![]() |
| buku baru #reset Indonesia |
Oleh: Jumardi Putra*
Buku berjudul #Reset Indonesia ini saya beli pertama kali di toko Patjar Merah, Pos Bloc, Jakarta Pusat, belum lama ini (Kamis, 4/12/2025). Kehendak segera membaca buku putih ini didorong oleh keingintahuan saya terhadap isinya, yang mendapat respon positif dari pembaca kritis di tanah air.
Membaca empat tulisan di bagian prolog buku ini, saya menjadi tahu bahwa buku ini lahir dari perjalanan panjang selama 15 tahun (2009–2025) dan kolaborasi lintas generasi antara Farid Gaban, Dandhy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benayu Harobu—hasil dari ekspedisi ke berbagai pelosok daerah di tanah air—upaya merekam kontradiksi pembangunan, ketegangan antara alam dan manusia, serta kegelisahan sistemik yang melanda negeri ini (hal 1-57). Terlebih lagi, buku ini ditulis menggabungkan data, teori, dan cerita lapangan yang renyah sekaligus menyentuh, kalau bukan menyentil batin keindonesiaan yang barangkali selama ini tertutupi oleh ilusi.
Sebenarnya, ada tiga ekspedisi keliling Indonesia yang jadi instrumen utama narasi buku ini yaitu Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa (2009–2010 ) dilakukan oleh Farid Gaban dan Ahmad Yunus (ikut bertualang, tetapi tak ikut menyusun buku ini), lalu Ekspedisi Indonesia Biru (2015–2016) oleh Dandhy Laksono dan Suparta “Ucok” Arz (juga ikut bertualang, tetapi tak ikut menyusun buku ini), dan Ekspedisi Indonesia Baru (2022–2023) oleh Farid Gaban, Dandhy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu.
Menariknya, satu ekspedisi menginspirasi ekspedisi lainnya. Saya tersentuh membaca penggalan kalimat dari Farid Gaban tentang perjalanan tim ekspedisi yang penuh dengan tantangan, tapi tetap mereka nikmati--merujuk Ray Bradbury, penulis novel misteri dan fiksi sains Amerika, “separuh kesenangan dalam perjalanan adalah menikmati indahnya tersesat” (hal 36). Terbesit di pikiran saya begini, “banyak orang telah mengunjungi pelbagai daerah di Indonesia, apatahlagi para pejabat negeri ini, tapi tidak banyak dari mereka benar-benar berusaha mengenal alam pikiran dan kekayaan khasanah budaya masyarakat tempatan sebagaimana berhasil dilakukan oleh empat penulis buku ini”.
Pada bagian awal dalam buku ini, Dandhy Laksono berupaya menjelaskan makna alternatif dari diksi “biru” yang menempel pada kalimat “tim ekspedisi Indonesia Biru”. Dandhy tidak saja menjelaskan biru-konsep sosial yang dikenalkan oleh ekonom Gunter Pauli asal Belgia-, tetapi juga counter pengertian “biru” dalam banyak discourse maupun kebijakan negara seputar isu “ekonomi hijau” "konservasi", “ramah lingkungan” dan beberapa istilah lainnya yang justru berujung konflik sosial. Tidak heran kenapa Dandy mengajak berhenti berpikir tentang globalisasi, sentralisme, dan penyeragaman, serta mulai mengembangkan sumber daya lokal, menemukan sebanyak mungkin variasi dan alternatif, mengruangi kertegantungan, dan mengubah cara berpikir dan aturan main di berbagai sendi kehidupan (hal 34-37). Kendati hal ini pilihan yang tidak mudah, tetapi itu bukan berarti hal yang mustahil.
Ide pokok dari buku ini boleh dikata membongkar paradoks dan menggagas ulang Indonesia. Ajakan untuk "mereset" atau "memprogram ulang" cara pandang terhadap bangsa dan negara ini menemukan relevansinya saat ini, sehingga para penulis buku ini mengajak pembaca untuk berhenti sejenak, lalu melihat realitas tanpa ilusi, dan bertanya ulang, apa esensi dari kemajuan sejati republik Indonesia hingga kini? Sebuah konsep yang sering digunakan elite politik untuk mengukur keberhasilan pembangunan, namun jarang dipahami secara substansial.
Ironinya, menurut Dandhy, Indonesia hanya meniru bagian “manipulatif” dari negara-negara maju, hal-hal yang menguntungkan oligarki dan mengabaikan dimensi pelayanan sosial. Kemajuan sejati menuntut keadilan dan kesetaraan, bukan pembangunan yang hanya mempercantik permukaan. Di sinilah titik pangkal pertanyaan menyeruak quo vadis pembangunan negeri ini?
Tanpa tedeng aling-aling, penulis ini membongkar paradoks Indonesia yaitu pertama bangsa yang kaya sumber daya alam, namun terjebak dalam jebakan utang luar negeri, de-industrialisasi, dan kemiskinan di daerah penghasil sumber daya. Dandhy Laksono mengetengahkan konsep "Empat Kasta Negara" di dunia yaitu sebagai berikut: kasta pertama: negara yang mampu menciptakan kemakmuran tanpa merusak lingkungan. Tentu saja ini gagasan ideal, kalau bukan utopia menurut saya. Kasta kedua: negara miskin yang masih memiliki sumber daya alam terjaga (negara yang "pasrah"), kasta ketiga: negara yang maju secara industri tetapi merusak lingkungan (contoh: Cina) dan kasta keempat: negara yang gagal membangun sekaligus merusak lingkungannya. Nah, untuk memetakan posisi Indonesia, Dandhy dengan berani menempatkan Indonesia di kasta keempat yaitu negara yang gagal membangun sekaligus merusak lingkungannya atau dengan kata lain terjadi kombinasi terburuk yakni sumber daya alam habis (hutan habis, sungai habis) tetapi industrialisasi yang diharapkan tidak kunjung maju dan merata. Barangkali banjir bandang dan tanah longsor yang menelan banyak korban di Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat di penghujung November tahun ini adalah contoh kongkrit krisis ekologi di negeri ini.
Kedua, mitos "Indonesia Emas". Tidak heran bila Penulis dalam buku ini secara tidak langsung berhasil menelanjangi narasi "Indonesia Emas 2045" yang dianggap rapuh jika pembangunan hanya berfokus pada statistik pertumbuhan tanpa keadilan. Kebijakan seperti hilirisasi, ekonomi hijau, bonus demografi, dan masih banyak lainnya lagi dikuliti dalam buku ini seraya dibarengi kritik tajam yang perlu dipikirkan bersama.
Buku setebal 448 halaman ini dibagi menjadi enam bab utama yang diawali dengan kisah tiga ekspedisi para penulis yaitu Prolog (Kisah Tiga Ekspedisi)--bagian pembuka yang menerangkan latar belakang ekspedisi sekaligus gairah eksplorasi geografis dan ideologis untuk memahami struktur masyarakat dan pembangunan (hal 1-57).
Selanjutnya, pada bab 1 bertajuk How Low Can You Go. Bab ini boleh dikata bagian paling kuat, karena menyajikan kritik tajam yang berpijak pada data dan observasi lapangan, serta menghadirkan suara warga lokal yang sering terabaikan dalam gerak laju pembangunan. Bab ini mengupas tuntas kegagalan sistemik yang membuat Indonesia terus menggali lubang sendiri (hal 61-135).
Lalu, pada bab 2 bertajuk Ada Dunia Lain, bagian yang menawarkan harapan dan alternatif. Penulis di buku ini berupaya memaparkan gagasan yang berani dan visioner sebagai solusi atas kapitalisme predator, seperti Ekonomi kerakyatan sejati, Penerapan Universal Basic Income (UBI), Reforma agraria yang sungguh-sungguh dan Solidaritas sosial yang mengutamakan kebahagiaan kolektif di atas kompetisi (hal 143-207).
Kemudian bab 3 bertajuk Ekonomi dari Alam. Bagian ini sejatinya meneguhkan kembali pentingnya menempatkan alam sebagai sumber kesejahteraan yang berkelanjutan dan menolak pengorbanan ekologis. Kemakmuran sejati menurut tim ekspedisi ini bisa dicapai melalui pangan berkelanjutan, energi terbarukan, dan pariwisata berbasis komunitas. Itu kenapa bab ini menekankan spiritualitas ekologis, bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang harus dijaga, bukan penguasa bumi (hal 211-269).
Lalu, pada bab 4 bertajuk Alam Terkembang Jadi Guru, sebuah upaya menggali nilai-nilai dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya dan kehidupan sosial. Bagian ini mengungkap konflik agraria dan masalah sumber daya alam yang melibatkan masyarakat adat. Penulis buku ini menyajikan contoh nyata perebutan lahan dan bagaimana kearifan lokal menawarkan solusi harmonis yang sering diabaikan oleh sentralisasi kekuasaan (hal 275-297).
Adapun bab 5 bertajuk Kota untuk Semua yaitu membahas masalah perkotaan dan menawarkan gagasan tentang ruang hidup yang adil. Bagian ini mengkritisi konsep pembangunan kota yang tidak inklusif dan membahas masalah transportasi umum yang amburadul, akses air bersih, serta ketimpangan yang terjadi di wilayah perkotaan akibat sentralisasi kekuasaan. Bab ini juga menyoroti penggunaan teknologi digital dan e-government yang sia-sia jika mentalitas birokrasi tidak berubah (hal 305-337).
Barulah pada bab 6 bertajuk sebagaimana pilihan judul utama buku ini yaitu Reset Indonesia. Bagian ini dapat dikatakan rangkuman dan tawaran gagasan "reset" untuk mengubah haluan ke arah Indonesia yang baru. Dengan kata lain, bagian ini menjadi episode penutup yang merangkum semua kegelisahan dan masalah yang terekam dari ekspedisi. Bab ini menawarkan solusi radikal untuk memprogram ulang sistem negara agar lebih adil, berkelanjutan, dan partisipatif, dengan penekanan bahwa perubahan harus dimulai dari keberanian untuk membayangkan ulang kenyataan tanpa ilusi (347-403).
Memungkasi buku ini, dua jurnalis yaitu Yusuf Priambodo dan Benaya Harobu menulis epilog yang menyentuh hati. Jauh dari kesan menggurui pembaca, melainkan menganggit realitas kehidupan sehari-hari yang merela lalui di kampung halaman dengan segala permasalahan, tantangan, dan imajinasi mereka berdua tentang Indonesia di masa depan (hal 411-423).
Hemat saya, buku #Reset Indonesia berguna bagi siapa saja yang menaruh kepedulian pada masa depan bangsa ini, khususnya generasi muda. Nilai penting buku ini setidaknya memuat tiga hal bersamaan yaitu pertama seluruh gagasan dan kritik di dalamnya berakar dari observasi lapangan, bukan sekadar teori yang dipelajari di bangku-bangku kuliah. Kedua, buku ini tidak hanya berhenti pada kritik (problem), tetapi hadir dengan tawaran dan gagasan (solusi) untuk mengubah haluan, kendati disadari hal itu bukan sesuatu yang mudah, dan terakhir pesan di balik buku ini adalah perubahan besar tidak akan terwujud tanpa keberanian untuk membayangkan ulang Indonesia—sebuah imajinasi yang jernih, lahir dari keberanian menatap kenyataan kiwari negeri ini.
*Kota Jambi, 11 Desember 2025. Catatan di atas masih bersifat umum, belum masuk lebih dalam dan detail menyoal tiap-tiap isu yang diangkat oleh tim ekspedisi dalam buku ini. Semoga di lain kesempatan.
*Tulisan-tulisan saya lainnya di link berikut ini:
2 APBD Anjlok: Meneroka Kebijakan Dana Transfer 2026
3) Quo Vadis BUMD PT Jambi Indoguna Internasional (JII) ?
4) Asta Cita dan Beban Berat APBD Jambi 2025
5) Menavigasi Visi APBD Jambi Pasca Efisiensi
6) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?
7) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan
8) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi
9) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023
10) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024
11) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023
12) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023
13) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024
14) Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023
15) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan
16) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan
17) Palu Godam Hakim Artidjo Alkostar
18) Duh Gusti, Makin Astaga Saja Negeri Ini
19) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi
20) Surat Terbuka Untuk Anggota DPR RI Dapil Jambi
21) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi
22) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai
23) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Autokritik
24) Nada Sumbang di Balik Pembangunan Puteri Pinang Masak Park
25) Kode Keras "Palu Godam" KPK di Jambi
26) Menguji Kebijakan Anti Korupsi Al Haris-Sani


0 Komentar