Sejarah Melayu Kuno: Ruang Terbuka Studi Masa Lalu Jambi

 

Ilustrasi. Sungai Batanghari Jambi Tempo Doeloe

Oleh: Jumardi Putra*

A. Pendahuluan

Sejarah Kerajaan Melayu[1], yang belakangan sering disebut Melayu Kuno, sampai sekarang belum banyak ditulis. Penyebabnya antara lain terbatasnya data-data dan bukti-bukti kesejarahan. Hingga saat ini, para peneliti hanya bersandar dari berita-berita Cina, yang dianggap sebagai berita yang pertama menyebutkan nama “Malayu”.

Pada 7-8 Desember 1992, Pemerintah Provinsi Jambi bekerja sama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jambi mengadakan seminar internasional yang secara khusus membahas Melayu Kuno, yang diyakini berada di wilayah yang sekarang disebut Provinsi Jambi.

Beberapa pakar diundang hadir untuk menyampaikan makalah dalam seminar tersebut. Makalah-makalah yang disajikan kemudian disatukan dalam sebuah prosiding di bawah topik “Seminar Internasional Sejarah Malayu Kuno Jambi”.

Di sini saya akan membahas tiga makalah atau artikel yang ada di dalam prosiding tersebut, yaitu “Rekonstruksi Sejarah Malayu Kuno sesuai dengan Tuntutan Arkeologis”, yang ditulis oleh Prof. Dr. Soekmono; “Kerajaan Malayu Kuno Pra-Sriwijaya di Sumatera” karya Prof. Dr. Sartono; dan “Prasastiprasasti Masa Kerajaan Malayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya” oleh Drs. Hasan Ja’far.

Alasan pemilihan makalah-makalah tersebut, di samping ketiganya—bersama makalah-makalah lain dalam prosiding— belum dipublikasikan secara luas, karena ketiganya membahas topik spesifik sejarah Melayu Kuno. Yang lain, meski juga menyasar topik tersebut, meluas ke antara lain soal pelayaran, jalur perdagangan, dan hubungan dengan dunia luar.

Di dalam artikel ini, pertama-tama saya akan menyampaikan ulang hal-hal penting yang ada di dalam makalah-makalah tersebut. Setelah itu saya akan mengemukakan beberapa pandangan dari pakar lain, baik yang menolak maupun menerima, untuk mendapatkan pandangan yang lebih utuh tentang Melayu. Tentu saja saya tidak hendak mengkritik pandangan penulisnya—sudah tentu ini di luar kemampuan saya—melainkan sekadar melakukan inventarisasi beberapa pandangan yang memiliki fokus yang sama.

B. Memasuki Gerbang Melayu

Sejarawan Leonard Y. Andaya menyatakan, dalam konteks regional maupun internasional di masa lampau, Jambi memiliki latar belakang sejarah ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya yang cukup panjang. Dari segi etnis, Jambi merupakan salah satu sumber peradaban dan asal-usul orang-orang Melayu di Sumatera.

Menurut informasi dari sejarah Cina, istilah “Malayu” merujuk pada orang-orang di bagian selatan Pulau Sumatera yang pernah mengirim utusan ke Cina pada 644 dan 645[2]. Hal itu diperkuat melalui catatan Cina yang menyebutkan bahwa Kerajaan Melayu, antara lain diketahui dari dua buku karya Pendeta I-Tsing atau I Ching (634-713), yaitu Nan-hai Chikuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) dan Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang Menuntut Ilmu di India Zaman Dinasti Tang).

Dalam pelayaran dari Cina ke India pada 671, Itsing singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Cina[3]. Kemudian ia singgah di Mo- lo-yeu selama dua bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke India. Pada 687/688, ketika untuk kedua kalinya ia datang ke Mo-lo-yeu, dikatakan bahwa Mo-lo-yeu sudah menjadi negeri Shih-li-fo-shih (Sriwijaya).

Arkeolog Bambang Budi Utomo menyatakan, Melayu pertama kali muncul dalam sejarah melalui berita Tionghoa abad ke-7, kemudian dalam prasasti Tanjore dari India Selatan pada 1030 yang mencantumkan “Malayuir”. Dalam berita-berita Tionghoa, nama Melayu disebutkan sebanyak tujuh kali, masing-masing dalam buku Che-fu-yuan-gui, Datang-xi-yu-qiu-fa-gao-seng-chuan (Biografi Pendeta-pendeta Mulia dari Tang Raya yang Mengejar Dharma di India), Nan-hai-ji-gui-nei-fa-chuan (Keadaan Agama Buddha di Lautan Selatan, Dititipkan kepada yang Pulang).[4]

Sarjana Prancis yang terkemuka dalam filologi Melayu-Sanskerta, George Coedès, menyebutkan bahwa Jambi memiliki peran penting dalam sejarah Melayu. Hal itu dibuktikan dari sekelompok prasasti dalam bahasa Melayu Kuno, empat di antaranya ditemukan di Sumatera (tiga dekat Palembang dan satu di Karang Brahi di hulu Sungai Batanghari) serta satu di Kota Kapur di Pulau Bangka.[5]

C. Kerajaan Pra-Melayu

Sejarawan O.W. Wolters menulis, “No study of the evolution of any empire can be complete when it is unknown how the empire originally evolved.”[6] Sehubungan dengan ungkapan Wolters tersebut, ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung, Sartono, mengawali artikelnya dengan sebuah pertanyaan: sebelum Kerajaan Melayu dan Sriwijaya ada, apakah tidak ada kerajaan yang lebih dulu eksis di wilayah Sumatera Timur?

Di dalam “Kerajaan Malayu Kuno Pra-Sriwijaya di Sumatera”, Sartono mengatakan bahwa sebelum abad ke-5, telah berdiri tiga kerajaan di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3), Tupo (abad ke-3), dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak. Setelah Koying, Tupo, dan Kantoli runtuh, berdiri Kerajaan Melayu Jambi.[7] Pada abad ke-7, muncul dua kerajaan di pantai Timur Sumatera, yakni Moloyu (Melayu di Jambi) dan Sriwijaya (Palembang). Dalam perkembangan selanjutnya, antara 670-742 Shih-li-fo-shih dianggap sebagai Sriwijaya (Sriwijay) dan antara 853-937 sebagai San-fo-tsi.[8]

Sayang sekali, menurut Sartono, sumber-sumber tentang kerajaan-kerajaan pra-Sriwijaya sangat minim—untuk menyebut tidak ada. Permasalahan ini juga diakui sejarawan bahari A.B. Lapian. Menurutnya, sebelum abad ke-4, sumber berita Cina mengenai kawasan ini masih sangat langka. Sesudah abad ke-5, keterangan mengenai Asia Tenggara, khususnya tentang wilayah sekitar Selat Malaka, mulai meningkat dan menunjukkan bahwa berita tersebut berasal dari pengunjung seperti pendeta I-Tsing.[9]

Karena data yang kurang, terutama mengenai Koying dan Tupo, Sartono kemudian menitikberatkan bahasan pada Kerajaan Kan-t’o-li (Kuntala). Menurut Sartono, berdasarkan sumber Cina, sepanjang abad ke-5-6, kerajaan ini telah mengirimkan utusan ke Cina berturut-turut pada pada 441, 455, 502, 519, 520,560, dan 563.[10] Informasi tentang Kuntala yang juga terbatas, kata Sartono, menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan sejarawan ketika berupaya mengidentifikasi di mana letak pusat kerajaan tersebut. Sartono kemudian membuat daftar pendapat para sejarawan menyangkut ibukota Kuntala: J.L. Moens berpendapat di Singkil Kandari, pantai barat Aceh; J.J. Boeles mengatakan di Desa Kantoli, pantai timur Muangthai Selatan; O.W. Wolters menyebut di Palembang;[11] dan George Coedès di Jambi.[12]

Meskipun dimaksudkan untuk fokus ke Kuntala, di dalam artikel Sartono tidak terlalu mendalam membahasnya. Penyebabnya tentu saja data yang tidak memadai. Hal sama juga dilakukan sejarawan lain. Robert Cribb, misalnya, di dalam Historical Atlas of Indonesia, hanya memberi sedikit keterangan mengenai Kuntala. Menurutnya, semenjak 441, selama sekitar seabad, Kuntala menjadi kerajaan perdagangan paling penting di kepulauan (Nusantara). Letaknya tak dapat dipastikan, tetapi tradisi Cina mengungkapkan bahwa kerajaan ini merupakan pendahulu Sriwijaya. Kuntala mengalami kemunduran segera setelah pertengahan abad ke-6, barangkali karena perpecahan politik di Cina, yang menghambat proses perdagangan. Posisi Kuntala dalam peta perdagangan Asia kemudian diambil alih oleh pelabuhan Moloyu yang terletak di sebelah utaranya.[13]

Menurut Wolters, Kuntala adalah salah sebuah dari dua kerajaan Indonesia yang memegang peranan penting dalam perkembangan perdagangan abad ke-5. Ia menafsirkan bahwa justru kedudukannya yang kuat dalam perdagangan menyebabkan Kuntala tidak merasa perlu untuk menunjang perdagangannya dengan banyak mengirim utusan ke Cina.[14]

Di banding Sartono atau pakar-pakar di atas, Slamet Muljana-lah yang terlengkap menulis tentang Kuntala. Di dalam Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi, Muljana meyakini bahwa pusat Kerajaan Kuntala terletak di sekitar hulu sungai Tungkal atau sungai Pangebuan (sungai Pengabuan). Penelitian geologi Sartono pada 1978 menyimpulkan, garis pantai timur Sumatera 14 abad lalu berbeda dari garis pantai sekarang, yakni beberapa puluh kilometer lebih ke dalam. Tanah muda dari garis pantai sekarang sampai pangkal sungai Tungkal, kata Muljana, ialah hasil endapan sungai Pengabuan. Karena itu, pangkal sungai Pengabuan mungkin mengandung benda-benda keramik dari era Dinasti Sung.[15]

Berdasarkan penelitian Muljana, Kuntala merupakan nama sebuah wilayah di India Selatan yang pernah dikuasai oleh Dinasti Pallawa. Orang-orang dari suku Kadamba yang mendiami wilayah ini bermigrasi ke hulu sungai Pengabuan. Orang-orang yang berasal dari Kuntala dan bermigrasi ke hulu sungai Tungkal tersebut disebut Kuntali, sebagaimana orang-orang yang berasal dari Benggala disebut Benggali. Karena itu, dalam berita Cina, Kuntala disebut dan ditulis dengan toponim Kan-t’o-li, tidak dengan nama sebenarnya.[16]

D. Arkeologi sebagai Solusi

Kalau Sartono mengeluhkan kurangnya data-data kesejarahan untuk mengungkap kerajaan-kerajaan pra-Melayu, Soekmono dan Hasan Ja’far menawarkan untuk memanfaatkan arkeologi. Di dalam “Rekonstruksi Sejarah Malayu Kuno Sesuai dengan Tuntutan Arkeologis”, arkeolog Soekmono mengungkapkan, terlepas dari silang sengkurat para sarjana sejarah mengenai sejarah Melayu, bukti yang menyertakan daerah pedalaman Jambi ke dalam lokasi Melayu Kuno adalah petunjuk yang muncul beberapa abad kemudian, yakni beberapa keterangan dari kitab Pararaton dan kitab Negarakretagama. Menurut sumber tertulis ini, raja Singasari, Kertanegara, mengirimkan tentara ke Melayu pada 1275.

Di samping itu, patung Amoghapasa berserta prasastinya, yang ditemukan di dekat sungai Langsat di daerah hulu sungai Batanghari, merupakan bukti nyata yang pertama berkenaan dengan adanya Kerajaan Melayu. Pendapat Soekmono juga diperkuat oleh Hasan Ja’far yang menyatakan di dalam “Prasasti-prasasti Masa Kerajaan Malayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya” bahwa melalui prasasti Amoghapasa yang sezaman dengan Melayu Kuno, dapat disimpulkan benar ada Kerajaan Melayu.[17]

Menurut Soekmono, kenyataan tentang Melayu sesuai dengan upaya rekonstruksi garis pantai timur Pulau Sumatera yang telah dilakukan pada 1954. Hal ini bisa menjelaskan bahwa ketika I-Tsing singgah di Sriwijaya dan Melayu, daerah aliran sungai Batanghari merupakan teluk yang besar, yang menjorok ke pedalaman sampai Muaratembesi. Pada mulut teluk Jambi itu terdapat tiga pulau, yang dapat disesuaikan dengan berita Ptolomeus pada awal tarikh Masehi yang menyebutkan Sabadeibai. Bahkan, dalam rekonstruksi itu, Soekmono mencoba mengidentifikasi Shepo dengan Tebo, San-fo-tsi dengan Tembesi, dan Saba dengan Muarasabak.[18]

Temuan Soekmono tidak lepas dari penolakan sarjana lain, mengingat pendekatan rekonstruksi garis pantai baru langkah awal yang bisa memperkuat keyakinan para peneliti untuk menyingkap tabir gelap sejarah Melayu Kuno. Penanggap Soekmono, di antaranya Bambang Budi Utomo, menilai bahwa persoalan yang diperdebatkan oleh Soekmono, yang terinspirasi dengan kajian Obdeyn (1942), telah usang. Pasalnya, berdasarkan penelitian geologi dan penemuan situs-situs arkeologis di daerah muara Batanghari, dapat disimpulkan bahwa garis pantai pada masa Sriwijaya/Melayu tidak jauh berbeda dari sekarang. Daratan yang diduga merupakan laut, keberadaannya jauh sebelum masa sejarah, yakni dalam kurun geologi.[19]

Terkait Melayu, menurut Budiharjo, hampir semua pakar sependapat bahwa Melayu harus dicari di sungai Batanghari. N.J. Krom bahkan menyatakan bahwa “dat Malayu hade oude djambi is” (Jambi adalah Melayu Kuno). Hal ini menegaskan bahwa ada dua kerajaan besar yang hidup di Sumatera kala itu, yakni Melayu dan Sriwijaya. Sejarawan Slamet Muljana di dalam Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi mengatakan bahwa Melayu berada di Jambi dan Sriwijaya di Palembang; keduanya merupakan negara maritim. Pendapat Muljana didukung oleh pakar di antaranya J. Tokakusu, H. Kern, W.D. Groeneveldt, G. Ferrand, P. Pelliot, J.L. Moens, Paul Wheatley, dan O.W. Wolters. Tentang pentingnya sungai Batanghari, muncul teori bahwa jalur sungai Batanghari dari hilir ke hulu menjadi pusat-pusat Kerajaan Melayu dan ibukota Melayu yang berpindah-pindah sangat masuk akal.[20]

Kalau banyak sarjana memisahkan antara Sriwijaya dan Melayu, lain halnya Bambang Budi Utomo yang menyebut bahwa pada awalnya (sekitar abad 6-7) seluruh Sumatera selain disebut Svarnnadvipa,[21] juga diberi nama Malayu. Setelah 16 Juni 682, menurut Prasasti Kedukan Bukit, nama Melayu (Mo-lo-yeu) hanya lekat dengan Melayu Dharmasraya. Dari interpretasi itu, sebagian besar masyarakat menganggap bahwa di Sumatera ada dua kerajaan yang satu sama lain saling mendominasi, yaitu Sriwijaya dan Melayu.[22]

Perbedaan pendapat mengenai Melayu Kuno, seperti pendapat Soekmono yang kemudian ditanggapi sejarawan lain sebagaimana di atas, membuat ilmu kepurbakalaan atau arkeologi dinilai merupakan “jalan baru” yang bisa membantu usaha menyingkap tabir gelap sejarah. Dalam konteks sejarah Melayu Jambi, tawaran arkeologi tersebut sangat menarik. Menurut Hasan Ja’far, terdapat puluhan prasasti (salah satu jenis tingkatan arkeologis yang tergolong ke dalam artefak bertulis) sezaman dengan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya.[23]

Dari masa Kerajaan Melayu Kuno, kronologinya dapat ditempatkan pada kurun waktu pertengahan abad ke-7 sampai 14. Dalam rentang waktu ini, setidaknya telah ditemukan lebih dari 30 prasasti. Prasasti-prasasti tersebut berada di Jambi, Palembang, dan sebuah prasasti ditemukan di Candi Jago.[24]

Namun, prasasti-prasasti tersebut bukan tanpa persoalan. Hasan Ja’far menyebutkan setidaknya terdapat dua masalah yang membuat arkeologi cukup sulit mengungkap sejarah Melayu Kuno. Pertama, keadaan prasasti-prasasti yang ditemukan cukup memprihatinkan. Prasasti-prasasti tersebut telah banyak hancur, barangkali termakan cuaca tropis yang ganas, perang sipil, atau akibat penjajahan oleh kekuatan asing. Kondisi prasasti (terutama prasasti batu) yang sangat usang dan aus, serta terdapat bagian yang telah patah dan hilang, tidak memungkinkan lagi untuk dibaca dan ditranskripsi secara lengkap dan akurat. Di samping itu, bahasa kuno yang terdapat di prasasti juga menjadi penghambat penerjemahan dan pemahaman inti prasasti.

Kedua, adanya kerancuan dalam hal kronologi dan perwilayahan antara Sriwijaya dan Melayu Kuno.[25] Seperti diketahui, Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya memliki masa perkembangan yang waktunya relatif sama dan memiliki wilayah kerajaan yang hampir bersamaan secara geografis.

E. Penutup: Ruang Studi yang Terbuka Lebar

Berdasarkan paparan di atas, menurut saya, baik Sartono, Soekmono, maupun Hasan Ja’far belum begitu detail menjelaskan sejarah Melayu Kuno. Hal itu disebabkan keterbatasan sumber data yang ada. Walhasil, apa yang mereka tulis masih menyerupai inventarisasi pengetahuan mengenai Kerajaan Melayu Kuno (dan Sriwijaya) dari berbagai kajian yang telah dan sedang dilakukan.

Keterbatasan data membuat Soekmono dan Hasan Ja’far menawarkan arkeologi sebagai solusi. Dalam konteks Jambi, terdapat banyak sekali temuan arkeologis yang diharapkan bisa membantu mengungkap sejarah Melayu Kuno. Sayangnya, temuan-temuan itu memiliki beberapa kelemahan, utamanya disebabkan keadaannya yang kebanyakan tidak utuh lagi.

Kendala data dan pembacaan data arkeologis tersebut semestinya disikapi dengan mengintensifkan studi Melayu Kuno. Dan hal itu tampaknya tidak dilakukan. Sejak Seminar Sejarah Melayu Kuno digelar pada akhir 1992, nyaris tidak ada kemajuan studi atas kerajaan tersebut. Jangankan studi atau seminar lanjutan, publikasi yang luas atas hasil seminar itu, tidak pernah dilakukan.

Walhasil, kini studi Melayu Kuno membuka diri selebar-lebarnya bagi tangan-tangan kreatif dari para ilmuwan, dengan disiplin apa saja, untuk menguaknya.


*Tulisan ini terbit pertama kali di jurnal Seloko Dewan Kesenian Provinsi Jambi. 

Catatan Kaki:

[1] Di dalam artikel ini saya memakai Melayu, dengan pertimbangan kata inilah yang digunakan di masa sekarang. Untuk beberapa hal spesifik atau kutipan, Malayu atau Mo-lo-yeu juga saya gunakan. Demikian juga di bawah saya menggunakan Kuntala, walaupun dalam beberapa hal nama lainnya juga saya pakai.

[2] Leonard Y. Andaya, “The Search for the ‘Origins’ of Melayu”, Journal of Southeast Asian Studies, 32, (2001), hlm. 315-330.

[3] Junjiro Takakusu, “A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago, AD 671-695, by I-Tsing, (Oxford: Clarendon Press, 1896).

[4] Bambang Budi Utomo, Kebudayaan Zaman Klasik Indonesia di Batanghari, (Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2011), hlm.17-18.

[5] George Coedes, Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 124. Ini relevan dengan pendapat James T. Collins bahwa prasasti yang ditemukan oleh van Rongkel sebagai old Malay (Malayu lama atau Malayu Kuno). Bahasa dalam teks bertahun 683 dari Palembang itu diakui sebagai cikal bakal bahasa Melayu yang kita kenal hari ini. Walaupun masih terdengar sedikit perselisihan yang mempersoalkan status old Malay itu sebagai bahasa moyang lansung atau hanya kerabat pada cabang yang dekat dengan bahasa Melayu, hubungan dengan bahasa Melayu sudah amat jelas dan tidak dipersoalkan. Lebih lanjut lihat James T. Collins, Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 54.

[6] O.W. Wolters, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya, (Cornell: Cornell University Press, 1967), hlm. 16.

[7][7] Sartono, “Kerajaan Malayu Kuno Pra-Sriwijaya di Sumatera”, Seminar Sejarah Malayu Kuno Jambi, (Jambi: Pemda Jambi dan Kanwil P & K Jambi, 1992), hlm. 83-87.

[8]  Sartono, “Kerajaan Malayu”, hlm. 83-84.

[9] A.B. Lapian, “Jambi dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal”, Seminar Sejarah Malayu Kuno Jambi, (Jambi: Pemda Jambi dan Kanwil P & K Jambi, 1992), hlm. 145-146. Lebih lanjut menurut James T. Collins, abad ke-7 para penganut agama Buddha sanggup berlayar dari biara dan perguruan Buddha di wilayah Tiongkok hanya demi berkunjung ke pusat ilmu Buddha di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta serta menyalin naskah dan teks suci agama Buddha untuk membawa segala salinan itu pulang ke negaranya. Singkat kata, 1.300 tahun lampau, Nusantara sudah masyhur sebagai pusat pengkajian bahasa Sanskerta dan agama Budha bagi biarawan dan ilmuwan Asia Timur. Salah satu bukti pengkajian bahasan Sanskerta di Nusantara dapat dijejaki dalam karya I-Ching atau ITsing. Lihat Collins, Bahasa Sanskerta, hlm. 24-27.

[10] Sartono, “Kerajaan Malayu”, hlm. 85.

[11] Sartono, “Kerajaan Malayu”, hlm. 84.

[12] Coedès, Asia Tenggara, hlm. 90.

[13] Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia, (Richmond: Curzon Press, 2000), hlm. 75-76.

[14] Sartono Kartodirdjo, M. Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm. 18.

[15]  Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), hlm.18-19.

[16] Muljana, Kuntala, Sriwijaya, hlm.17-18.

[17] Hasan Ja’far, “Prasasti-prasasti Masa Kerajaan Malayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya”, Seminar Sejarah Malayu Kuno Jambi, (Jambi: Pemda Jambi dan Kanwil P & K Jambi, 1992), hlm. 59.

[18] Soekmono, “Rekonstruksi Sejarah Malayu Kuno Sesuai dengan Tuntutan Arkeologis”, Seminar Sejarah Malayu Kuno Jambi, (Jambi: Pemda Jambi dan Kanwil P & K Jambi, 1992), hlm. 41.

[19] Bambang Budi Utomo, “Batanghari, Riwayatmu Kini”, Seminar Sejarah Malayu Kuno Jambi, (Jambi: Pemda Jambi dan Kanwil P & K Jambi, 1992), hlm. 162.

[20] Budiharjo, Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi: Studi Masa Kolonial, (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), hlm. 29-30.

[21] Svarnnadvipa atau svarnnabhumi berarti pulau emas dan tanah emas. Keduanya adalah sebutan bagi Pulau Sumatera.

[22] Utomo, Kebudayaan Zaman, hlm. vi.

[23] Ja’far, Prasasti-prasasti”, hlm. 73-75.

[24] Menurut Nik Hasan Suhaimi Nik Abd. Rahman, dalam konteks arkeologi Kerajaan Melayu, hanya beberapa arca agama Buddha yang baru dijumpai, antara lain, pertama, arca Buddha setinggi 1.72 m sedang berdiri yang terbuat dari batu dijumpai di Muarajambi dengan tarikh diperkirakan abad ke-7 atau ke-8. Gaya arca ini berupa aliran pala yang dikembangkan dari gaya Sarnath, yaitu jubah tanpa dilambangkan lipatannya. Kedua, arca Buddha dari Solok Sipin yang dibuat dari batu dengan ketinggian 1.70 m, diperkirakan dari abad ke-7. Ketiga, arca Prajnaparamitha yang diukir dari batu. Arca ini dinilai identik dengan arca Singasari yang dianggap sebagai arca perwujudan Ken Dedes, hanya saja arca Prajnaparamitha lebih langsing. Keempat, arca Amoghapasa dari Rambahan yang terletak di sempadan Jambi dan Sumatera Barat. Lebih lanjut lihat Nik Hasan Suhaimi Nik Abd. Rahman, “Warisan Seni Kerajaan Malayu dalam Konteks Kronologi dan Budaya di Lembah Sungai Batanghari”, Seminar Sejarah Malayu Kuno Jambi, (Jambi: Pemda Jambi dan Kanwil P & K Jambi, 1992), hlm. 267.

[25] Ja’far, “Prasasti-prasasti”, hlm. 75.

0 Komentar