Ketika W.S. Rendra Memilih Islam


                                                                          W.S. Rendra
Oleh: Jumardi Putra

Selain si “Binatang Jalang” Charil Anwar, WS Rendra atau yang biasa dijuluki si “Burung Merak” bisa dikatakan salah satu penyair yang familiar di tanah air. Tak ada yang meragukan aksi panggungnya, baik sebagai penyair maupun teaterawan. Kemampuannya itu sama baiknya dengan kepiawaianya dalam menulis puisi, esai dan naskah drama.

Pikiran-pikirannya kerap mengisi lembar-lembar kebudayaan di koran-koran, tidak terkecuali sikap beraninya mengkritik Orde Baru. Di luar soal gagasan, keberanian menyatakan kritik, sisi kehidupan pribadinya tak luput disorot oleh juru warta dan acapkali menjadi polemik seperti saat dirinya menjatuhkan pilihan memeluk Islam.

Pengembaraan spiritual telah menghantarkannya, yang semula dari seorang Katolik menjadi seorang Muslim pada usia 35 tahun. Saat itu sejumlah tudingan dialamatkan kepada anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah ini, seperti pindah agama hanya untuk mencari popularitas atau melegalkan upayanya berpoligami.

WS Rendra resmi memeluk Islam saat dirinya menikahi Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri Keraton Yogyakarta, yang sebelumnya bergabung di Bengkel Teater, sebuah kumpulan teater besutan Rendra. Ayah Sito tidak mengizinkan putrinya yang beragama Islam menikah dengan pemuda Katolik. Rendra pun lalu memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari pernikahan dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi penyair Taufiq Ismail dan budayawan Ajip Rosidi.

Menanggapi berbagai komentar sinis atas pilihannya memeluk Islam, Rendra tetap bersikap tenang dan dingin. Baginya, Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya, yakni kemerdekaan individual. "Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain, sehingga saya merasa hak individu saya dihargai," ungkap Rendra sambil mengutip ayat al-Quran yang menyatakan bahwa Allah SWT lebih dekat dari urat leher seseorang.

 

W.S. Rendra Bersama Sunarti dan Sitoresmi, Beserta anak-anaknya.
Dokumen Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin

Sebelum Memilih Islam

Ketertarikan Rendra pada Islam sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum ia menikah dengan Sitoresmi. Dalam sebuah wawancara di salah satu televisi swasta, Sitoresmi membantah bahwa yang membuat Rendra beralih keyakinan adalah karena akan menikahi dirinya. Ia percaya Mas Willy (panggilan akrab WS Rendra) bukan orang yang ela-elo (ikut-ikutan). ''Beliau orang jenius dan berpendirian. Saya yakin dia menjadi Muslim bukan karena saya. Dia memutuskannya pasti melalui telaah mendalam,'' tegas Sitoresmi.

Chaerul Umam, murid Rendra di Bengkel Teater, menceritakan Rendra melakukan perjalanan spiritual yang panjang sebelum menjatuhkan pilihan pada Islam. Bahkan, jelas Mamang, sapaan akrab Chaerul Umam, Rendra pernah mengungkapkan ketertarikannya pada agama Islam ketika dia kuliah di New York American Academy of Dramatic, Amerika Serikat. ''Pernah pada suatu ketika Mas Willy bercerita ketertarikannya kepada Islam itu saat di Amerika. Di saat itu pula dia banyak berdiskusi dengan profesor kulit putih tentang Islam,'' imbuhnya.

Ketika Rendra membuat dan mementaskan drama 'Kasidah Barzanji' yang pertama di Jakarta dia belum menjadi Muslim. Ini memang agak aneh, sebab 'Kasidah Barzanji' yang ia tulis bersama wartawan senior Syuhba Asa berisi syair pujian kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Sejak masuk Islam, Rendra mengganti namanya menjadi Wahyu Sulaiman (WS sebelumnya merupakan singkatan dari Willibrordus Surendra) Broto Rendra. Meskipun dalam rentang waktu yang cukup panjang-setelah dikaruniai 4 orang anak-perkawinannya dengan Sitoresmi kandas. Tetapi, keyakinan Rendra sebagai seorang Muslim tidak berubah. Bahkan, setelah perkawinan dengan istri yang ketiga, Ken Zuraida, diakui Rendra, dirinya semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT (Republika Online, WS Rendra Terkesan dengan al-Quran, 17/8).

Di mata penyair Taufiq Ismail, Rendra adalah seorang muslim sejati meski dia seorang muallaf. Sebelum memeluk Islam, Rendra mempelajari banyak agama dalam mencari kebenaran. Dalam suatu kesempatan, ujar Taufiq, dalam kunjungan ke Inggris, pada suatu Subuh Rendra mendengar suara adzan yang sangat merdu dan menggugah jiwanya. Ketika mendengar suara adzan itu Rendra menangis, dan saat itulah ia mantap memilih Islam dan menjadi penganutnya yang baik hingga wafatnya (M.Subhan, Kabar Indonesia.com 9/8).

Budayawan Emha Ainun Najib atau biasa disapa Cak Nun mengakui WS Rendra yang masuk Islam pada usia 35 tahun sering konsultasi kepadanya. Ia masih ingat WS Rendra selalu menangis bila berbicara tentang Tuhan. Dia sering menanyakan kepada saya tentang Islam, dan di saat itu pula dia kemudian menangis, benar-benar menangis. Dia itu nangis-nangis kalau saya ceritakan Asmaul Husna, kalau saya katakan apa bedanya Ahad sama Wahid, Rohmat sama Rofiq, nangisnya pasti serius, kayak anak kecil, karena dia sangat mencintai Tuhannya. WS Rendra tidak seperti orang yang kebanyakan, hanya menangis di saat tidak berbicara tentang Tuhan (Sugeng Wibowo, Surya Online. Almarhum WS Rendra, Sosok dengan Berbagai Wajah 9/8/2009).

Kesaksian serupa dikatakan jurnalis Republika, Iman Yuniarto F, saat dirinya mewawancarai Rendra di kediamannya pada Oktober 2006, Rendra berujar, " Dulu saya pernah diminta membaca sebuah sajak. Lalu ada rekan mahasiswa yang menangis, terharu. Saya pun ikut menangis. Saya juga gampang menangis kalau membaca riwayat Nabi Muhammad. Indah sekali. Membayangkan pengorbanan Nabi yang tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada agama Islam, kalau tidak ada Nabi. Saya juga menangis kalau mengenang Asma ul Husna".

Sewaktu Rendra kuliah teater di Amerika Serikat, saat itu sedang populer-populernya filsafat eksistensialisme. Kemudian ia membaca kalimat, ''Demi masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan nasihat-menasihati dalam kesabaran (QS Al-Ashr: 1-3). 

Rendra sangat terkesan dengan ayat tersebut. Menurutnya tidak ada kitab suci yang mengatakan bahwa manusia akan selalu merugi dalam perkara waktu. "Lihat. Apa pun bisa kita budayakan, termasuk ruang. Tetapi kita tidak bisa membudayakan waktu. Apa bisa kita menghentikan hari? Dengan teknologi setinggi apa pun, magic setinggi apapun, tidak bisa kita membuat hari Rabu tidak menjadi Kamis. Termasuk saya, tidak bisa menolak kelahiran saya. Saya tidak bisa memilih untuk lahir pada abad ke-22 atau lahir zaman Majapahit,” akunya.

Selanjutnya, dalam ayat tersebut, al-quran tidak menyebut yang selamat adalah orang yang Islam, orang yang kaya, orang yang pintar atau orang yang sehat.  Kendati menyebutkan manusia sebagai orang yang merugi, namun Al-quran juga memberikan solusi. Mereka yang tidak merugi adalah orang yang beriman, beramal saleh, serta saling berwasiat dalam kesabaran dan kebenaran.

Sejumlah karya WS Rendra banyak terinspirasi oleh Al-quran. Maka, ketika ditanya hubungan antara Islam dan karya sastranya, Rendra menjawab dengan lugas, "intinya kita berwasiat dalam kebenaran. Mudahan-mudahan”.

0 Komentar