Potret Sang Moderat, Romantis dan Berpikiran Terbuka: Catatan Atas Film Buya Hamka

Oleh: Jumardi Putra*

Sedari gathering film Buya Hamka, 29 Maret 2023, saya sudah menancapkan niat ingin menonton film drama biografi tokoh karismatik tanah air itu. Keinginan tersebut lebih karena terpanggil akan sosok dan pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah, familiar disapa Buya Hamka, yang saya baca melalui buku-bukunya seputar agama (terutama tasawuf), catatan perjalanan ke negeri Paman Sam, dan yang tidak kalah penting yaitu roman Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck.

Sebulan kurang dua hari paska gathering, 27 April 2023, niat saya benar-benar kesampaian. Mumpung masih dalam suasana Syawal dan pekerjaan kantor masih longgar, saya bersama istri dan si bungsu Rendra (minus si sulung Kaindra) menonton film besutan Fajar Bustomi itu, sang sutradara yang juga dikenal melalui karyanya yang menjadi box office di Indonesia yaitu Dilan 1990.

Keterpanggilan itu tidak lantas membuat saya lena bahwa film berdurasi 1 jam 20 menit itu adalah karya kreatif (seni film) yang diperankan oleh aktor utama yakni Vino G. Bastian didukung aktor maupun aktris beken lainnya, tentu dengan segala racikan bumbu-bumbu laiaknya film layar lebar. Dengan kata lain, amatan saya tertuju pada karya film yang saya tonton, bukan isi buku-buku karya tulis Buya Hamka. Sekalipun demikian, sulit menyangkal bahwa naskah film yang mengangkat cerita seorang tokoh sekaliber pahlwan nasional, dalam hal ini Buya Hamka, disusun merujuk pergumulan pemikiran dan rekam jejak yang bersangkutan semasa hidup. Sesuatu yang tidak mudah, selain harus menemukan saripati pada setiap fase perjalanan Buya Hamka semasa hidup, juga mengalihkannya ke dalam medium sinema yang memiliki keterbatasan secara waktu maupun penuangannya, sementara generasi sekarang, jauh setelah Buya Hamka tutup usia, mungkin saja tidak mengenal sosoknya, apalagi karya-karyanya. Singkatnya, menjadikannya sebagai tontonan sekaligus tuntunan adalah pekerjaan yang tidak sederhana.

***

Semua kursi teater 2 bioskop Mal Jamtos dipenuhi penonton lintas usia. Sesuatu yang menggembirakan karena film tersebut mengangkat fase-fase kehidupan Buya Hamka baik sebagai ulama cum organisatoris Muhammadiyah, sastrawan dan juga sebagai ayah dari empat anak-anaknya, buah cinta kasih bersama istrinya yaitu Siti Raham, dalam hal ini diperankan oleh aktris Laudya Cynthia Bella.

Saya ingin menegaskan sedari awal bahwa catatan ini merupakan penggalan pengalaman saya sebagai penikmat film, bukan sebagai sineas, apalagi kritikus film. Dengan demikian, bentangan narasi dalam catatan ini boleh dikata apresiasi saya terhadap film dengan biaya produksi hampir 70 miliar itu. Konon anggaran tersebut merupakan biaya produksi film termahal dalam negeri. 

Saya mencatat hal-hal yang saya anggap menarik dari film Buya Hamka, yang kesemuanya bertitimangsa pada semangat ketauhidan (Islam), periode Hamka menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar dan berkontribusi terhadap kemajuan pada organisasi tersebut, masa-masa Hamka mulai menulis sastra koran dan cerita romannya sehingga digemari para pembaca, dinamika kongres persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada kemajuan melalui pendidikan dan persemaian pemikiran melalui majalah Pedoman Masyarakat pada awal abad ke 20, jatuh-bangun dalam masa pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan setelahnya (terutama masa kolonial Belanda, Jepang dan kembalinya sekutu), hingga fase Buya Hamka kembali ke Padang Panjang usai diberhentikan dari tugasnya sebagai pengurus Muhammadiyah di Sumatra Timur (kota Medan) dan digantikan oleh Yunan Nasution, setelah sebelumnya usaha-usaha Hamka melakukan pendekatan pada pihak Jepang justru dianggap oleh kubu lain di kepengurusan Muhammadiyah Sumatera Timur sebagai penjilat sehingga dimusuhi. Padahal, pendekatan Buya Hamka bekerjasama dengan Jepang bertujuan menjaga keselamatan ulama dan warga dari tindakan sewenang-wenang Jepang, serta perlahan-lahan Hamka menagih janji Dai Nippon Teikoku (Kekaisaran Jepang) demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun demikian, ia tidak mengelak bahwa janji-janji manis Jepang kepadanya tidak terwujud hingga Jepang menyerah kalah pada sekutu dan tanah air kembali dikuasainya.

Dalam dinamika itulah, romantika dan kisah cinta Buya Hamka bersama Siti Raham tampil menarik sehingga mencuri perhatian banyak pasang mata penonton. Sesuatu yang mudah kita jumpai laiknya film-film drama biografi tokoh. Saya sempat melihat beberapa penonton menyeka air mata di pipi lantaran tak kuasa menyaksikan jalinan cinta sepasang suami istri tersebut, begitu juga perih kehidupan yang mereka lalui. Bahkan, untuk melangsungkan kehidupan rumah tangga mereka, Siti Raham harus menjual perhiasan emas miliknya. Begitu juga Buaya Hamka, meski mendapat bantuan dari warga, ia menerimanya dengan tetap menjadikan buku sebagai barternya. Tampak sekali ia tidak ingin menjadi sosok yang dikasihani, melainkan sosok pekerja keras.

Saya sendiri sempat tidak kuasa menahan air mata, terutama saat Buya Hamka menerima telegram dari Siti Raham berisikan kabar wafat si Hisyam, anaknya, lantaran sakit keras. Sementara ia harus menunaikan tugasnya sebagai pemimpin redaksi untuk menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat lantaran tenggat waktu agar segera sampai ke tangan pembaca. Pada momen itu terlihat jelas Buya Hamka dihadapkan pada situsi pelik, tetapi ia tetap teguh menjalankan tugas yang diembannya, sekalipun sejawatnya mengizinkan (bahkan menyuruh) agar ia segera pulang untuk mengantarkan anaknya ke tempat peristirahat terakhir. Buya Hamka memutuskan tidak pulang hingga majalah pedoman masyarakat benar-benar terbit dan sampai ke tangan pembaca. Di sinilah penonton diaduk-aduk emosinya, lantaran Buya Hamka adalah juga manusia biasa, seorang ayah yang tak kuasa kehilangan buah cintanya dengan Siti Raham, sehingga dalam sembahyang dan di tengah mengemban tugas, Buya Hamka menangis tersedu-sedu saat sendirian di puncak malam.

Begitu juga saya terbawa suasana penuh haru saat Buya Hamka mengetahui Soekarno-Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda di Jakarta. Bentangan jarak jauh antara Padang Panjang dan Jakarta tidak lantas menjadi hambatan bagi segenap saudara setanah air untuk sama-sama meneriakkan kemerdekaan Indonesia dan sekaligus mengibarkan sang saka merah putih. Sebuah momen yang benar-benar menyentuh sisi batin saya pribadi, betapa menjadi Indonesia adalah kehendak bersama lantaran senasib dan seperjuangan melawan kaum penjajah (Belanda dan Jepang) yang telah merampas kemerdekaan kita sebagai bangsa dalam waktu yang lama.

Saya tidak akan menguraikan secara detail isi film Buya Hamka di sini, tetapi dalam volume 1 film Buya Hamka (dari 3 volume yang disiapkan) terdapat hal-hal menarik buat saya. Apa sebab? Karena Buya Hamka adalah ulama, sastrawan dan sekaligus organisatoris, maka sepanjang 1 jam 20 menit itu saya kerap menyaksikan momen Buya Hamka tekun membaca, menulis dan semangat berpegerakan baik sebagai pengurus Muhammadiyah Sumatera Timur maupun sebagai tokoh yang ikut mendorong perjuangan kemerdekaan dari penjajah baik kolonial Belanda maupun Jepang. Perjumpaan dan dialog antara Bung Karno dan Buya Hamka di Bengkulu, yang difasilitasi oleh Oei Tjeng Hien (nama Islamnya Abdul Karim Oei) menarik perhatian saya. Apa sebab? Betapa dunia pemikiran adalah cangkang bagi keduanya. Politik, pemikiran atau gagasan dan keindahan (karya sastra) saling berkelindan mengisi jalannya perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dan setelahnya. Tidak heran dalam dialog itu Soekarno serius menyusun struktur politik dalam rangka merebut kemerdekaan, sedangkan Buya Hamka melengkapinya sembari mengatakan tugas kami mengisi struktur politik tersebut dengan gagasan dan keindahan. Makin jelas bahwa pemikiran dan sastra menjadikan Buya Hamka sebagai sosok multitalenta, selain tentu saja dirinya dikenal sebagai ulama, terutama melalui adikaryanya yaitu Tafsir Al-Azhar.

***

Suara khas mesin tik, aroma kopi, kertas penuh ide yang bertebaran, dan lampu teplok di kala malam menjadi saksi Buya Hamka serius menuangkan gagasannya. Demikian itu momen-momen penting yang membuat saya semakin diyakinkan betapa menulis itu kerja sunyi sehingga menuntut ketekunan, kehendak yang kuat serta keberanian sekaligus kesabaran yang tinggi, lebih-lebih menyaksikan saat majalah Pedoman Masyarakat diancam dan diintimidasi karena dianggap mengganggu kepentingan Belanda maupun dalam masa kekuasaan Dai Nippon Jepang.

Sekalipun begitu, Buya Hamka tidak berhenti menulis sebagai bentuk perjuangan melawan penindasan penjajah Belanda maupun Jepang. Melalui majalah Pedoman Masyarakat, Buya Hamka tidak saja mengkritik kolonial Belanda maupun Jepang, tetapi ia juga mengoreksi pandangan ulama-ulama lokal yang dinilai kolot (berpikiran tertutup) serta gebyah ubyah menolak modernitas tanpa terlebih dahulu memahami esensinya serta berjuang secara efektif untuk meningkatkan derajat warga, terutama umat Islam di tengah kekuasaan kaum penjajah.

Berkat kepiawaian sang sutradara, dalam masa pelik itu, Siti Raham acapkali hadir sebagai sosok penyemangat bagi Buya Hamka (menyajikan secangkir kopi, merekomendasikan peluang karier, hingga pulang ke rumah orangtua demi memberi kesempatan Buya Hamka melebarkan sayap perjuangan organisasi), dan tak jarang muncul dialog antara keduanya penuh romantis lagi bermakna, bukan romantisme laiaknya genit-genitan ala anak-anak remaja paling kiwari. Bahkan, sesekali Buya Hamka berpantun menunjukkan keintiman hubungan cinta mereka, yang puncaknya diikat karena Allah SWT. Jika Buya Hamka kerap memuji Siti Raham dengan pantun, maka sang istri mencintai Buya Hamka dengan sedikit kata manis, tetapi banyak perbuatan. Kopi, baju rapi, sajadah, dan ketabahannya merawat anak-anak menjadi bukti cintanya kepada sang suami.

Buya Hamka dan Siti Raham

Lagi, bentuk romantisme antara keduanya, saya saksikan melalui dialog sehari-hari dari soal inspirasi karakter Hayati di megadrama Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk hingga doa minta sajadah tambahan. Begitu juga adegan mengharukan di awal film yakni saat Buya Hamka dalam tahanan akibat dituduh melawan Pemerintah Indonesia, sang ulama sekaligus sastrawan legendaris itu dikunjungi istri dan anak-anaknya. Pada momen itu Siti Raham membawakan gulai kepala ikan favorit Buya Hamka dalam rantang.

Melihat masakan itu, air mata Buya Hamka menetes. Siti Raham memintanya jangan menangis agar air mata tak menetes di gulai, sehingga membuatnya asin. Sementera cita rasa asin dalam gulainya sudah pas. Buya Hamka menanggapi, air mata adalah garam kehidupan, maka bila air mata tidak ada, hidup ini jelas terasa hambar. Drama romantis sepasang suami tersebut makin kental seiring dialek minang mereka berdua sepanjang film berlangsung.

Ibarat buku biografi, Buya Hamka volume 1 ini boleh dikata sebagai kata pengantar bagi volume berikutnya. Pilihan memulai film ini dari masa tua Buya Hamka menuju awal berumah tangga sempat membuat saya bertanya-tanya, kenapa, tetapi strategi sang sutradara untuk menciptakan rasa penasaran penonton sehingga perlu menyaksikan volume berikutnya adalah masuk akal.

Sejauh amatan saya, di film ini Buya Hamka hadir sebagai sosok moderat, romantis, dan muslim dengan pola pikir terbuka sekaligus maju. Gagasannya yang dituangkan melalui majalah Pedoman Masyarakat tergolong visioner. Dengan demikian, menyaksikan film ini menyadarkan saya, Indonesia butuh lebih banyak anak-anak muda yang memiliki semangat seperti Hamka muda, yang tidak sibuk dengan dirinya, melainkan mampu menjadi teladan dan inspirasi bagi keluarga, sanak saudara, juga negara.

*Kota Jambi, 28 April 2023. Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik oase portal kajanglako.com

0 Komentar