Prof. Erwiza Erman: Sejarah Jambi yang Terabaikan

Prof. Erwiza Erman

Oleh: Jumardi Putra*

Mula berkunjung ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saya hendak menemui peneliti senior Riwanto Tirto Sudarmo, Dedi S. Dhauri dan Tine Suartine, yang sebelumnya meneliti Orang Rimba (Suku Anak Dalam) di Provinsi Jambi. Tak dinyana, ketiganya berada di luar Jakarta, sehingga saya disarankan menemui Ali Yansyah Abdurrahim, Triyono, dan Saiful Hakam, yang ketiganya tergabung sebagai tim peneliti Orang Rimba kala itu.

Kami pun bertemu dan bercakap-cakap banyak hal, terutama seputar penelitian di Jambi. Dalam pada itu, saya teringat sejarahwan Erwiza Erman. Kepada mereka saya mengutarakan niat ingin bertemu dengan perempuan yang akrab disapa Bu Eng itu.

“Kali pertama ke LIPI, sekira setahun lalu, saya gagal bertemu beliau lantaran tidak di tempat, tapi kali ini saya berharap bisa berjumpa dan bercakap-cakap lapang,” ungkapku ke mereka.

Sebelum bertemu Bu Eng, selain melalui karya-karyanya, baik jurnal maupun buku, saya mendapatkan ceritera mengenai belio dari sahabat Saiful Hakam, yang sama-sama bekerja di LIPI, sehingga melalui bantuannya pula saya dipertemukan dengan sejarahwan Erwiza Erman di ruang kerjanya di LIPI.

Kesan saya, Bu Eng adalah ilmuan yang ramah dan bersahaja. Keterimaan terhadap saya, yang notebene kali pertama sua, apatahlagi berjarak jauh dari sisi usia, tak menampakan rasa enggan, kecuali suasana akrab. Tak pelak, kami terlibat dalam obrolan lebih dari dua jam dengan disaksikan buku-buku yang berjejer rapi di rak dan meja kerjanya.

Sepenelusuran saya, Erwiza Erman merupakan nama yang tak asing di kalangan pemerhati sejarah.Terlebih perempuan kelahiran Agam, Sumatera Barat, 29 Agustus1957, itu dikenal luas sebagai salah seorang ahli sejarah yang banyak menggali sejarah dunia pertambangan dalam aspek sosial, politik dan ekonomi.

Beberapa karya tulisnya, baik dalam bentuk buku, makalah, ataupun artikel di media cetak menunjukkan keahlian yang beliau tekuni, untuk menyebut contoh, antara lain,Kesenjangan Buruh Majikan, Penguasa, Koeli, dan Pengusaha: Industri Timah Belitung, 1852-1940 (1995); Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas (2008); Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung (2009); Control of labor and culture of violence : the Ombilin coal mines, West Sumatera, 1892-1925 (1999), Industri tambang batubara dan pembangunan daerah dalam perspektif sejarah, dari agen perubahan menjadi masalah (2000), Women : from a source of conflict to family allowance, the Ombilin coal-mines, West Sumatera 1892-1970 (2000), Historiography and social history in Indonesia in the 20th century: some challenges (2001), Peranan Naskah Klasik dalam Penulisan Sejarah Kesultanan Nusantara (2012) , Tambang, Nasionalisasi Via Saham dan Kesejahteraan Rakyat? (2012), Perahu Usungan Kesultanan Bulungan (2012), dan Kekuasaan Melawan Keadilan: Melacak Sejarah Undang-Undang Pertambangan (2012).

Karya tulis itu sebagian dari ratusan karya tulis ilmiah yang dihasilkan Dr. Erwiza, yaitu terhitung sejak ia mengawali karir sebagai peneliti di LIPI sejak tahun 1984, tepatnya di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN) atau yang saat ini bertransformasi menjadi Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB/P2KK) – LIPI dan dari tahun 2001 hinggga saat ini aktif bertugas di Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR) - LIPI.

“Semoga hasil penelitian saya turut menjawab permasalahan minimnya literatur (terutama teks berbahasa Indonesia) mengenai sejarah pertambangan di republik ini. Itu pulalah alasan utama kenapa saya memilih menggeluti sejarah tambang,” ungkapya.

***

Hari silih berganti. Hampir sembilan bulan kami tak lagi bertemu, yaitu sejak 17 November 2016. Puncaknya, 16 Juli 2017 lalu, saya menerima kabar bahwa Dr. Erwiza Erman resmi dikukuhkan sebagai Profesor Riset bidang sejarah lokal dan global. Sebuah pengakuan, kepercayaan, dan penghormatan yang diberikan atas keberhasilan Prof Erwiza, setelah ia lebih dari 30 tahun (1984) bertungkus-lumus dalam penelitian dan penulisan, terutama sejarah tambang yang disertai kemunculan pelbagai karya tulisnya di jurnal bereputasi internasional dan terakreditasi.

“Berkat doa bapak-ibu, teman-teman, saudara, saya akhirnya telah menyelesaikan tugas orasi pengukuhan Prof. Riset kemarin, 16 Agustus 2017, bertepatan dengan ulang tahun LIPI ke 50. Saya menghaturkan terima kash yang tulus atas ucapan selamat bapak-ibu dan teman-teman. Maaf belum sempat membalas satu persatu. Acaranya sudah usai. Seiring dengan usainya acara pengukuhan itu, maka panggilan nama saya kembali ke ASLI. Eng atau Erwiza saja. Tabik,” ungkapnya melalui akun facebook pribadi.

Nah, satu hal yang menarik dalam obrolan kami, yang barang tentu penting bagi akademisi atau peneliti di Jambi, yaitu penguasaan lulusan doktor University of Amsterdam, itu mengenai sumber literatur sekaligus para peneliti, baik dalam maupun luar negeri, yang konsern meneliti sejarah Jambi.

Itu kenapa saya ingin sekali bertemu dan meminta waktu beliau berbagi informasi sekaligus pandangan tentang penelitian Jambi dewasa ini. Berikut petikan wawancara singkat saya bersama Profesor Erwiza Erman di LIPI:

Apa yang terlintas di pikiran Anda tentang Jambi?

Prof Erwiza mengambil nafas panjang. Ia mengutarakan keterpukauannya (kalau bukan takjub) pada sejarah Jambi. Ketika berbicara Jambi kita akan mengetahui sebuah wilayah yang memiliki sejarah dan kultur tua, sehingga dalam perdagangan masa lalu pernah dijuluki “the favored commercial coast”, bagian tak terpisahkan dari Svarnnadvipa (untuk menyebut pulau Sumatra).

Hal itu bisa dilihat dari peninggalan artefak di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, sungai yang luas dan memanjang di bagian hulu sampai daerah Sijunjung, Sumatera Barat, di bagian hilir sampai Muara Sabak, Nipahpanjang, Kuala Tungkal, berbatasan dengan laut Natuna, Geliat Sabak abad ke-9, Kawasan Percandian Muarojambi abad ke 7-13, dinamika Pra-Melayu dan Sriwijaya abad ke-5 sampai 14, keemasan komoditi lada dari tahun 1500 sampai 1630, kejayaan komoditi karet (ramai disebut zaman kupon) pada tahun 1920-1937, munculnya Kesultanan Jambi hingga wafatnya Sultan Thaha, dan masih banyak dimensi sejarah dan budaya (tangible-intangible) lainnya.

Namun, sayangnya, jejak sejarah yang panjang dan keragaman budaya yang dimiliki Jambi tidak berbanding lurus dengan jumlah penelitian dan publikasi yang melingkupinya. Justru studi-studi Jambi hingga kini jumlahnya sangat terbatas, sehingga tak heran daerah ini ‘terabaikan’ dalam sejarah Indonesia.

Bagaimana eksistensi penelitian Jambi dewasa ini?

Saya belum mendalami isu ini, karena fokus penelitian saya banyak melihat sejarah tambang dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik di beberapa daerah di luar Jambi.
Akan tetapi, ketertarikan saya pada Jambi senantiasa tumbuh ketika penelusuran literatur-literatur sejarah yang ada. Karena membicarakan Sumatra dengan mengesampingkan Jambi taklah tepat. Jambi bagian penting dalam studi sejarah pulau Sumatra maupun Nusantara.
Pertama, sebagai awal tentu perlu kita bertanya,  “Ada apa dengan masa lalu Jambi?” “Lalu mengapa patut dibicarakan?” “Apa yang yang melatar belakangi penelitian kita pada Jambi?”

Dalam kerangka umum dapat dijelaskan bahwa Jambi memiliki peranan dalam sejarah yang panjang. Itu tidak cukup. Itu tidak memberi ruang yang lebar bagi eksplorasi sejarah Jambi.
Karena itu, lanjut Prof Erwiza, Jambi sebagai lapangan studi yang terbuka lebar, dapat dikaji dan ditulis dengan dimulai pemetaan masalah tentang masa lalu, apa dan aspek-aspek mana yang sudah dan belum ditulis secara tematik, wilayah atau lokalitas dan periodesasi.

“Namun demikian, sebelum membicarakan pokok masalah tersebut perlu untuk menempatkan Jambi ke dalam gambaran menyeluruh dalam lintasan mengenai Pulau Sumatra,” jelasnya.

Kedua, ketakselarasan antara sejarah Jambi dengan publikasi penelitian tentangnya, terutama oleh perguruan tinggi di Jambi, yang belum menjadikan sejarah Jambi sebagai landasan pacu bagi kerja-kerja penelitian lanjutan secara berkesinambungan.

Faktanya, studi Jambi masih banyak ditulis oleh peneliti asing. Beberapa nama yang saya ketahui menggeluti Jambi, utuk menyebut contoh, seperti Barbara Watson Andaya melalui salah satu karya berjudul, To Live as Brothers: Southeast Sumatra in Seventeenth and Eighteenth Centuries. Buku itu kaya sumber, baik lokal maupun kolonial, yang barang tentu menambah perbendaharaan pengetahuan kita mengenaidinamika sejarah Jambi kurun abad ke-17 sampai ke-18, terutama tidak saja kebutuhan hilirisasi hasil sumber daya alam, tetapi juga ceritera mengenai perebutan jalur dagang, ketergantungan pasokan, dan silang budaya hulu-hilir  kebudayaan masa itu.

Kedua, karya Elsbeth Locher Scolten berjudul “Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907”, yang diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh KITLV Jakarta dan Penerbit Banana, 2008, “Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda.

Dua nama tersebut hanya contoh di antara nama-nama lain, sebut saja, seperti F. Snitgher, George Coedès, O.W. Wolters, JG de Casparis, Jhon N. Miksick, dan Uli Kozok.

“Mungkin nama-nama itu masih asing bagi masyarakat Jambi saat ini,” celetuknya tersenyum kecil.

Apakah itu faktor utama sehingga sejarah Jambi tidak banyak ditulis?

Tidak. Tentu banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Bisa politik, ekonomi, dan hal-hal yang berkaitan dengan kultur membaca dan menulis. Akan tetapi meletakkan mandat penelitian pada perguruan tinggi adalah masuk akal, karena di kampus tersedia sumber daya manusia (baca: dosen) sekaligus anggaran, yang kelak diharapkan memicu tumbuhnya iklim penelitian dan diskusi, muncul hasil penelitian di jurnal-jurnal bergengsi, dan terjalin kerjasama dengan berbagai pusat studi/kajian, baik dalam maupun luar negeri.

Siapa peneliti Indonesia yang menaruh perhatian pada Jambi?

Pekerjaan kita ke depan yaitu memperbanyak penelitian tentang Jambi oleh orang-orang dalam negeri, terutama Jambi. Hingga saat ini terdapat beberapa nama, sebut saja seperti A.B. Lapian, Mundarjito, Bambang Budi Utomo, Hasan Ja’far, Soekmono, Sartono, Slamet Mulyana, yang kesemuanya fokus pada kajian sejarah Melayu Kuno di Jambi, peradaban di sungai Batanghari dan kawasan Percandian Muarojambi, dengan menitikberatkan pada pendekatan arkeologi, geomorfologi dan filologi.

Selain itu, ada Jang Aishah Muttalib, Bambang Purwanto, Lindayanti, yang kesemuanya kini tidak kita temukan penelitian terbaru mengenai Jambi. Namun, saya optimis penelitian Jambi tidak sepenuhnya diabaikan, dikarenakan kian meluasnya lapangan studi tentang Jambi dewasa ini, ambil misal, isu bahasa, karya seni, pendidikan, politik, lingkungan dan Komunitas Adat Terpencil (Orang Rimba) yang kita tahu menjadi isu krusial Jambi. Begitu juga hasil penelitian dalam bentuk tesis atau disertasi mahasiswa asal Jambi di beberapa perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri, yang menjadikan Jambi sebagai subjek penelitian.

“Tugas kita sekarang adalah membedah dan membicarakannya ke dalam pelbagai bentuk media pemasyarakatan, sehingga diketahui publik sekaligus menggairahkan kembali studi Jambi,” lanjutnya.

Apakah Anda ingin ke Jambi?

Erwiza tersenyum. Tentu saya ingin sekali ke Jambi.

“Setahun lalu saya ke Jambi menyampaikan makalah penelitian di seminar Sail Karimata. Ketika itu saya sempat mengunjungi pinggiran laut Sabak, Tanjung Jabung Timur. Di situ saya menemukan limpahan keramik atau benda antik masa lampau, yang menandai kontak budaya Jambi dengan negeri nun jauh di luarnya, seperti Cina dan Malaka, yang kini barang-barang antik itu tidak saja terabaikan, tetapi dijual secara bebas oleh warga masyarakat,” imbuhnya prihatin.

Apa pesan Anda untuk mahasiswa di Jambi?

Saya ingin sekali berdiskusi dengan para mahasiswa di Jambi. Apalagi Universitas Jambi memiliki Fakultas ilmu Budaya, yang di dalamnya terdapat jurusan sejarah. Saya berharap mereka gemar membaca, terutama literatur sejarah terkait Jambi. Yang penting di kampus tumbuh iklim berdiskusi dan menulis.

Beberapa waktu lalu saya pernah diundang ke Jambi oleh salah satu perguruan tinggi di Jambi, hanya saja kegiatan itu batal tanpa ada penjelasan yang memadai dari panitia setempat. “Padahal saya sudah mempersiap kertas kerja untuk kegiatan itu,” celetuknya sedikit kesal.

“Andai kelak kami berkemampuan mengundang ke Jambi, semoga masih berkenan datang ya, Bu Eng,” timpal saya disambutnya dengan tawa kecil sembari berujar, “Oke. Tentu saya ingin ke Jambi!”.

Dari mana kita memulai menulis tentang Jambi?

Prof Erwiza menjelaskan, dalam pemahaman kebanyakan, sejarah adalah sejarah dalam makna ingatan. Apa yang (dapat) diingat tentang masa lampau itu adalah sejarah. Sudah barang tentu ingatan bersifat terbatas dan tidak sepenuhnya memuat kebenaran mutlak. Tetapi bukan berarti itu tidak berguna. Justru berangkat dari ingatan itulah biasanya orang lalu bergerak maju untuk seius menggali, memverifikasi, menemu-ciptakan dan menjadikanya sebagai kerja penelitian secara serius.

“Mulailah dari hal-hal kecil tentang individu masyarakat, budaya, pengetahuan, seperti sejarah kampung-kampung di Jambi, silang budaya antar etnis, pusat keramaian, seperti pasar, panggung pertunjukan, dan tempat-tempat bersejarah lainya, migrasi dan geliat ekonomi warga, serta sejarah keluarga. Mulailah dari periodesasi terdekat sejak kemerdekaan hingga saat ini. Bukan melulu sejarah dalam narasi-narasi besar seperti perang, peralihan kekuasaan, dan heroisme tokoh pejabat dalam panggung-panggung sejarah. Nah, dari situ, jika konsisten dilakukan, kita bakal memiliki data sejarah yang melimpah sekaligus menarik dibaca oleh masyarakat saat ini,” ungkapnya.

Apa aktivitas Anda sekarang?

Tak ada yang berubah. Saya masih menulis dan melakukan penelitian, baik itu dari internal LIPI atau pun yang bersifat kerjasama dengan lembaga-lembaga di luar LIPI, baik dalam maupun luar negeri.

Di akhir obrolan dan sebelum saya berpamitan, Prof Erwiza bertanya kepada saya, apakah generasi muda Jambi masih tertarik dengan sejarah Jambi. Saya menjawab, geliat beberapa kelompok muda di Jambi, baik di dalam mupun luar kampus, terus menguat. Meski secara umum menunjukkan sejarah masih untuk dihapal. Bukan untuk dimengerti apatahlagi diapresiasi dan diteliti secara serius-berkesinambungan. Tapi yang jelas, pertanyaan Prof. Erwiza ini selalu relevan mengingatkan kita bersama bahwa sejarah adalah guru kehidupan (historia magistre vitae).

*Tulisan ini terbit pertama kali di kajanglako.com pada 12 September 2017.

0 Komentar