Belajar dari Bung Karno

ilustrasi Bung Karno. sumber: tirto.id


Oleh: Jumardi Putra*

Dua bulan terakhir (Juni-Juli), saya berkesempatan mengunjungi beberapa situs bersejarah berkaitan dengan tapak-tapak perjuangan Presiden pertama Indonesia, Bung Karno. Di Kota Bandung saya mengunjungi gedung Landraad dan penjara Banceuy, dua lokasi yang melegenda dalam sejarah perjalanan bangsa ini era 1930an, bertepatan Sukarno bersama dua sejawat lainnya dari Partai Nasional Indonesia (PNI) disidang oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan berujung bui. Momen bersejarah itu dikenal hingga dunia internasional lewat pledoi Sukarno di muka meja pengadian kolonial bertajuk Indonesia Menggugat. Tak syak, penjara kala itu kerap disebut sebagai “universitas” bagi para pejuang. Berbeda halnya dengan sekarang, penjara dihuni oleh pelaku kriminal dan koruptor.

Sebelum itu, saya mengunjungi rumah pribadi Inggit Garnasih, yang kini menjadi museum dan selanjutnya menziarahi pusara almarhumah bu Inggit, istri kedua Presiden Sukarno setelah berpisah dari Siti Oetari, putri sulung Oemar Said Tjokroaminoto pada 1923. Segendang sepenarian, di kota ini juga saya beberapa kali mengunjungi gedung-gedung bersejarah, tempat terlaksananya Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18 April-24 April 1955 di Gedung Merdeka, simbol awal kemunculan solidaritas Global South yaitu kerja sama antara negara-negara berkembang di belahan selatan dunia, yang berupaya memperkuat posisi tawar kolektif mereka dalam urusan internasional di luar dominasi blok Barat dan Timur, dan sudah barang tentu tidak lepas dari peran strategis Sukarno di dalamnya.

Kunjungan saya di kota berjuluk "Lautan Api" ini dipungkasi mengunjungi museum Gedung Sate dan penerbit Ultimus yang banyak menerbitkan buku-buku hasil penelitian maupun berupa memoar di sekitar peristiwa kelam 1965 dan setelahnya. Dari Ultimus, saya membeli buku terjemahan dari karya penulis Soviet yaitu Prof. Dr. Kapitsa M.S. dan Dr. Maletin N.P berjudul Biografi Politik Soekarno, sebuah langkah pertama dalam literatur Soviet yang menganalisa riwayat hidup dan kegiatan politik Bung Karno (bersandar kepada sumber-sumber yang cukup luas era 1980an), yang mereka nilai sebagai salah seorang yang terkemuka dari para pejuang pembebasan nasional Indonesia, sosok yang telah memberikan andil yang sangat besar baik dalam perkembangan kesadaran kebangsaan rakyat Indonesia maupun dalam perjuangan untuk kemerdekaan negerinya.

Satu lagi buku yang terbit Oktober 2024 berjudul Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah dari era revolusi hingga Pandemi, untuk menyebut sejak kepemimpinan Presiden Sukarno hingga Jokowi, karya Edy Burmansyah. Kedua buku ini melengkapi kepustakaan saya tentang api pemikiran Sukarno yang saya dapatkan sebelumnya di Toko Buku Toga Mas Kota Bandung, beralamat di Jalan Supratman No.45, Cihapit, Kec. Bandung Wetan, yang secara apik ditulis oleh intelektual Airlangga Pribadi Kusman berjudul Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia, terbit Mei 2023.

Penulis di hadapan foto Sukarno dan Hatta karya Guntur di Galeri Nasional

Seperti halnya di Bandung, di Jakarta saya juga sempat mengunjungi Perpustakaan Universitas Bung Karno dan Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan (Pusdipres) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Presiden Ir. Sukarno. Dua tempat dimana saya menemukan tidak saja puluhan buku-buku dari penulis dalam maupun luar negeri mengupas sosok dan pemikiran Ir. Sukarno, tetapi juga buku-buku yang ditulis sendiri oleh putra sang fajar yang hingga kini masih dibaca seperti Di Bawah Bendera Revolusi, Mencapai Indonesia Merdeka, Nasionalisme, Islamisme, Marxisme: Pikiran-pikiran Soekarno Muda, Sarinah, Islam Sontoloyo, Indonesia Menggugat dan lainnya lagi. Gayung pun bersambut, di waktu bersamaan saya melihat pameran fotografi karya Guntur Sukarno di Galeri Nasional bertajuk Potret Sejaran dan Kehidupan. Foto-foto Sukarno, Hatta, Fatmawati dan beberapa tokoh nasional sezaman hasil jepretannya, yang menjadi bagian dari upaya untuk mengenali kembali sosok Sukarno yang sempat mengalami "desukarnoisasi" di masa orde baru. 

Saya secara pribadi hingga kini membaca dan mengoleksi buku-buku Sukarno maupun buku-buku yang mengulas sosok dan pemikiran tentang Bung Karno sekitar 40an buku. Apatahlagi hampir semua pidato Bung Karno terdokumentasi dengan baik hingga saat ini, dan bahkan ANRI membuat seri buku-buku berlabel Sukarnologi, sebuah konsep pengkajian yang berpangkal pada pemahaman tentang Bapak Proklamator Indonesia, Ir. Soekarno, melalui arsip yang dikelola ANRI baik dalam dalam bentuk arsip foto, dokumen, dan rekaman pidato.

Bertolak dari situ, Sukarno boleh dikata adalah Presiden Indonesia paling cemerlang pikiran-pikirannya seraya bertautan dengan tradisi akademis. Kendati demikian, pada taraf tertentu Bung Hatta (termasuk Tan Malaka) berada di garis terdepan menghasilkan buku-buku teks pemikiran terutama untuk tiga cabang ilmu sekaligus yaitu Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi (1957) untuk disiplin ilmu ekonomi, Alam Pikiran Junani (1943) untuk bidang sejarah filsafat, dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (1964) untuk disiplin filsafat ilmu pengetahuan.

Jika kita mencermati teks-teks pidato Sukarno yang melegenda, pembaca akan dibuat terkesima dengan bongkahan isi pikirannya. Ide-ide bernasnya kerapkali mengacu kepada teori-teori besar dari para pemikir dunia di zamannya, sebut saja Karl Marx, Pieter Jelles Troelstra, Tan Malaka, Karl Kautsky, Mahatma Gandhi, Henriette Roland Holst, Jean Jaures, Ernest Renan/Otto Bauer, Vladimir Ilyich Lenin dan beberapa tokoh lain yang dikutip Sukarno dalam tulisannya yaitu pemikir Sun Yat Sen, Kemal Attaturk, Rudolf Hilferding dan Sarojini Naidu. Begitu juga daya imajinasinya merengkuh banyak aspek seraya bertolak dari persinggungan zahir dan batinnya dengan realitas kongkrit bangsa yang sedang terjajah, sehingga dengan penuh kesadaran menggelorakan tuntutan kemerdekaan. Dari situ terbit rasa bangga saya memiliki seorang Presiden yang memiliki kemampuan berpikir cemerlang.

Kecerdasan Sukarno sudah tampak sejak dirinya sekolah di HBS Surabaya, dimana ia telah menulis ratusan artikel di berbagai koran masa itu, utamanya di Oetoesan Hindia yang dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto, sosok guru sekaligus mertua dari Soekarno, dan yang tidak kalah penting adalah tokoh pergerakan nasional Indonesia, tempat bagi banyak founding father bangsa ini belajar kepadanya atau sosok yang dijuluki Pemerintah Belanda sebagai De Ongekroonde van Java atau Raja Tanpa Mahkota. Itu artinya, bila dihitung hingga Bung Karno wafat pada tahun 1970, sudah pasti terdapat banyak tulisan yang telah dihasilkan semasa hidup.

Di luar kontroversi selama memimpin Indonesia, utamanya berkaitan dengan masa  “Demokrasi Terpimpin” dan silang sengkarut peristiwa kelam 1965, semua kita bersepakat bahwa Sukarno adalah pejuang dan pemikir besar pada zamannya. Ia hidup dan berdialektika bersama para perjuang tanah air yang juga pemikir hebat pada masanya, sebut saja seperti Tjokroaminoto, Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, dan Haji Agus Salim.

Muncul segera pertanyaan, bagaimana dengan presiden Indonesia lainnya? Gus Dur menurut saya boleh dikata juga memiliki kebiasaan yang mirip Bung Karno yaitu seorang penulis dan pembaca tulen. Gus Dur sejak remaja sudah melahap karya-karya bereputasi internasional, untuk menyebut contoh, seperti buku Das Kapital mahakarya Karl Marx, filsafat Plato, Thalles, Aera Eropa karya J.M. Romein, The Moral Economy of Peasant karya James C. Scott, dan novel-novel karya Andre Gide, Ernest Hemingway, John Steinbach serta William Faulkner.

Saya membaca buku kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang berasal dari kolomnya di Majalah Tempo lama dan beberapa koran lainnya. Kolom-kolomnya di media cetak yang dimulai sejak medio 1970an menyentuh hampir semua aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, kiai dan pesantren, sastra dan musik, perkembangan politik internasional sampai urusan sepak bola, dan satu lagi Gus Dur piawai mengetengahkan humor di berbagai forum dan kesempatan (baca juga pengantarnya untuk Buku Mati Ketawa Ala Rusia, terjemahan dari buku aslinya, Russia Dies Laughing, tahun 1986). Ringkasnya, tulisan Gus Dur ringan, mengalir dan tak jarang meletupkan perspektif yang tidak terduga (out of the box). Barangkali tipelogi demikian itu yang membedakannya dengan gaya tulisan Bung Karno, yang tampak serius, sarat pengetahuan baik teoretis maupun praktis. Selain itu, mungkin secara jumlah, tulisan-tulisan Gus Dur tidak sebanyak karya Sukarno. Namun, hal yang membuat keduanya juga memiliki persamaan adalah, keduanya merupakan sosok yang banyak ditulis baik oleh penulis dalam maupun luar negeri.

Selain dua sosok presiden tersebut, barulah disusul Presiden Suharto yang banyak ditulis oleh penulis dan peneliti dan B.J. Habibie. Khsusus Habibie, yang perlu digaribawahi adalah, selain dihormati karena pengetahuannya yang cemerlang tentang dunia kedirgantaraan, ia adalah juga termasuk sosok penyelamat demokrasi di negeri ini, merujuk pandangan Indonesianis asal Amerika, Prof. William Liddle (1999) yang mengatakan tidak benar Habibie sebagai boneka Soeharto dengan menyebut contoh adanya penggantian Kejagung dan Kapolri secara tiba-tiba saat itu. Tiga tahun setelahnya (2002), ketika Liddle datang lagi ke Indonesia, dia dengan tegas, di hadapan jurnalis mengatakan “Yang menyelamatkan demokrasi Indonesia adalah mantan presiden B.J. Habibie. Dialah yang pertama melaksanakan pemilu secara adil di Indonesia setelah rezim otoritarian Soeharto.

Demikian sosok hebat Presiden pertama Indonesia Sukarno yang pernah memimpin bangsa ini dengan segala pernak-perniknya. Beberapa hari ke depan, bangsa ini akan merayakan hari kemerdekaannya ke 80 (17 Agustus 1945-17 Agustus 2025). Semoga jasa baik dari pemimpin bangsa ini selalu menginspirasi generasi saat ini. Pun segala kesalahannya, semoga mendapat pengampunan dari pemilik kehidupan, Allah SWT. Amin.

 

 *Kota Jambi, 11 Agustus 2025.

*Tulisan saya lainnya di link berikut ini:

1)  Sepulang dari Pusat Studi Arsip Kepresidenan Sukarno

2) Sejarah Jambi di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

3) Monumen Kisah Cinta Bung Karno dan Inggit Garnasih

4) Sepulang dari Pusara Inggit Garnasih

5) Bung Karno di Mata Mahbub Djunaidi

6) Bung Karno dan Sumbangan Rakyat Jambi Untuk Kemerdekaan RI

7) Sejarah dalam Tangkapan Lensa Guntur Sukarno

8) Dari Gedung Landraad ke Penjara Banceuy

8) Kisah Puteri Gubernur Jambi 1975 Tentang Bung Karno

9) Gus Dur: Presiden, Santri dan Pemikir

10) Jalan Terjal B.J. Habibie

11) Dari Penjara Ke Penjara: Jejak Tan Malaka

12) Sutan Sjahrir: Hidup Yang Tidak Dipertaruhkan, Tak Akan Pernah Dimenangkan

0 Komentar