Sepulang Nonton Agak Laen, Menyala Pantiku!

 

Film Agak Laen, Menyala Pantiku


Oleh: Jumardi Putra*

Setelah bergumul dengan tugas kantor yang melelahkan, saya bersama istri dan dua rekan sejawatnya, janjian bareng nonton film layar lebar Agak Laen: Menyala Pantiku! Benar saja, film besutan sutradara Muhadkly Acho ini berhasil mengocok perut saya. Gelak tawa ini hampir dirasakan oleh semua penonton di studio 2—benar-benar pecah! Faktanya, film ini mendapat review positif dari netizen, melanjutkan kesuksesan film pertama dengan formula yang sedikit berbeda.

Sebagai genre komedi, film ini sukses membuat penonton tertawa non-stop dan sesekali menyeka air mata pada momen tertentu dalam alur cerita film ini. Kadar komedinya tak kalah lucu dibandingkan film pertama (2024). Terlebih lagi, chemistry dan karakter keempat pemain utama (Oki Rengga, Boris Bokir, Indra Jegel dan Bene)—yang kali ini berperan sebagai detektif undercover di panti jompo—kembali menunjukkan kesolidan. Mereka berhasil mempertahankan timing komedi yang ajek, sekaligus menyajikan kehangatan tanpa kehilangan rona kekocakannya.

Menariknya, film ini tidak hanya menawarkan komedi. Ada perpaduan dengan genre aksi yang berhasil, seperti pertengkaran yang digarap lumayan serius (seperti perkelahian long take antara Boris dan Oki) dan format misteri whodunnit yang diselipi plot twist halus. Kombinasi ini membuat penonton tidak hanya terhibur, tetapi juga penasaran dan tegang.

Penulis bersama istri

Mengusung nilai-nilai kekeluargaan, tanggung jawab, dan dilema moral dapat dikatakan menjadi ruh dari film ini. Pelajaran hidup tidak melulu datang dari majelis keilmuan atau mimbar pengajian, melainkan juga bisa datang dari panti jompo, sesuatu yang barangkali abai diperhatikan kebanyakan dari kita.

Mencermati jalan cerita dan karakter para pemeran di film ini, saya menangkap i’tibar (pelajaran) yang mendalam. Film ini mengingatkan bahwa kasih sayang orang tua terhadap anak adalah abadi dan tidak berubah, terlepas dari usia dan kompleksitas keadaan dalam rumah tangga. Hal ini juga mengasah kepekaan publik tentang empati dan nurani serta ketulusan dan cinta kasih kepada kaum lansia.

Lebih lanjut, film ini mengangkat dilema moral yang dihadapi oleh empat sekawan yang menyamar sebagai detektif. Mereka dihadapkan pada situasi di mana tugas (menghukum buronan) berbenturan dengan hati nurani (moral call) ketika buronan tersebut adalah seorang lansia yang tampak tidak berdaya. Kendati demikian, di ujung cerita, film ini menekankan kejujuran sebagai nilai mendasar. Penonton yang jeli tentu ingat bagaimana keempat tokoh ini dibuat dilema hingga akhirnya bersepakat menyerahkan uang sekoper peninggalan Koh Acim (yang diperankan Kin Wah Chew), buronan kasus pembunuhan anak wali kota, ke Panti jompo, tempat kelak mereka mengabdi, setelah sebelumnya meraka dipecat dari institusi kepolisian, genah mereka membangun karir.  

Hemat saya, film ini secara keseluruhan memperkuat pesan tentang pentingnya kekeluargaan, persahabatan, dan saling membantu saat teman sedang kesulitan. Meskipun diamanahi misi yang rumit dan masalah finansial yang melilit, toh mereka tetap terus bekerjasama. Dengan kata lain, film ini menghadirkan konflik hidup yang terasa realistis dan dapat dirasakan oleh banyak orang dewasa. Tidak berlebihan kiranya film ini menjadi paket lengkap yang "menyala" jelang tutup tahun 2025.


*Kota Jambi, 4 Desember 2025.

*Tulisan saya lainnya tentang film Indonesia:

0 Komentar