LAM Jambi dan Polemik Plagiasi

 

ilustrasi. sumber:safespace.qa


Oleh: Jumardi Putra*

Langit kebudayaan Jambi tengah dirundung mendung tebal. Persoalan ini berawal dari dugaan plagiasi yang menimpa Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi. Di bawah kepemimpinan Hasan Basri Agus (HBA), yang bergelar Datuk Temenggung Jayo Diningrat, serta belasan pengurus LAM lainnya, diduga telah menjiplak sebagian isi buku berjudul Sumpit Gading Damak Ipuh Hukum Adat Melayu Jambi (disingkat SGDI) karya Muchtar Agus Cholif (MAC) bergelar adat Adipati Cendikio Anggo Gantorajo, yang ironisnya juga pernah menjadi pengurus LAM Jambi.

Menurut pengakuan MAC yang tersebar luas di media sosial, buku hasil prakarsa LAM Jambi berjudul Adat Melayu Jambi terbitan Prenada Media Group (2023) telah membajak 23 halaman dari karyanya (baca di sini: https://www.facebook.com/100087423227278/videos/mengejutkan-muchtar-agus-cholif-mengungkap-pernyataan-yang-tajam-terkait-buku-ka/1690376718298313/). Karena polemik ini tidak terselesaikan secara internal, permasalahan tersebut berujung pada laporan ke lembaga aparat penegak hukum yaitu Kapolda Jambi. Bahkan, hingga kini para pihak yang berkonflik justru saling melaporkan satu sama lain dengan pelbagai dalih hingga merambah ke persoalan pencemaran nama baik dan lain sebagainya.

Catatan saya kali ini tidak akan merespon proses hukum yang tengah berlangsung. Namun, sangat disayangkan hingga kini LAM Jambi belum memberikan jawaban resmi atau klarifikasi atas dugaan plagiasi yang dituduhkan MAC. Sikap pasif ini justru berakibat buruk bagi citra LAM Jambi secara kelembagaan. Padahal, sebagian besar pengurus LAM Jambi adalah mereka yang pernah dan bahkan masih aktif di lingkungan perguruan tinggi maupun birokrasi pemerintahan daerah.

Lima tahun yang lalu, polemik serupa pernah terjadi pada pengurus LAM Riau-Bengkalis terkait dugaan plagiasi buku "Susur Galur Pernikahan Secara Adat Melayu Bengkalis". Namun, setelah ahli waris penyusun buku itu melayangkan somasi, maka kedua belah pihak bersepakat damai atau menyelesaikannya secara kekeluargaan (baca di sini: https://www.cakaplah.com/berita/baca/48687/2020/01/23/polemik-plagiat-buku-ahli-waris-dan-lamr-bengkalis-sepakat-damai#sthash.0W2CpDis.dpbs). Begitu juga pada tahun 2016, polemik plagiasi terjadi di kalangan penulis maupun komunitas sastra di Jambi, yang berujung dengan pengakuan seorang penulis sehingga yang bersangkutan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka sekaligus menarik karya yang terlanjur beredar.

Bertolak dari preseden tersebut, entah alasan apa, polemik plagiasi yang dituduhkan MAC kepada LAM Jambi seolah tidak menemukan jalan keluar sampai saat ini. Apa dan kenapa?

Kiri: Buku karya LAM Jambi (Prenada Media). Kanan: Buku karya MAC (SMI)

Permasalahan tuduhan plagiasi ini seharusnya diurut hingga ke pangkalnya. Hal-hal di luar substansi pertanyaan tentang plagiasi semestinya tidak perlu menyertai polemik ini, sehingga bisa terang benderang dan segera berakhir (baca di sini: https://sekatojambi.com/lam-jambi-gugat-datuk-mac-di-pengadilan-niaga-medan-perkara-apa/). Pertanyaan utamanya adalah benarkah terjadi plagiasi terhadap karya MAC? Apa indikator dan bukti-bukti praktik plagiasi yang dilakukan oleh pengurus LAM Jambi?

Saya belum membaca karya MAC maupun buku terbitan LAM Jambi yang disebut-sebut berisikan sebagian dari hasil plagiasi. Namun, secara prinsip, menjiplak karya seseorang tidak akan terjadi bila proses penulisan buku menerapkan kerja-kerja kurasi secara ketat sebelum naskah diterbitkan. Upaya ketelitian itu mencakup isi atau substansi tulisan dan penggunaan sumber literatur dari penulis lainnya. Dunia kepenulisan dalam tradisi panjangnya memiliki aturan dan mekanisme tersendiri tentang hal itu, sehingga terhindar dari plagiasi.

Plagiasi atau penjiplakan karya tidak hanya merupakan masalah etika atau pelanggaran hukum individu, tetapi juga merupakan sebuah persoalan kebudayaan yang berakar dalam tradisi intelektual dan sikap mental masyarakat. Dengan kata lain, ketika kasus plagiasi menjadi marak, itu mengindikasikan adanya masalah yang lebih besar di tingkat kebudayaan, bukan sekadar kesalahan satu atau dua orang.

Pada akhirnya, menciptakan iklim intelektual yang sehat—dengan cara menghidupkan polemik dan diskusi keilmuan, serta memastikan budaya organisasi anti-plagiasi—akan membentuk komunitas yang menghargai dan mencerdaskan. Dalam konteks itu, LAM Jambi (tentu saja pengurus di dalamnya) diharapkan konsisten memberikan teladan.

*Kota Jambi, 14 Oktober 2025.


*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya seputar isu kebudayaan:

0 Komentar