Sejarah Bioskop di Jambi

Isi Museum Bioskop Jambi. Dok. Penulis.

Oleh: Jumardi Putra*

Nama Tempoa Art Gallery yang beralamat di Jalan Tempoa II Jelutung No. 21, Kota Jambi, kian santer terdengar dan bahkan secara nasional mulai menjadi pusat perhatian, utamanya di kalangan pengkaji maupun penikmat karya seni rupa dan film.

Usut punya usut, selain Tempoa konsisten menyediakan ruang-ruang kreatif, utamanya bagi perupa melalui kegiatan pameran dan pelatihan melukis secara berkala, diskusi budaya dan panggung puisi, di sini tersimpan tinggalan artefak industri bioskop era akhir 1970-1990-an milik keluarga Lie.

Sebelum Tempoa Art Gallery dikenal luas, saya bersama fotografer Sakti Alam Watir, diajak Harkopo Lie, anggota keluarga Lie, menyusuri tinggalan bioskop President dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Tak terkecuali ke dalam rumah pribadi orangtuanya yang hanya berjarak sepelemparan batu dari gedung Tempoa Art Gallery.

“Di ruangan mini teater di rumah ini, Try Sutrisno, Wakil Presiden RI periode 1993-1998, pernah menonton film bersama,” kenangnya.

Meski bioskop yang dikelola Harkopo Lie ini tutup sejak 1990-an, sebagian besar artefak industri bioskop seperti media promosi, baliho, foster, karcis, mesin proyektor pemutaran film, kursi-kursi berbahan kayu dan anyaman plastik, mesin kipas angin, mobil keliling, hingga gedung, masih utuh tersimpan dan terawat dengan baik.

Harkopo Lie, akunya, bukan satu-satunya sosok di balik industri bioskop Mega di Jambi, melainkan buah kegigihan kakak sulungnya, Arwin Lie, sehingga memiliki jaringan bioskop hampir di seluruh Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi era 1976-1990-an. Setelah bioskop Mega meraup sukses, disusul bioskop lainnya, seperti Duta, Murni, Ria, dan pada tahun 1970-1980-an, lalu bioskop President, Sumatera, Mayang dan Sitimang.

Namun, bagian yang tak bisa dinafikan darinya, adalah Harkopo Lie yang kini dikenal sebagai pengusaha, dahulunya berprofesi sebagai pelukis film di baliho maupun foster untuk bioskop milik keluarganya maupun bioskop lainnya. Selain ditampilkan di gedung bioskop–karya yang pada tahun 1976-1990-an itu, sebelum digital printing jamak dipakai–dikerjakan secara manual–karyanya juga di arak keliling dengan mobil sambil menggunakan pengeras suara menghimbau masyarakat menyaksikan film terbaru yang diputar di bioskop.

Terhadap beberapa baliho maupun foster film karya Harkopo Lie itu, saya dibuat menahan tawa sekaligus mengulum senyum.  Tersebab saya melihat judul-judul film jadul dan aktor pemeran kawakan yang digandrungi era 1970-1990-an. Mulai dari film dengan genre religi, komedian, horor, action, hingga film khusus yang dilabeli “Midnigth”. Sebut saja, aktris seperti Yati Oktavia, Roy Marten, Robby Sugara. Dari film-film yang beredar, bahkan ada film dari Jambi, judulnya Intan Perawan Kubu dan Jari-Jari Lentik.

Bagi insan seni, utamanya perfilman, tentu keberadaan artefak bioskop ini membahagiakan. Jambi sangat beruntung karena dalam situasi industri film yang maju pesat sekaligus kompetitif sekarang ini masih bisa kita temukan artefak kebudayaan, yang menandai memori kolektif warga Jambi tentang dinamika industri bioskop pada masanya.

Lebih jauh kita dapat melacak jaringan sekaligus persaingan usaha bioskop di Jambi, daftar film-film yang diputar (besutan sutradara dalam maupun luar negeri), aktris atau pemeran, publikasi film-film bioskop di koran-koran lokal Jambi, selera warga dan cita rasa film, klasifikasi film, proses pembuatan lukisan di baliho dan poster film, dan yang tak kalah penting, tradisi arak-arakan mobil ke kampung-kampung mensosialisasikan film yang sedang dan akan diputar (now-showing dan coming soon).

Memang, gambaran bioskop tempo dulu tak sekeren hari ini, sebut saja, seperti tiga merek bioskop ternama di Indonesia, yaitu Cinema XXI, CGV Blitz, dan Cinemaxx. Kesemuanya dilengkapi sound system mutakhir, kursi empuk (dan bahkan kelas VIV disediakan sofa khusus), ruangan full ac, kualitas empat dimensi, e-tiket, serta dilengkapi dengan fitur-fitur mewah lainnya untuk menyempurnakan hasrat penonton akan film dan aktor yang digandrungi.

Sependek penelusuran saya, pada tahun 1987, asal negara film yang tayang di bioskop Jambi beragam. Mulai dari film Indonesia dengan jumlah 268.159 pengunjung; Amerika dengan jumlah 187.609 pengunjung; Jepang dengan jumlah 107 pengunjung; Italia dengan jumlah 8.153 pengunjung;, Hongkong dengan 159.362 pengunjung; dan film lainnya sebanyak 108.872 pengunjung. Selengkapnya di link berikut ini: http://kajanglako.com/id-2057-infografis-infografis-film-yang-paling-banyak-ditonton-di-bioskop-jambi-era-80an-berdasarkan-asal-negara-film.html

Sementara rilis Kantor Statistik Provinsi Jambi periode 1981-1987, menunjukkan jumlah bioskop dan pengunjung berikut ini: tahun 1981 sebanyak 12 Bioskop dengan 1.079.532 pengunjung; 1982 sebanyak 15 Bioskop dengan 1.226.236 pengunjung; 1983 sebanyak 16 Bioskop dengan 1.113.610 pengunjung; 1984 sebanyak 16 Bioskop dengan 1.114.753 pengunjung; 1985 sebanyak 14 Bioskop dengan 898.116 pengunjung; 1986 sebanyak 13 Bioskop dengan 802.053 pengunjung; dan 1987 sebanyak 14 Bioskop dengan 827.776 pengunjung. Selengkapnya dapat dibaca di link berkut ini: http://kajanglako.com/id-1878-infografis-infografis-bioskop-di-jambi-era-80an.html

Meski tampak fluktuatif, dari data itu terlihat jelas, bioskop masa itu menjadi salah satu tempat alternatif hiburan yang ramai dikunjungi warga kota Jambi.

Sayangnya, dalam banyak kongkow-kongkow maupun forum resmi kebudayaan di Jambi, film dan bioskop adalah dua artefak budaya yang belum tersentuh sama sekali oleh kajian/penelitian. Padahal, di luar soal industri hiburan, bioskop Murni, untuk menyebut contoh, yang berada di kawasan Murni, Kota Jambi, pada tanggal 16-18 Januari 1955, pernah menjadi tempat Kongres Pasirah se-Kresidenan Jambi, demikian juga bioskop Capitol (Duta) pernah menjadi tempat Kongres Rakyat Jambi pada tanggal 15 Juni 1955, keduanya dalam rangka mewujudkan keluarnya Jambi dari provinsi Sumatera Tengah hingga menjadi daerah otonom tingkat satu dalam rentang waktu perjuangan 1946 hingga 1957.

Sepencatatan saya, sejak 1980 sampai 2000-an, terdapat beberapa biokosp yang familiar di kalangan warga Kota Jambi, yang masing-masing memiliki 2-4 teater, dengan kapasitas ± 60 kursi/teater, seperti berikut ini: (1) Bioskop President beralamat di Pasar Kota Jambi. Warga biasanya menyebut di pasar tingkat atau istana anak-anak; (2) Sumatera 21 beralamat tak jauh dari gedung/stadion KONI Provinsi Jambi; ((3) Telanai 21 (Telah tiada dan beralih menjadi hotel); (4) Duta 21 yang pada masa awal kemerdekaan dikenal nama bioskop Capitol; (5) Bioskop Mega; (6) Bioskop Murni beralamat di kawasan Murni Kota Jambi); (7) Bioskop Ria; ((8) Bioskop Mayang Theatre beralamat tak jauh dari stadion Persijam Kota Jambi); dan (9) Bioskop Sitimang berada persis dekat pasar baru Talang Banjar.

Selain di kota Jambi, Maret 2016, salah satu sisa bangunan tua yang sempat saya kunjungi di kawasan Benteng Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari, yakni bioskop Mawar. Bioskop berbahan kayu Batang Tembesu dan Kayu Bulian ini didirikan pada 1950 dengan luas bangunan 20 X 20 meter.

Menurut Datuk Sutan Bachtiar Oedin, sesepuh di Kawasan itu, bioskop Mawar beroperasi terakhir kali sekira 1980-an, setelah itu tak digunakan lagi. Bioskop itu dahulunya dikelola oleh pihak Pemkab Batanghari dan TNI, karena pada waktu itu Indonesia sudah merdeka pada tahun 1945, sedangkan Kabupaten Batanghari berdiri pada tahun 1948.

"Pihak pengelola membuka bioskop tidak setiap hari, tetapi hanya satu Minggu sekali. Pemutaran film dilakukan malam hari. Siangnya, pengelola berkeliling ke Desa-desa mengumumkan tentang pemutaran filim di bioskop tersebut,” kilah pria kelahiran 1920 itu.

Daftar bioskop di atas tentu terus bertambah bila kita menelusuri Bioskop yang terdapat di Kabupaten/Kota dalam provinsi Jambi. Maka, pertanyaan yang muncul adalah, seiring kehadiran Museum Bioskop Jambi, apa maknanya di tengah semua ini?

Kehadiran museum Bioskop di Jambi ini, hemat saya, tentu memiliki arti khusus, dikarenakan artefak industri bioskop era 1980-1990-an, yang masih lengkap dan terawat itu, boleh dikata dapat menjadi salah satu rujukan museum spesifik untuk konteks regional sumatra dan nasional.

Kita masih ingat, salah satu model museum spesifik yang terus menjadi pembicaraan nitizen sekarang ini, yakni Indonesian Old Cinema Museum. Sebuah museum cinema pertama di Indonesia yang dikelola perseorangan, yakni Hariadi, seorang pengusaha layar tancap keliling di Jalan Soekarno Hatta Kota Malang.

Pada jenis museum spesifik yang berbeda, juga terdapat Museum Transportasi di Malang, yang saat ini menambah keunikan kota Malang sekaligus menjadi destinasi alternatif bagi wisatawan baik domestik maupun luar negeri.

Setakat keduanya, kehadiran museum bioskop di Jambi ini akan melengkapi deretan museum-museum yang ada di Jambi sekarang ini, baik itu dikelola secara profesional oleh institusi pemerintah daerah, swasta maupun oleh warga, seperti berikut ini: Museum Siginjei (Jl. Urip Sumoharjo No. 1 Telanaipura, Kota Jambi); Museum Perjuangan Rakyat Jambi (Jl. Sultan Agung, No. 12, Lapangan Banteng, Kota Jambi); Museum Gentala Arasy Jambi (Menara Gentala Arasy, Kel. Arab Melayu, Pelayangan, Kota Jambi); Museum Zoologi (Jl. Sunaryo No. 94 Talang Bakung, Jambi); Museum Percandian Muarojambi (Desa Danau Lamo, Maro Sebo, Kab. Muaro Jambi);  Museum Desa Air Hitam Laut (Desa Air Hitam Laut, Kec. Sadu, Kab. Tanjung Jabung Timur), Museum Geopark Merangin/Taman Bumi (Jl. Mayor Syamsuddin Uban, Pasar Bawah, Bangko (eks Kantor Diparbudpora Kab. Merangin), dan Museum Cagar Budaya Iskandar Zakari (Jl. RA Kartini, Dsn. Nek, Kel. Dusun Baru, Kota Sungai Penuh).

Akhirnya, menyaksikan keberadaan artefak industri bioskop di Jambi (dalam hal ini milik Harkopo Lie sekeluarga) era 1976-1990-an, bak melihat gadis Melayu nan jelita, banyak sisi dari kemenarikannya yang belum tersentuh sama sekali oleh tangan-tangan kreatif. Jadi, menunggu apa lagi, mari kita teliti dan tulis!

*Tulisan ini merupakan sub bagian dari makalah penulis pada Seminar Festival Budaya Bioskop Jambi, 21 November 2018, di Tempoa Art Gallery, Kota Jambi. Perhelatan ini kerjasama antara Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (FSR-IKJ) bersama Tempo Art Gallery dan lembaga pendukung lainnya.

0 Komentar