Karena Bung Hatta

Bung Hatta. Sumber: Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom


Oleh: Jumardi Putra*

Selasa, 12 Agustus 2025, boleh dibilang hari istimewa karena bertepatan dengan tanggal kelahiran Bung Hatta atau lebih tepatnya sang proklamator lahir 123 tahun yang lalu (1902) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Saya tidak pernah berjumpa langsung dengan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia sejak 1945 hingga pengunduran dirinya pada 1956, dan bahkan saya belum lahir kala dirinya menghembuskan nafas untuk terakhir kali pada 14 Maret 1980 di Jakarta dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir.

Selain pejuang-intelektual, Bung Hatta adalah juga pembaca buku yang tekun. Semasa hidup, Bung Hatta tidak hanya menulis artikel, tetapi juga buku sebagai wadah dan artikulasi gagasan maupun idealisme perjuangannya. Tahun 2018 Kemendikbud dengan Perhimpunan Indonesia untuk Pengembangan Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS) dan penerbit Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) meluncurkan 10 Buku Karya Lengkap Bung Hatta, yaitu Buku 1: Kebangsaan dan Kerakyatan; Buku 2: Kemerdekaan dan Demokrasi; Buku 3: Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial; Buku 4: Keadilan Sosial dan Kemakmuran; Buku 5: Sumber Daya Ekonomi dan Kebutuhan Pokok Masyarakat; Buku 6: Gerakan Koperasi dan Perekonomian Rakyat; Buku 7: Filsafat, Ilmu, dan Pengetahuan: Buku 8: Agama, Pendidikan, dan Pemuda; Buku 9: Renungan dan Kenangan; Buku 10: Surat-surat.

Himpunan karya lengkap Bung Hatta tersebut menegaskan bahwa suami dari Siti Rahmiati ini adalah juga seorang sarjana (scholar). Hal itu ditandai dengan perhatiannya pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut kaidah dalam dunia akademis-untuk menyebut sosok dengan cara berpikir kritis, mengungkit tema dan topik berat, tetapi tetap runtut dan sistematis sehingga bisa dimengerti. Itu pula yang membedakannya dengan karakter tulisan-tulisan Bung Karno seperti orang berpidato.

Kendati belajar ilmu ekonomi secara formal di bangku kuliah, Bung Hatta tidak cuma tunak pada ilmu ekonomi saja, melainkan ia juga memahami dengan baik ilmu tata negara, ilmu politik, sejarah, budaya dan filsafat. Kemampuan yang bersifat lintas ilmu itu setidaknya tercermin dari tiga buku teks karya Bung Hatta yaitu Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi (1957) untuk bidang ilmu ekonomi, Alam Pikiran Junani (1943) untuk bidang sejarah filsafat, dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (1964) untuk disiplin filsafat ilmu pengetahuan.

Pidato Bung Hatta di pengadilan Belanda, 22 Maret 1928.

Di antara para bapak bangsa, menukil pendapat sosiolog Ignas Kleden (dalam tulisannya berjudul Yang Berumah di Tepi Air, Tempo dan KPG, 2010), barangkali hanya Hatta seorang (dan Tan Malaka, sampai tingkat tertentu) yang tekun menuliskan buku-buku teks semacam itu. Namun di samping buku teks, seperti disebutkan di muka, Hatta juga menulis banyak bidang masalah lain, sejalan dengan minat dan perhatiannya yang luas, dalam wujud puluhan buku, ratusan artikel dan makalah baik ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Belanda.

Begitu juga pidato-pidatonya di pelbagai kesempatan baik saat sekolah di Belanda hingga semasa aktif di pemerintahan juga terdokumentasi secara baik. Sebagai seorang pemimpin bangsa, Bung Hatta kerap berpidato di muka rapat umum, kanal radio, serta di dalam sidang-sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Beliau menyiapkan sendiri isi pidatonya, baik yang langsung diucapkan secara lisan maupun yang dipersiapkan lebih dahulu dalam bentuk tulisan. Begitu juga arsip-arsip pidato beliau sejak zaman Jepang hingga akhir hayat masih tersimpan. Bahkan, sejak era internet, publik mudah mengakses segala macam informasi berkaitan Bung Hatta.

Alasan apalagi bagi generasi saat ini tidak mengakrabi pikiran-pikiran cemerlang salah satu satu proklamator bangsa ini? Dengan demikian, masyarakat Indonesia, terutama generasi muda masa kini, perlu membacanya kembali agar memperoleh gambaran tentang sebagian perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia di mana Bung Hatta turut berperan di dalamnya. Saat yang sama, generasi muda juga dapat memahami sifat, sikap dan pendirian Bung Hatta dalam memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia yang sangat beliau cintai.

Quote yang cukup familiar dari Bung Hatta sebelum dirinya diasingkan ke Boven Digoel (1935), wilayah yang kini masuk dalam teritori Papua Selatan, berbunyi “Aku rela dipenjara asalkan dengan buku, karena dengan buku aku bebas.” Kalimat herois itu begitu membekas dalam diri saya sehingga menjadi alasan bagi saya (untuk menyebut terinspirasi) mencintai buku hingga saat ini, terutama saat saya nyantri di Pesantren Tebuireng, Jombang-Jawa Timur, 25 tahun yang lalu. Sejak itu muncul keinginan begitu kuat dari saya terus membaca dan mengoleksi buku-buku. Keinginan itu makin menjadi-jadi saat kuliah di Jogja, berkat suasana akademik di kota berpredikat pendidikan dan pusat perbukuan itu.

Kemampuan Bung Hatta menulis buku dan artikel tentu saja berkat ketekunannya membaca banyak sumber literatur. Kemelekatan dengan buku itu tumbuh dan berkembang sejak ia masih hidup di Bukittinggi, Sumatra Barat sampai menempuh pendidikan sarjana di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische Hogeschool, sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda) hingga kembali ke tanah air, sekalipun bersamaan dengan kesibukan menjalan tugas-tugas kenegaraan. Tak syak, hubungan ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda 1926-1931 ini dengan buku-bukunya bak dua sisi dalam satu mata uang. Bahkan, sewaktu diasingkan ke Boven Digoel (1935) dan Banda Neira (1936), Hatta ikut memboyong belasan peti berisi ratusan buku sebagai teman melewati masa-masa sulit sebagai tahanan politik.

Bung Hatta dan istri Siti Rahmiati. Sumber: Wikimedia Commons

Di tempat-tempat pengasingan itu, Hatta mengisi sebagian besar hari-harinya dengan membaca, menulis, dan mengajar teman-teman seperjuangannya. Ringkasnya, hubungan antara Hatta dan buku-bukunya memang telah melampaui umumnya hubungan sederhana antara pembaca dan sebuah buku.

Sepeninggalan Bung Hatta, ribuan koleksi bukunya terus dirawat hingga saat ini oleh anak-anaknya yaitu Prof. Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi'ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta di rumah yang pernah didiami Hatta di Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat. Kecintaan Bung Hatta yang luar biasa terhadap buku-buku adalah suritauladan bagi generasi saat ini, terutama di tengah airbah informasi di kanal media sosial sekarang. Seperti halnya pada Bung Karno, Bung Sjahrir, dan ideolog Tan Malaka, untuk menyebut contoh, Bung Hatta adalah juga teladan terbaik di medan literasi.

Barangkali demikian langkah mini saya merayakan hari kelahiran Bung Hatta pada 12 Agustus tahun ini. Sekali lagi, generasi muda saat ini perlu belajar tentang kecintaannya terhadap tanah air Indonesia dengan diperasai ilmu pengetahuan, ketaatan beragama, disiplin dan hidup bersahaja, suatu karakter yang sulit kita jumpai pada diri elit politik dan pengambil kebijakan di republik ini.

Di tengah kondisi bangsa kita saat ini,  menginjak usia kemerdekaan ke 80 (17 Agustus 1945-17 Agustus 2025)—dan belum sepenuhnya merengkuh kemerdekaan secara hakiki---saya ingin menutup catatan singkat ini merujuk penggalan pidato Bung Hatta ketika diasingkan di Boven Digoel, "Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku”.

Lahu alfatihah.

 

*Kot Jambi, 12 Agustus 2025. Keterangan: buku Pidato Bung Hatta di atas berisikan penolakannya atas tuduhan Belanda bertajuk "Indonesia Merdeka" (Indonesië Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928, saat dirinya ditangkap dan ditahan bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat oleh penguasa Belanda Pada 25 September 1927 atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun, terlibat pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926–1927, dan menghasut (opruiing) supaya menentang Kerajaan Belanda.

*Tulisan saya lainnya di link berikut ini:


1) Menziarahi Bung Hatta

2) Sutan Sjahrir: Hidup Yang Tidak Dipertaruhkan, Tak Akan Pernah Dimenangkan

3) Belajar dari Bung Karno

5) Sejarah Jambi di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

6) Monumen Kisah Cinta Bung Karno dan Inggit Garnasih

7) Sepulang dari Pusara Inggit Garnasih

8) Bung Karno di Mata Mahbub Djunaidi

9) Bung Karno dan Sumbangan Rakyat Jambi Untuk Kemerdekaan RI

10) Sejarah dalam Tangkapan Lensa Guntur Sukarno

11) Dari Gedung Landraad ke Penjara Banceuy

12) Kisah Puteri Gubernur Jambi 1975 Tentang Bung Karno

13) Gus Dur: Presiden, Santri dan Pemikir

14) Jalan Terjal B.J. Habibie

15) Dari Penjara Ke Penjara: Jejak Tan Malaka

16) Menengok Kembali Pram

17) Dari Empelu Sampai Jogja, Penggalan Kisah Mencintai Buku

0 Komentar