Artidjo Alkostar, Penegak Keadilan

Artidjo Alkostar. Sumber foto: hukumonline

Oleh: Jumardi Putra*

Mafia Peradilan itu nyata dan terus beregenerasi. Dulu saya berharap saat lembaga Antirasuah (KPK) mencokok Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman (2020) dan Hasbi Hasan (2023) itu adalah kasus terakhir yang mencoreng Peradilan tanah air. Nyatanya, belum lama ini giliran Kejaksaan Agung menangkap Zarof Ricar, Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung.

Merujuk laporan Tempo "Akal Bulus Makelar Kasus" edisi 4-10 November 2024, Zarof ditangkap setelah jaksa mencokok tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan, karena menerima suap Rp 20 miliar. Pemberi uang suap adalah pengacara Ronald, Lisa Rachmat. Melalui Zarof, Lisa hendak menyuap hakim agung agar menolak permohonan kasasi jaksa atas putusan bebas itu.

Tidak berhenti sampai di situ, Zarof Ricar diduga menjadi pengepul sekaligus distributor uang suap seiring temuan uang tunai hampir 1 triliun rupiah di rumah pribadinya, yang oleh banyak pemerhati hukum mengkonfirmasi dugaan bahwa ia telah lama menjadi makelar kasus. Apatahlagi jabatannya berwenang memutasi, mendemosi, atau mempromosikan hakim. Dengan posisi itu, Zarof leluasa menyetir hakim mengatur putusan kasasi atau peninjauan kembali sesuai dengan pesanan.

Praktik suap selalu melibatkan lebih dari satu individu, sehingga jaringan makelar kasus di Mahkamah Agung itu harus dibasmi sampai ke akar-akarnya, sejalan dengan komitmen politik Presiden Prabowo Subianto. Meski publik masih menyangsikannya, harapan saya itu tentu tidak berlebihan. Bahkan, aksi bersih-bersih tersebut jangan berhenti di Mahkamah Agung saja, melainkan ke semua lini lembaga penegak hukum di republik ini. Memang, masa Presiden SBY pernah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk memberantas mafia Peradilan, tapi nyatanya kasus hukum yang melibatkan para penegak hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung masih terjadi sampai sekarang. Ibarat lingkaran setan, keberadaannya terus bergentayangan.

Biarlah itu sepenuhnya menjadi tugas lembaga yang berwenang sekaligus berharap hadirnya kelompok sipil kritis untuk senantiasa mengingatkan lembaga peradilan agar bertindak profesional dan menjaga integritas individu maupun kelembagaannya sebagai tempat terakhir bagi warga negara mendapatkan keadilan.

***

Di tengah praktik demokrasi prosedural dan maraknya penyelewengan di lembaga politik maupun makelar kasus di lembaga peradilan dewasa ini, saya teringat mendiang Artidjo Alkostar, sosok yang kerap digambarkan “Algojo” bagi para koruptor maupun tukang suap di Peradilan. Ketegasan Artidjo begitu ditakuti para koruptor lantaran ia tak segan menjatuhkan vonis lebih tinggi bagi para koruptor yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Saya tidak perlu menyebut nama-nama koruptor tersebut di sini. Silakan tuan dan puan berselancar di linimasa.

Dr. Artidjo Alkostar. Sumber foto: kompas.com

Membaca kesaksian dari mereka berlatar belakang pakar hukum di perguruan tinggi, aktivis lembaga bantuan hukum, sejawatnya di KPK, pajabat di lembaga Yudikatif, pengacara kenamaan dan orang-orang yang bernah berinteraksi dengannya mulai semasa Artidjo menjadi dosen, pengacara, hakim di MA dan bahkan sampai dirinya menjabat sebagai Dewan Pengawas KPK RI,  saya menjadi tahu betapa Artidjo dikenal sebagai sosok hakim yang “lurus”.

Semasa studi di Yogyakarta 2003an, saya kerap mendengar nama Artidjo disebut-sebut dalam pelbagai kelompok diskusi yang sempat saya ikuti lintas komunitas lintas kampus. Salah duanya datang dari aktivis Eko Prasetyo saat masih aktif di lembaga PUSHAM UII dan Kamal Firdaus, salah seorang pengacara senior di Yogyakarta. Kedua sosok ini mengenal sekaligus tergolong dekat dengan Artidjo. Salah satu buku Artidjo Alkostar yang pernah saya baca berjudul Negara Ini Tanpa Hukum: Catatan Pengacara Jalanan terbitan PUSHAM-UII 2008. Kebetulan mas Eko Prasetyo, yang tak lain adalah penulis buku terkenal “Orang Miskin Dilarang Sekolah dan Orang Miskin Dilarang Sakit” memberi pengantar pada buku karya Artidjo tersebut.

Meski banyak kasus yang diperjuangkannya semasa sebagai pengacara berakhir kalah di peradilan, itu tidak lantas menghentikan langkah kakinya untuk terus berjuang membela orang-orang kecil di hadapan pengadilan. Kekalahan itu bukan disebabkan ketidakmampuannya membela kliennya, melainkan lebih disebabkan rusaknya lembaga penegakan hukum oleh mafia peradilan, praktik suap dan segala macam penyelewengan  yang terang-terang mencederai keadilan itu sendiri. Begitu juga tidak sedikit kasus hukum berhasil dimenangkannya, tapi itu tidak lantas merubah sikap independensinya sebagai pengacara “lurus”. Ia juga tidak memanfaatkan klien untuk menumpuk pundi-pundi harta, melainkan menerima bayaran seikhlasnya.  

Artidjo memulai kariernya di bidang hukum sejak 1976, mulai dari dosen, pengacara, hingga pensiun dengan jabatan Hakim Agung pada 2018. Dia juga pernah bertugas selama dua tahun di New York, Amerika Serikat, sebagai pengacara hak asasi manusia untuk Human Right Watch divisi Asia. Usai pensiun dari Mahkamah Agung, Artidjo menjabat sebagai Dewan Pengawas KPK RI periode 2019-2021.

Belum tuntas masa jabatannya sebagai Dewas KPK, Artidjo tutup usia pada 28 Februari 2021 lantaran kondisi kesehatannya yang terus menurun. Indonesia jelas berduka lantaran kepergian sang pejuang keadilan tersebut.

Melalui tulisan Hamid Basyaib berjudul Artidjo Alkostar: Sebuah Kitab Keadilan pada 1 Maret 2021 (terbit di Kumparan), saya makin mengetahui sosok pria kelahiran Situbondo yang  itu sangat dekat dengan kejujuran, keberanian, dan kesederhanaan. Bekerja lama dan telah menyelesaikan ribuan berkas kasus di Mahkamah Agung tidak lantas menjadikannya hidup bermewah-mewahan, sesuatu yang langka di tengah umumnya penegak hukum  di negeri ini yang hidup dengan gelimang harta. Bahkan, dalam rentang waktu yang panjang, sehari-hari ia menggunakan taksi/angkot dari rumah ke tempat kerja. Tidak hanya itu, saat menjabat sebagai hakim agung, ia tinggal di rumah kontrakan di Jakarta. Ringkasnya, tulisan menarik dari Hamid itu bagi saya makin menguatkan bahwa negeri ini benar-benar membutuhkan sosok seperti Artidjo Alkostar.

Karya Dr. Artidjo Alkostar (PUSHAM-UII)

Hari elok ketiko baik. Suatu siang, medio 2020, saya berjumpa pertama kali dengan pak Artidjo Alkostar saat sama-sama makan siang di rumah makan minang Sederhana di seberang jalan Gedung Diten Bina Keuda Kementerian Dalam Negeri RI, Jakarta Pusat. Ketika itu Artidjo santap siang bersama anggota pengawas KPK lainnya seperti Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho dan Syamsuddin Haris. 

Tepatnya, saat blio berjalan menuju pintu keluar rumah makan, saya memberanikan diri menyapa beliau sembari mengenalkan diri dari Jambi dan pernah studi di Yogyakarta. Beliau membalas sapaan saya dengan ramah. Saya pun sempat menyebut nama Kamal Firdaus, seorang pengacara senior di Jogja kelahiran Jambi sebagai pembuka pembicaraan dengan beliau. Ia lantas mengangguk sebagai tanda mengenal nama tersebut. Saya pun mengulurkan tangan sebagai sebuah penghormatan meski tidak saling mengenal sebelumnya. Memang beliau irit bicara, terlebih ia sambil menunggu mobil jemputan. Begitu juga anggota Dewan KPK lainnya, sama-sama menunggu jemputan.

Di ujung perjumpaan yang sebentar itu, saya meminta izin kepada pria kelahiran 24 Mei 1948 itu untuk foto bersama. Namun, beliau dengan lembut mengatakan tidak bisa meladeni foto bersama dengan alasan menjaga etika dirinya yang saat itu sebagai Dewan Pengawas KPK. Saya benar-benar menghormati pandangannya yang berusaha tegas agar kemungkinan-kemungkinan terhadap apa saja yang berpotensi dapat mencederai independensinya sebagai anggota Dewan Pengawas KPK. Ketegasan seperti itu, sekalipun terhadap hal-hal yang nampaknya sepele dan sederhana, juga saya ketahui melalui testimoni dari sejawatnya seperti Mahfud MD, Todung Mulya Lubis, Suparman Marzuki, Kamal Firdaus, dan Busyro Muqoddas melalui kanal youtube saat mengenang Sosok Artidjo Alkostar semasa hidup.

Terima kasih pak Artidjo. Saat dekat dengan dirimu pada siang itu, meski sebentar, saya tetap merasakan aura independensi sekaligus keteguhanmu menjaga integritas sebagai penegak hukum di negeri ini, sesuatu yang makin langka di republik ini. 

*Kota Jambi, 19 November 2024.

*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:

1) Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Sepanjang Oktober

2) Darurat Demokrasi: Memaknai Persinggungan Cendekiawan dan Politik

3) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?

4) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan

5) Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan

6) Prabowo, Sang Bibliofil

7) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi

8) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023

9) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024

10) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023

11) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023

12) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024

13) Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023

14Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan

15) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan

16) Mengantar Al Haris-Sani Ke Gerbang Istana

17) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi

18) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi

19) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi

20) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai

21) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Otokritik

0 Komentar