| seni budaya jambi sumber: penulis. |
Oleh: Jumardi Putra
Provinsi Jambi saat ini menghadapi kekosongan representasi kelembagaan budaya.
Dewan Kesenian Provinsi Jambi telah lama vakum, sementara ruang gerak Lembaga
Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi terbatas pada urusan adat. Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata pun memiliki keterbatasan internal, meski saban tahun disokong
pembiayaan menurut deret-ukur APBD maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) yang bersumber dari transfer pemerintah pusat. Di sisi lain, keberadaan
Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V merupakan lembaga vertikal pusat dari Kementerian Kebudayaan RI memiliki mandat spesifik.
Institusi-institusi tersebut—dengan sejarah, tupoksi, dan dasar hukumnya
masing-masing—adalah bagian integral dari agenda pemajuan kebudayaan secara nasional. Namun
faktanya, beban berat pemajuan kebudayaan justru dipikul oleh individu seniman,
budayawan, dan organisasi/komunitas/sanggar seni di seantero Jambi. Mereka
tumbuh, jatuh, dan bangkit kembali secara mandiri di tengah posisi kebudayaan
yang masih berada di pinggiran pembangunan (peripheral), bahkan
terkadang hanya menjadi subordinat kekuasaan semata.
Muncul pertanyaan krusial, siapa yang menjadi penghubung antara
pengambil kebijakan (Pemerintah Provinsi Jambi dan BPK Wilayah V) dengan denyut
nadi kreativitas masyarakat? Siapa yang mengartikulasikan kepentingan para
pelaku budaya, baik tradisional maupun kontemporer, yang terus berkontribusi
bagi daerah dan nasional?
Di sinilah Provinsi Jambi memerlukan sebuah lembaga kebudayaan yang
didesain secara independen, profesional, serta diisi oleh individu yang
kompeten dan berintegritas. Sebenarnya pemerintah Provinsi Jambi sudah beberapa
langkah lebih maju dalam konteks penyusunan regulasi bidang kebudayaan. Hal ini
ditandai empat tahun sebelum terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan, Pemerintah Provinsi Jambi bersama DPRD Provinsi Jambi telah
mengesahkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Pelestarian dan
Pengembangan Budaya Melayu Jambi. Bahkan, berselang 10 tahun setelahnya, kedua
lembaga tersebut merevisi perda tersebut agar sejalan dengan dasar peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi bidang kebudayaan, sehingga menjadi peraturan daerah yang berlaku
sampai saat ini yaitu Nomor 5 Tahun 2023 Tentang Pelestarian dan Pengembangan
Budaya Melayu Jambi.
Kehadiran Perda Nomor 5 Tahun 2023 selain sejalan dengan haluan
pembangunan nasional bidang kebudayaan yang termaktub di dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, juga merupakan langkah berkesinambungan
(kontinuitas) untuk memastikan seluruh potensi kebudayaan daerah Jambi bisa tumbuh
dan berkembang seraya melakukan empat langkah strategis yang diamanatkan yaitu pelindungan, pengembangan, pemanfaatan
dan pembinaan.
Saya tidak perlu
menerangkan di sini penjelasan dari keempat strategi tersebut, kecuali mengetengahkan
satu perkara pokok yang bisa kita diskusikan lebih lanjut yaitu urgensi keberadaan
lembaga kebudayaan sebagai salah satu pilar penting untuk menggerakkan roda keempat
strategi tadi. Segendang sepenarian, Pasal 16 dalam Perda Nomor 5 Tahun 2023 tentang
Pelestarian dan Pengembangan Budaya Melayu Jambi jelas mengamanatkan
pembentukan Dewan Kebudayaan Melayu Jambi (selanjutnya disingkat DKMJ) yang
diatur lebih lanjut dalam peraturan Gubernur Jambi.
Sayangnya, sejak Perda
ini terbit pertama kali tahun 2013 dan perubahannya tahun 2023, lembaga DKMJ
yang dimaksud belum terbentuk, sehingga seluruh potensi sekaligus problematika
seputar pelestarian dan pengembangan budaya melayu Jambi yang menyertainnya,
belum secara maksimal berhasil diperjuangkan menjadi bagian dari upaya bersama
untuk mengintegrasikan isu-isu kebudayaan untuk menjadi bagian integral dari desain
pembangunan Provinsi Jambi baik secara jangka pendek, menengah dan panjang.
Benar, Pemerintah
Provinsi Jambi sampai saat ini telah berusaha memastikan isu-isu kebudayaan
menjadi bagian dari perencanaan pembangunan secara tahunan (RKPD) maupun lima
tahunan (RPJMD) melalui penyusunan dan evaluasi dokumen Pokok-Pokok Pikiran
Kebudayaan Daerah (PPKD) Provinsi Jambi. Namun, upaya itu belumlah cukup untuk membangun
satu gerakan terintegrasi dengan pelbagai stakeholder dalam rangka penguatan regulasi,
institusionalisasi, dan dukungan anggaran untuk pemajuan kebudayaan. Terlebih
lagi, mencermati janji-janji politik Al Haris-Sani yang termaktub di dalam
RPJMD Provinsi Jambi 2025-2029, belum sepenuhnya menaruh komitmen atau
keberpihakan terhadap seluruh agenda pemajuan kebudayaan, terutama yang bersentuhan
langsung dengan penguatan keberadaan organisasi/komunitas/sanggar seni-budaya—termasuk
individu-individu di dalamnya— di seantero Provinsi Jambi.
Saya pernah membayangkan ada
semacam “dumisake” kebudayaan berupa bantuan keuangan untuk organisasi seni
maupun individu seniman/budayawan saban tahun yang bersumber dari APBD Provinsi
Jambi. Namun nyatanya, hingga memasuki awal periode kedua kepemimpinan Gubernur
Al Haris kini—ditandai dengan program unggulan “Quick Wins Pro Jambi” (Cerdas, Sehat, Tangguh,
Responsif, dan Agamis), hal itu nyatanya
tidak menjadi suatu kenyataan teknokratis-historis. Kalaupun ada termaktub
dalam RPJMD yaitu hanya dukungan bagi Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi
yang saban tahun menerima bantuan hibah uang maupun dalam bentuk program
(karena hibah tidak bisa secara berturut-turut) pada Dinas Kebudayaan Pariwisata
Provinsi Jambi pada tahun 2024 sebesar 1,8 Miliar, lalu 2025 sebesar 1,7 Miliar
dan berlanjut pada 2026 sebesar 1,5 Miliar. Di tengah kondisi APBD yang terbatas
saat ini, dan itu artinya terbatas pula belanja bagi setiap bidang pada perangkat
daerah di lingkup Pemerintah Provinsi Jambi (imbas turunnya dana transfer
pemerintah pusat ke daerah), dukungan anggaran bagi LAM Jambi sangatlah
berarti. Saya berharap dukungan anggaran bagi LAM Jambi benar-benar
diperuntukkan bagi kerja-kerja strategis dan membumi, bukan terjebak pada kerja
prosedural-seremonial belaka.
Memang terdapat dukungan
pembiayaan untuk individu-individu maupun organisasi seni melalui skema Dana Alokasi
Khusus/DAK (Transfer Pemerintah Pusat) yang masuk ke dalam postur APBD Provinsi
Jambi melalui UPTD Taman Budaya Jambi (jumlahnya kecil) maupun dana fasilitasi
kegiatan dari BPK Wilayah V serta Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Namun,
hemat saya itu tidak lantas menjadi alasan bagi Pemerintah Provinsi Jambi bersikap
abai menunjukkan keberpihakannya secara nyata dan berkesinambungan bagi pelaku
budaya baik individu maupun organisasi seni yang bersumber dari APBD Provinsi
Jambi setiap tahun.
Sedari bersama, problem politik
anggaran bidang kebudayaan (merupakan urusan wajib dalam konstruksi Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah dan bahkan diperkuat melalui UU
Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan) sejatinya hanyalah salah satu
dari sekian permasalahan menahun yang menjadi buah-bibir di kalangan pelaku kebudayaan,
selain hal penting lainnya adalah perlunya Pemerintah Provinsi Jambi memiliki
Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan Provinsi Jambi yang menjadi rujukan bagi agenda
pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan serta terkoneksi dengan
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Jambi dan dokumen perencanaan
strategis Provinsi Jambi lainnya seperti Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah
(PPKD), RKPD, RPJMD, dan Rencana Tata Ruang-Wilayah serta Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Hal ini penting agar seluruh program dan
kegiatan setiap tahun bidang kebudayaan yang bersumber dari APBD Provinsi Jambi
tidak berjalan parsial dan sporadis.
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi yang masif saat ini, sesuai amanat Pasal 16 dalam Perda
Nomor 5 Tahun 2023, sungguh tidak sederhana tugas yang dibebankan kepada Dewan
Kebudayaan Melayu Jambi, yaitu mengoordinasikan semua
kegiatan pelestarian dan pengembangan Budaya Melayu Jambi; melakukan
monitoring, pengawasan, dan mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Daerah tentang
Pelestarian dan Pengembangan Budaya Melayu Jambi; menyampaikan hasil
monitoring, pengawasan, dan mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Daerah untuk
direkomendasikan kepada Gubernur, DPRD Provinsi Jambi, dan pihak-pihak terkait;
merumuskan kebijakan dan manajemen pelestarian dan pengembangan Budaya Melayu
Jambi; dan bersama Pemerintah Daerah menyusun standar pelestarian dan
pengembangan budaya melayu Jambi sesuai dengan peraturan perundang undangan
yang berlaku.
Pada akhirnya, pembentukan DKMJ ini memiliki empat nilai strategis (signifikansi)
yang mencakup fungsi kebijakan hingga fungsi kuratorial yaitu pertama sebagai penasihat kebijakan (advisory body) bagi
Gubernur Provinsi Jambi secara langsung maupun melalui perangkat daerah yang
mengurusi bidang kebudayaan; kedua sebagai penjaga independensi kreatif yang bertujuan memastikan bahwa
dukungan pemerintah (seperti dana hibah dan skema bantuan keuangan sah lainnya)
diberikan berdasarkan kualitas artistik dan nilai budaya, bukan berdasarkan
kepentingan politik tertentu.
Selanjutnya, DKMJ sebagai kurator
dan pengarsip peradaban yang berfungsi memetakan potensi budaya (OPK-Objek
Pemajuan Kebudayaan) sesuai amanat UU Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan
Kebudayaan, dan terakhir sebagai lembaga yang berperan memastikan ekosistem
yang sehat bagi para pelaku budaya agar karya mereka memiliki nilai tambah
ekonomi tanpa kehilangan nilai esensialnya.
*Rabu, 31 Desember 2025. Penulis adalah salah satu anggota perumus Perda Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi, terlibat dalam pembahasan revisi Perda Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Melayu Jambi, dan salah satu anggota penyusun dan evaluasi Dokumen Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Provinsi Jambi (2018 dan 2024/2025).
*Tulisan-tulisan saya lainnya seputar isu kebudayaan Jambi di link berikut ini:
- LAM Jambi dan Polemik Plagiasi (2025)
- Uli Kozok dan Jambi (2025)
- Tarian Sang Aktor (2025)
- Kembali Ke Candi Muaro Jambi: Dari Madilog Tan Malaka sampai Mimpi-mimpi Pulau Emas (2025)
- Prematur: Catatan Atas Buku Biografi Abdurrahman Sayoeti (2025)
- Membaca Bangsa Pelaut: Menyibak Tabir Sejarah Mauara Sabak (2025)
- Dari Malam Keagungan Melayu Jambi hingga Konser NDX A.K.A (2025)
- Anugerah Kebudayaan Indonesia 2017-2024 Tanpa Jambi, Kenapa? (2024)
- Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan (2024)
- Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Sepanjang Oktober (2024)
- Najwa Sihab dan Peradaban Yang Hilang di Muaro Jambi (2024)
- Polemik di Balik Gelar Adat Melayu Jambi (2024)
- Apa dan Kenapa MWCF Jambi? (2024)
- Festival Literasi Jambi, Dari Militansi ke Retrospeksi (2023)
- Di Balik Layar Beranda Budaya TVRI Jambi (2022)
- Di Balik Panggung Pemilihan Bujang-Gadis Jambi (2022)
- Quo Vadis Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi (2022)
- Al Haris-Sani dan Pengarusutamaan Kebudayaan: Sebuah Autokritik (2021)
- Duta Baca Prov Jambi, Kerja Apa? (2021)
- Mengenal Dr. Fiona Kerlogue dan Batik Jambi (2021)
- Profesor Bill Watson dan Kerinci (2021)
- Quo Vadis Dewan Kesenian Jambi (2020)
- Djang Aisjah Muttalib dan Penelitian Sejarah Sarikat Abang di Jambi (2020)
- Maryam dan Anugerah Maestro Seni Tradisi (2019)
- Menyoal Warisan Budaya Tak Benda Prov Jambi (2018)
- Quo Vadis Taman Budaya Jambi (2017)
- Jambi TUNTAS Defisit Kebudayaan (2016)
- Melampaui Kekisruhan FIB Universitas Jambi (2016)
- Pilgub Jambi: Pariwisata Tunabudaya (2015)
- Kabut Asap dan Ekonomi Tunabudaya (2015)
- Malam Keagungan Melayu Jambi dan Hal-Hal Yang Belum Selesai (2015)
- Jambi EMAS Minus Kebudayaan (2014)
- Urgensi Konferensi Studi Jambi (2013)
- Revitalisasi Budaya Lokal Jambi, Sebuah Catatan (2011)

0 Komentar