![]() |
Penulis di Makam Inggit Ganarsih |
Oleh: Jumardi Putra*
Rinai hujan belum sepenuhnya berhenti. Dari arah Gedung Sate, saya bergegas menuju TPU Caringin Porib, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung, Jawa Barat, menggunakan gojek (Kamis, 24/5). Lawatan saya ke pusara almarhumah Inggit Garnasih kali ini, menggenapi kunjungan saya sebelumnya ke rumah peninggalan Inggit bersama Bung Karno, yang juga berfungsi sebagai museum.
Rumah yang berada di Jalan Inggit Garnasih No 8-yang dulu dinamai Jalan Ciateul, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astanaanyar-kerap dijadikan tempat berkumpulnya tokoh pelopor kemerdekaan antara lain, Suyudi, Agus Salim, Ki Hajar Dewantoro, HOS Tjokroaminoto, Kyai Haji Mas Mansur, Sartono, Hatta, Moh. Yamin, Ali Sastro, Asmara Hadi, Ibu Trimurti, Otto Iskandardinata, Dr. Soetomo, M.H. Thamrin, Abdoel Muis, Sosro Kartono (kakak dari Ibu Kartini) dan lain-lain. (Lebih lanjut baca di sini: Aku Kembali Ke Bandung, Kepada Cintaku yang Sesungguhnya).
Inggit Garnasih lahir di
salah satu Desa yang berada di Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Istri
kedua Presiden Soekarno ini lahir dari pasangan Ardjipan dan Amsi di Desa
Kamasan 17 Febuari 1888. Inggit tutup usia di usia 96 tahun.
Tidak sulit untuk mencari
lokasi makam Inggit Garnasih di TPU Cairingin Porib, karena posisinya sangat mencolok dibandingkan
makam-makam yang lain. Makam Inggit berada di dalam sebuah bangunan bewarna abu-abu,
sekelilingnya terpasang umbul-umbul merah putih. Nuansa serba merah putih
menghiasi astana almarhumah sedari pagar depan dan plang di atasnya, lengkap
identitas Inggit Garnasih. Begitu juga tiang yang menopang atap bangunan makam
dibaluti kain berwarna merah putih.
![]() |
Makam Inggit Ganarsih |
Sebelum kedatangan saya, sudah ada dua pemuda di makam Inggit. Mereka tengah bercakap-cakap bersama pak Sodik, juru pelihara makam bu Inggit.
Usai menyapa ketiganya, saya pun menziarahi makam bu Inggit dan Ratna Djuwani, putri angkat Ibu Inggit Garnasih dan Bung Karno. Ratna Djuwani turut menghiasi perjuangan Presiden Soekarno sewaktu dibuang ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Posisi makam Ratna Djuwani dan suaminya bersebelahan dengan makam Ibu Inggit Garnasih.
Setelahnya saya mencermati
beberapa foto jadul almarhumah Inggit dan Bung Karno beserta keluarganya yang tersimpan
dalam sebuah buffet bewarna coklat. Di tempat yang sama, saya menemukan
beberapa bulletin Sampoer Merah yang
mengangkat riwayat beberapa tokoh dan pahlwan nasional, salah duanya Inggit
Ganarsih dan Soekarno.
Sebelum meninggalkan pusara
Inggit Ganarsih, saya sempat bercakap-cakap dengan pak Sodik, anak dari pak
Oneng, sang juru pelihara Makam Inggit Garnasih dari sejak muda hingga tubuhnya
renta seperti saat ini. Pak Sodik menceritakan dirinya menjadi juru pelihara
makam bu Inggit mulai dari tahun 2022, meneruskan tugas bapaknya yang sudah
uzur. Tugasnya sebagai juru pelihara makam Inggit Ganarsih langsung di bawah
pengawasan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat.
“Sampai hari ini selalu ada orang
ziarah ke sini. Tidak hanya siang, tapi juga malam. Saya pun terkadang berjaga sampai
tengah malam di sini. Kebetulan rumah saya dan orang tua tidak jauh dari sini,
hanya sepelemparan batu,” pungkas bapak empat anak itu.
Jarum jam menunjukkan 15.45 WIB. Awan mendung masih menggantung di langit kota Bandung. Perlahan-lahan pusara Inggit Ganarsih makin jauh dari pandangan saya.
*Kota Bandung.
*Catatan saya lainnya:
0 Komentar