Jalan Terjal B.J. Habibie

B.J. Habibie

Oleh:Jumardi Putra*

Hari ini, 11 September 2020,  tepat setahun lalu, B.J. Habibie tutup usia. Belum genap dua bulan setelah itu saya berkesempatan menziarahinya di Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Kalibata. Ia dimakamkan tepat di sebelah mendiang Hj. Hasri Ainun, belahan jiwanya. Sejauh mata memandang, berada di tengah ribuan makam pejuang di situ, terlintas di pikiran saya, siapa mereka semua bagi kita hari ini? Dalam catatan singkat ini, saya mengkhususkan pada sosok Habibie.

Bila presiden Gus Dur lebih dikenal sebagai tokoh sipil karena menahkodai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu Nahdhatul Ulama periode 1991-1999, ketua Dewan Kesenian Jakarta 1980-an, pemikir, dan tokoh gerakan pro-demokrasi, Habibie yang juga pernah memegang tampuk kekuasaan tertinggi di republik ini, justru lebih dikenal sebagai bapak teknologi, terutama ahli dunia penerbangan. Penemu teori Proggresion Crack, yang akhirnya dikenal dengan istilah Habibie Theory ini, kerapkali disebut anak-anak semasa di bangku sekolah dasar sebagai sosok yang dicita-citakan kelak ketika mereka dewasa.

Sejarah mencatat, Habibie berhasil merancang pesawat bernama N-250. Pada 10 Agutus 1995 prototipe pesawat N-250 PA-1 versi Gatotkaca, yang sanggup mengangkut 50 penumpang, melakukan terbang perdana disaksikan presiden Soeharto di langit kota kembang, Bandung. Tanggal itu kemudian dijadikan momentum sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Capaian tahun 1995 itu, berlanjut setahun setelahnya (1996), lahir prototipe kedua, yakni pesawat N-250 PA-2 versi Krincing Wesi berkapasitas 70 penumpang.

Kejeniusan pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 ini mengingatkan saya pada anekdot kelirumolog Jaya Suprana, yang menyebut sosok Habibie, meski berpostur kecil, tapi di seluruh tubuhnya terdiri dari otak. Berbeda dengan saya (red-Jaya), yang walaupun gempal, tetapi isinya ‘dengkul’ semua (Makmur Makka, Total Habibie, 2013).

Merujuk opishposh.com, situs yang gemar meng-update hal-hal unik di dunia, melansir sebuah tulisan dengan judul ‘10 People with the Highest IQ Ever Recorded (intelligence quotient). Terang di situ, sebagai perbandingan, penemu teori relativitas gravitasi Albert Einstein, yang disebut sebagai ilmuan terhebat sepanjang masa ‘hanya’ mempunyai IQ 160. Sementara skor IQ Habibie mencapai angka 200, lebih tinggi daripada Sir Isaac Newton (190) dan Galileo Galilei (165).

Selain dikenal sebagai teknokrat, oleh sejawatnya semasa studi di Jerman, Habibie juga disebut teknosof. Seolah kabar burung, publik, utamanya para intelektual tanah air tak ada yang serius menanggapi istilah itu. Barulah 10 Januari 2010, saat Universitas Indonesia (UI) memberikan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu fisafat teknologi, banyak perhatian tertuju pada Habibie. Pentabalan gelar kehormatan itu, tentu telah melewati serangkaian kajian, termasuk saran pengajar filsafat Prof. Magnis Suseno, agar para Guru Besar UI, menyelami pemikiran Habibie seputar filsafat teknologi, baik yang disampaikannya dalam pidato-pidato, ceramah, diskusi, dan karya tulis buku maupun jurnal. Buku berjudul Habibie: Totalitas Sang Teknosof, seri keempat dari total delapan buku tentang perjalanan hidup BJ Habibie, yang tergabung Habibie The Series, terbitan The Habibie Center dengan PT Tiga Serangkai, 2016, mencatatat hal demikian.

Lain teknosof, lain pula kiprah Habibie sebagai teknorat. Di kancah politik, Habibie didapuk sebagai presiden lewat proses yang begitu dramatis. Bayangkan, hanya 70 hari Habibie menjabat sebagai wakil dari Presiden Soeharto. Tak hanya itu, laporan pertanggungjawabannya sebagai presiden ditolak oleh MPR dengan selisih tipis, 355 menolak, 322 menerima.

Dalam literatur politik, disebutkan kepemimpinan Habibie, tidak saja masa jabatan terpendek, dari Mei 1998 hingga Oktober 1999, tapi juga periode paling genting. Tentu kita masih ingat, di masa pemerintahannya, Timor Timur memisahkan diri dengan Indonesia, setelah melalui  jajak pendapat tahun 1999.

Saat bersamaan, para mahasiswa dan elemen gerakan reformasi 1998 lainnya, sekalipun bersukacita atas lengsernya Soeharto setelah hampir 32 tahun menahkodai negeri ini, tetap kecewa dengan terpilihnya Habibie sebagai presiden transisi ketika itu. Bahkan, Habibie dinilai tak ubahnya boneka (untuk menyebut bayangan) Soeharto.

Adnan Buyung Nasution, dalam otobiografinya, Pahit Getir Merintis Demokrasi (Ramadhan KH dan Nina Pane, Jilid II, 2004), menceritakan situasi genting ketika Habibie meneruskan tampuk kepemipinan Soeharto. Habibie,  sebagaimana tulis Adnan berikut ini:

“Dia bertutur sambil berdiri, dengan gerakan-gerakan tangan dan mata melotot-lotot yang khas dia. Bayangkanlah Bapak-bapak, saya ini co-pilot, sedang menjalankan pesawat terbang. Pilotnya pak Harto, saya co-pilot, tiba-tiba pilotnya collaps, berhenti, tidak bisa bekerja lagi, saya harus jalankan sendiri pesawat dalam keadaan turbulence,” dia pakai istilah penerbangan, “dalam keadaan oleng, sudah mau jatuh nih peswat, RI ini mau jatuh, bangsa dan negera ini mau jatuh, harus diselamatkan, begitulah posisi saya sekarang. Saya musti selamatkan jangan sampai jatuh pesawat ini, bangsa dan negara ini.”

Meski Adnan Buyung Nasution termasuk salah satu tokoh yang getol memaksa Soeharto turun dari jabatan presiden, tetapi dirinya bersama lima tokoh lain, yaitu Nurcholis Madjid, Rudini, Emil Salim, Jhon Sapii (mantan rektor ITB), dan Amien Rais, berkenan dan mau diminta Habibie menjadi semacam tim penasehat Presiden. Dalam istilah Habibie, mereka berenam itu, tulis Adnan, sebagai ‘The Six Wise Men of Indonesia”.  Sejak itu, datang bertubi-tubi ungkapan kekecawaan dari tokoh reformasi lainnya terhadap keputusan Adnan Buyung Nasution. Namun, diakui Adnan, sepanjang itu pula dirinya berusaha menjelaskan alasan-alasan dirinya bergabung menjadi tim penasehat Presiden Habibie.

Tertulis dalam otobiogarfi itu, Adnan Buyung Nasution mengusulkan kepada Habibie tiga hal utama, pertama, melepaskan korban tahanan politik rezim Soeharto, antara lain, Sri Bintang Pamungkas dan Mochtar Pakhpahan. Nurcholis Madjid dan Emil Salim menyetujui usulan tersebut. Kedua, memberikan kebebasan pers. Pencabutan SK Menteri untuk peraturan-peraturan tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan pembreidelan koran, majalah dan sumber informasi cetak lainnya. Dua usulan ini diterima langsung oleh Habibie. Dan yang ketiga, meski melalui perdebatan agak lama (termasuk di antara tim 6 ini), yakni penyelenggaraan pemilu.

Selain ketiga hal utama itu, masih dalam otobiografi Adnan Buyung Nasution itu, terdapat satu ‘noktah’ hitam yang tidak selesai masa kepemimpinan Habibie, yakni pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto, terutama pengusutan harta kekayaannya. Tuntutan masyarakat ketika itu membuat Habibie menunjuk Jaksa Agung Andi Ghalib sebagai ketua tim pemeriksa kekayaan Soeharto dan keluarganya.

Sayang, Andi Ghalib dinilai Adnan Buyung lamban dan tidak tegas sekaligus tidak punya nyali mengusut tuntas kekayaan Soeharto dan keluarga. Bahkan, menimbang kian derasnya tuntutan masyarakat ketika itu, Adnan mengusulkan kepada Habibie, perlunya pembentukan Komisi Independen untuk menuntaskan pemeriksaan kekayaan Soeharto tersebut, tapi sayang, berbelit dan penuh intrik.

Habibie, tulis Adnan, secara pribadi di awal menyetujui pembentukan komisi Independen tersebut, sehingga sempat dirinya dan beberapa kawan diajak beberapa kali rapat, dan sekaligus diminta menyusun konsep tim, tetapi saat detik-detik terakhir nyatanya gagal. Habibie dikelilingi begitu banyak kepentingan orang-orang di sekitarnya, sehingga di samping faktor-faktor lainnya, Adnan bersama Emil Salim, Rudini, Jhon Sapii, dan Nurcholis Madjid, memutuskan mengundurkan diri dengan membuat surat kepada Habibie.

Dan faktanya, hingga berakhir kepemimpinan Habibie sebagai presiden (20 Oktober 199), bahkan sampai berakhir pula masa presiden Gus Dur (23 Juli 2001), pengusutan terhadap kekayaan mantan Presiden Soeharto tidak terwujud. Terlebih kesehatan Soeharto ketika itu terus memburuk, sehingga sulit untuk diperiksa dan diadili.

Bertumpu pada empat hal di atas, secara keseluruhan, hemat saya, di luar soal Timor Timur dan gagalnya pengusutan harta kekayaan mantan presiden Soeharto dan keluarga, pemerintahan Habibie berhasil melembagakan demokrasi di Indonesia, utamanya masa transisi dari pemerintahan Soeharto yang otoriter.

Kita tahu di tahun 1999, pemerintahan Habibie juga berhasil membuat undang-undang Pemilu dan kelembagaan negara yang mengantar pada pemilihan umum yang demokratis untuk pertama kalinya di Indonesia sejak 1955. Begitu juga beberapa undang-undang penting terlahir pada masa kepemimpinan Habibie, seperti Undang-undang Pokok Pers, yang membuat media di Indonesia mendapatkan kebebasannya. SIUPP yang selama ini menjadi ‘monster’ bagi kerja-kerja jurnalistik ditiadakan.

Jakob Oetama, dalam tajuk rencana Kompas, yang ditulisnya pada Kamis, 21 Oktober 1999, menuliskan Habibie telah meletakkan dasar dan langkah demokrasi dalam jabatannya sebagai presiden transisi, yakni menyelenggarakan pemilihan umum secara bebas, jujur, adil dan karena itu demokratis. Dalam tajuk rencanya itu pula, Jakob mengatakan habibie sebagai presiden transisi, tidaklah sepenuhnya ditopang oleh legitimasi. Wibawa dan kredibilitas pun timpang karena ia dianggap sebagai bagian dari pemerintahan lama. Ia gagal menghadirkan platform nasional untuk membawa Indonesia keluar dari situasi serba kritis serba krisis ketika itu. Karena itu keputusan Habibie mundur dari pencalonan  sebagai Presiden merupakan kontribusi kongkrit dirinya terhadap makna pertanggungjawaban kekuasaan dalam prinsip, budaya dan semangat demokrasi. Selain itu juga cerminan kebesaran jiwanya yang tidak menginginkan ketegangan dan polarisasi dalam masyarakat semakin membuat negara ini jatuh dalam jurang konflik horizontal yang berkepanjangan.  

Tak berlebihan rasanya, Indonesianis asal Amerika, Prof. William Liddle (1999), mengatakan tidak benar Habibie sebagai boneka Soeharto dengan menyebut beberapa contoh, yaitu adanya penggantian Kejagung dan Kapolri secara tiba-tiba ketika itu. Dan pada tahun 2002, ketika Liddle datang lagi ke Indonesia, dia dengan tegas, di hadapan jurnalis, mengatakan “Yang menyelamatkan demokrasi Indonesia adalah mantan presiden B.J. Habibie. Beliaulah yang pertama melaksanakan pemilu secara adil di Indonesia pasca rezim Soeharto.

Bahagialah di sisi Allah SWT, Pak Habibie. Selamat berkumpul bersama ibu Ainun, perempuan yang amat engkau sayangi, sehingga di ujung kehidupanmu generasi mileneal berkesempatan mengenali sosokmu, tidak saja sebagai jenius, presiden, tapi juga simbol cinta.

*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik Perspektif portal kajanglako.com

0 Komentar