Ge Tiga Puluh Es Pekai, Ga' Bahaya Ta?


Oleh: Jumardi Putra*

Usai terjemahan buku berjudul "The Dissapearance of  Childhood" karya Neil Postman diterbitkan oleh Resist Book, Yogyakarta, 2009, saya diminta oleh penerbit yang mengkhususkan diri pada bacaan kritis alternatif dan sekaligus kerap menjadi rujukan kaum pergerakan itu sebagai narasumber untuk membedahnya di sebuah radio ternama di Jogja.

Saya lupa nama kantor radio itu, tetapi yang saya ingat lokasinya tidak jauh dari kantor Harian Kompas Jogja, toko buku Gramedia dan dan Toko Buku Togas Mas sekarang.

Berselang hampir 14 tahun setelahnya, buku tersebut tidak pernah saya baca lagi. Syahdan, tersebab polemik hantu-hantuan seputar PEKAI dan isu kebangkitan Komunisme di republik ini masih saja terus muncul dan bahkan telah sampai pada titik menjemukan, terpaksa saya membuka kembali buku itu dan literatur senafas lainnya. Apa sebab? Satu hal yang saya risaukan dari dagelan Septemberian ini yaitu dalam kecepatan yang mencengangkan, bobolnya tapal batas antara dunia anak-anak dan orang dewasa.

Meski Neil Postman menulis buku itu tahun 1994 dan merupakan pembacaan kritis atas situasi anak-anak di Amerika Serikat periode akhir 1970 dan awal 1980-an bersamaan menguatnya pertelevisian dan dunia hiburan setelah jauh sebelumnya peradaban (kapitalisme) ditandai dengan penemuan mesin cetak, tetap menemukan relevansinya dengan situasi sekarang.

Kanak-kanak sebagai sebuah struktur sosial dan sebuah kondisi psikologis (untuk menyebut tidak semata sebuah kategori biologis) ditarik ke dalam spektrum "dendam dan kebencian" yang dikapitalisasi secara semena-mena oleh media dan kekuasaan ketimbang menempatkan mereka senantiasa dalam pembangunan karakter berkelanjutan dengan ditandai tajinya kebaikan, keriangan, kepolosan, kebersamaan dan kebahagiaan, serta tanpa dicecoki oleh mesin pembunuh berjubah ekonomi dan politik yang berkecenderungan memecah belah.

Saat yang sama, orang-orang dewasa pun tak lagi "ajek" dalam kewarasan. Mudah terpancing amarah, berlaku tidak kritis terhadap informasi, mudah berujar kebencian, merayapaksakan kanak-kanak ke dalam tafsir tunggal mereka tentang sesuatu hal yang sejatinya mereka (kanak-kanak) membutuhkan waktu sekaligus prasyarat lainnya untuk bisa memilah kompleksitas sejarah dengan segala dinamika di dalamnya, dan puncaknya, orang dewasa tidak pula tegas terhadap segala bentuk kepentingan dalam pelbagai bentuknya yang baru, terutama dalam kaitan maraknya penyeragaman akses informasi seputar peristiwa mencekam 30 September 1965.

Kondisi tidak sehat ini, salah satu kemungkinannya bisa jadi buah dari politik pengendalian ingatan kolektif sepanjang Orde Baru (32 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto) yang membatasi ingatan warga hanya seputar peristiwa dinihari 30 September hingga 1 Oktober 1965 yang berujung terbunuhnya enam Jenderal dan berakhir di lubang buaya. Apatahlagi tayangan film G.30 S PKI besutan Arifin C. Noer, yang wajib ditonton warga masa itu menjadikannya seolah abadi. Bahkan, sulit disangkal, hingga kini wacana kembalinya Hantu PKI masih saja dihadirkan sejauh kepentingan untuk menjaga status quo kekuasaan semata.

Dua keadaan tersebut di atas sama-sama memberi sinyal kuat yaitu matinya nalar dan keroposnya logika pendidikan kita dewasa ini. Mari selamatkan kanak-kanak. Quo vadis pendidikan orang dewasa yang dalam praksisnya justru bertindak laiaknya kanak-kanak. Ga’ bahaya ta?

*Kota Jambi.


0 Komentar