata), gagal menerjemahkan program prioritas pengembangan dan pembangunan kebudayaan ke dalam program-program konkrit dan berkelanjutan yaitu 1) pembangunan karakter bangsa melalui kebudayaan, 2) pelestarian warisan budaya (perlindungan, pengembangan dan pemafaatan, dan 3) penguatan diplomasi budaya.

Kedua, substansi seni dan budaya Jambi oleh instansi teknis pemerintah daerah selama ini hanya berhenti sebagai program (baca: proyek) semata, tidak sekaligus sebagai perluasan dan pengayaan perspektif. Tak heran, bila kerja-kerja kebudayaan (baca: kesenian) tampak parsial dan belum terintegrasi dengan banyak pihak seperti lintas OPD baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun provinsi, pusat penelitian/kajian, komunitas/kelompok seni, industri seni, dan perguruan tinggi yang fokus pada studi dan pengembangan karya seni-budaya.

Ketiga, proses pengajuan WBTB Jambi (2013-2017) lebih mencerminkan kerja eksekusional kelembagaan (atas-bawah), tenimbang kerja partisipatoris dari pemilik sekaligus pendukung karya budaya itu sendiri (bawah-atas). Apatahlagi, pemberian status penetapan merupakan tindak lanjut dari kerja pencatatan kekayaan budaya (intangible) di daerah-daerah yang dilakukan jauh sebelum sertifikasi WBTB menjadi ritus Kemdikbud sejak 2013.

Apa indikator sehingga dugaan tersebut mendapat pijakan? Cukupkah hanya dalam rentang satu tahun kesembilan karya budaya yang diajukan itu dihasilkan melalui serangkaian kerja akademis? Berapakah angggaran yang harus digelontorkan untuk sampai pada level tersebut. Lalu kemitraan seperti apa pula yang terbangun antara pemerintah dan kelompok pemilik/pendukung karya budaya dalam proses pengajuan hingga pasca pentabalan WBTB?.

Saat yang sama, sulit membantah bahwa kerja-kerja penelitian seni-budaya di Jambi saat ini kalah seksi dari iven-iven kesenian tahunan (dalam dan luar Jambi) yang lebih mengutamakan aspek hiburan dan massa. Bahkan, enam tahun terakhir ini, hasil penelitian tentang seni dan budaya Jambi boleh dikatakan mengalami stagnasi akut.

Keempat, usai mendapat predikat WBTB Indonesia, sependek yang saya tahu, belum ada forum dialog lintas sektor sekaligus menghimpun stakeholder serta publikasi secara memadai yang menjelaskan proses dan kemitraan dalam pengajuan hingga kerja-kerja berkelanjutan pasca pentabalan WBTB tersebut. Tidakkah hal ini sejatinya dapat memutus matarantai disinformasi (teknis-substansi) antara pemilik, pendukung serta pemerintah sebagai fasilitator proses pengajuan karya budaya menjadi WBTB Indonesia?

Keadaaan demikian itu mengisyaratakan masih adanya persoalan, yaitu sejak 2013-2016, WBTB Jambi tak terhubung dengan persinggungan praktik-praktik kreatornya (seniman) dengan lingkungan masyarakatnya, dan praktik-praktik wacana pada saat karya tersebut dianggit hingga diformulasikan ke dalam satu konsep baku pengajuan WBTB. Bahkan, dalam daftar daerah penerima sertifikat WBTB setiap tahun untuk daerah Jambi terlihat jelas adanya ketidakmerataan.

Selanjutnya,  dalam situasi yang nampak seolah final itu (untuk menyebut pra dan pasca pentabalan WBTB), pengelolaan kekayaan seni budaya di daerah-daerah dengan memulai dari ‘pinggiran’-meminjam istilah Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid- senyatanya belumlah berjalan sehingga relevan perkara hulu-hilir pentabalan WBTB dikroschek ulang. Apa pasal?

Pentabalan WBTB berimplikasi pada kerja-kerja besar selanjutnya yang barangkali terbentur pada pelbagai keterbatasan daerah-daerah. Tidak heran kemudian muncul tuntutan kepastian dukungan penuh dari pemerintah pusat maupun provinsi sehingga pemerintah daerah Kabupaten/Kota bersama masyarakat pemilik kesenian dapat melakukan kerja-kerja strategis, sebagaimana secara bernas diungkapkan budayawan Yudistira AN. Massardi (Kompas, 2009) berikut ini: “kepada seni budaya yang masih hidup, berikan energi baru (berdayakan, lahirkan kembali, pertahankan orisinalitasnya sambil ciptakan varian baru dengan warna dan kemasan baru). Untuk yang sudah punah dan terkubur, lakukan penelitian dan penggalian, petakan anatominya, tuliskan sejarahnya, lantas ciptakan replikanya, agar bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi baru.”

Semangat tersebut dalam padangan saya sudah termaktub di dalam peraturan bidang kebudayaan terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Regulasi tesebut jelas mengamanatkan kepada pemerintak Kabupaten/Kota dan Provinsi menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) (lihat Pasal 8 UU No. 5/2017) sebagai landasan  dalam menyusun kebijakan-kebijakan strategis bidang kebudayaan yang bertujuan utama untuk peningkatan ketahanan budaya dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Meski tidak sedikit yang meragukan jalannya implementasi peraturan perundangan tersebut, bila menelaah proses penyusunan dokumen PPKD itu melalui tahapan yakni: a. perencanaan; b. konsolidasi data (mengenai keadaan terkini dari perkembangan Objek Pemajuan Kebudayaan di Kabupaten/Kota dan Provinsi; Sumber Daya Manusia Kebudayaan, Lembaga Kebudayaan, dan Pranata Kebudayaan di Kabupaten/Kota dan Provinsi; Sarana dan Prasarana Kebudayaan di Kabupaten/Kota dan Provinsi; serta potensi masalah Pemajuan Kebudayaan); c. pengolahan data; d. analisis atas hasil pengolahan data; e. penyusunan naskah Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi;  dan f. penetapan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi Jambi, saya bisa optimis. Sesiapa saja bisa memulai pembicaraan serius dari hal demikian yaitu dimulai dari visi-misi, rencana strategis, program dan kegiatan bidang kebudayaan untuk jangka pendek, menengah dan panjang.

Akhirnya, perkara warisanisasi WBTB ini memaksa kita sejenak merenung dan memikirkan ulang bahwa melulu ditetapkan sebagai warisan, tanpa ditindaklanjuti dengan pengelolaan, pengayaan tafsir dan kebermanfaatan secara luas bagi masyarakat, tak akan menjadikan sesuatu menjadi warisan.

*Tulisan ini pernah terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada tanggal 12 September 2017.

0 Komentar