Polemik Angkutan Batu Bara dan Hal-Hal Yang Tak Selesai

Kemacetan akibat truk batu bara di Jambi. sumber foto: detik.com

Oleh: Jumardi Putra*

Jambi darurat batu bara. Itu kenapa Gubernur Jambi Al-Haris banyak disorot awak media, lantaran kemacetan parah yang ditimbulkan oleh aktivitas angkutan batu bara dari mulut tambang hingga pelabuhan yang memakai jalan umum dari arah kabupaten Sarolangun-Batanghari-Muarajambi.   

Mobilitas ribuan truk pengangkut batu bara saban hari di ruas jalan nasional tersebut tidak terelakkan karena belum ada jalan khusus batu bara, padahal Pasal 91 Ayat (1) serta penjelasan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mengamanatkan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan jalan Pertambangan dalam pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan.

Masyarakat Jambi menyesalkan sikap pemerintah daerah dan aparat penegak hukum yang cenderung membiarkan masifnya angkutan batu bara yang menyebabkan pelbagai masalah di jalan-jalan publik, sebut saja seperti kemacetan panjang yang mengakibatkan waktu tempuh jadi molor sehingga kemahalan biaya bahan bakar, kerusakan jalan bertambah berakibat bengkaknya biaya perbaikan, tingginya resiko kecelakaan mulai dari yang luka hingga meregang nyawa, dan distribusi bahan pangan terganggu sehingga melonjaknya harga komoditas di pasaran. Kondisi tersebut ikut memperparah inflasi Jambi yang sempat mencapai 8,55 persen, tertinggi di Indonesia, pada Agustus tahun 2022.

Puncaknya, kemacetan parah selama hampir 22 jam yang terjadi pada awal Maret 2023 berujung pada penyetopan transportasi pengangkut batu bara sementara waktu bagi seluruh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara. Meski keputusan sang Gubernur tersebut dinilai terlambat, teror kemacetan di jalan akhirnya teratasi. Warga kembali menemukan suasana jalan normal sehingga mobilitas warga tidak terhambat dan roda perekonomian bergeliat lagi.

Namun, polemik jalur komoditas industri ekstraktif ini sejatinya belumlah selesai. Selagi jalan khusus batu bara belum terealisasi, kemacetan akan selalu meneror pengguna jalan umum, dan saat bersamaan ekses yang ditimbulkannya akan terulang lagi, lagi dan lagi. Saat bersamaan, APBD Provinsi Jambi terus dikucurkan melalui perangkat daerah terkait untuk mengentaskan masalah pelik ini, meski dalam pelaksanannya lebih pada langkah-langkah reaktif dan terkesan parsial ketimbang solusi antisipatif, terintegrasi dan berkelanjutan.

Realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) batu bara tahun 2022 yang diterima pemerintah provinsi Jambi dari pemerintah pusat sebesar Rp.101.080.812.904 dari target DBH tahun 2022 sebesar Rp.64.487.608.213. Sedangkan target DBH batu bara tahun 2023 sebesar Rp.90.638.625.546. Adapun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari tambang batubara di Provinsi Jambi untuk triwulan IV atau dari 01 Januari-30 November 2022 tercatat mencapai Rp657 miliar lebih dengan skema pembagian PNBP sebesar 20 persen untuk Pemerintah Pusat, 16 persen untuk Pemerintah Provinsi, 32 persen untuk Kabupaten penghasil batu bara dan dan 32 persen sisanya dibagi ke Kabupaten Kota yang ada di Jambi.

Dalam kondisi APBD Povinsi Jambi yang terbatas dan belanja daerah yang terus meningkat, hal itu berkonsekuensi terhadap kafasitas fiskal daerah, terutama di tengah kewajiban pemenuhan belanja program dan kegiatan dari visi-misi Jambi MANTAP Gubernur Jambi Al-Haris dan Wakil Gubernur Abdullah Sani di sisa periode kepemimpinan mereka 2021-2024, selain kontrak multi years dan mandatory spending bidang infrastruktur pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, pengawasan dan pengembangan kompetensi penyelanggara daerah.

Terlintas di pikiran saya, disebut sebagai apa dilema saat ini selain menegaskan paradoks negeri Jambi di tengah rezim pembangun(isme) yang bergantung sedemikian besar pada energi tak terbaharukan itu. Sebuah negeri yang oleh Tuhan telah diberkati karena hasil bumi yang berlimpah justru dihadapkan pada sistem bagi hasil yang dinilai tidak sepadan dibandingkan efek domino yang ditimbulkan, apatahlagi selama ini Jambi sebagai daerah penghasil batu bara (bisa jadi mencerminkan hal serupa di daerah-daerah lain di tanah air) berbesar hati demi memastikan neraca perdagangan nasional yang bersanggah pada sektor minyak, gas dan batu bara agar tidak terkoreksi. Dengan kata lain, demi menggenjot mesin pertumbuhan (engine of growth) yang menciptakan kinerja perekonomian provinsi Jambi maupun nasional, yang terjadi pada akhirnya kembali mengandalkan sektor primer yang berorientasi ekspor.

Data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi menunjukkan, nilai ekspor batu bara naik 244 persen, memberi kontribusi 14 persen dari total ekspor. Pada Januari hingga November 2022, nilainya mencapai 392 juta dolar AS. Bandingkan dengan periode yang sama tahun 2021, ekspor batu bara mencapai 113,9 juta dolar AS. Setakat hal itu, cadangan batu bara Jambi menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencapai 1,9 miliar ton yang tersebar di kabupaten di wilayah Provinsi Jambi. Tidak heran bila batu bara Jambi menjadi komoditas primadona bagi negara-negara seperti China, Malaysia, India, Jepang dan lainnya.

Pemerintah provinsi Jambi memang tidak bisa mengambil kebijakan sendiri karena berhadapan dengan kewenangan pemerintah pusat yang telah diatur dalam Undang-undang (UU), salah satunya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara bahwa mineral dan batubara sebagai sumberdaya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, Pasal 5 Ayat (2) UU Nomor 3 tahun 2020 menegaskan bahwa untuk melaksanakan kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi, penjualan, dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu, atau batu bara. Itu artinya, pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas pertahun setiap provinsi dan pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud.

Di sinilah pangkal soal polemik angkutan batu bara di Jambi di tengah kondisi infrastruktur jalan khusus yang dipersyaratkan nihil. Sementara tahun 2023 ini provinsi Jambi mendapat kuota produksi sekitar 27,5 juta ton atau turun 12,7 juta ton dibandingkan target tahun 2022 sebesar 40,2 juta ton. Namun realisasi produksi batu bara tahun 2022 hanya sekitar 15,3 juta ton, sangat jauh dari target produksi yang ditetapkan Kementerian ESDM.

Salah satu hambatan produksi di Jambi adalah masalah transportasi, terutama manajemen angkutan batu bara yang buruk disertai penegakan hukum lalu lintas yang setengah-setengah sehingga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi seperti kemacetan, resiko kecelakaan dan terhambatnya distribusi komoditas bahan pangan.

Pelbagai cara telah dilakukan pemerintah provinsi Jambi untuk mengatasi serbuan angkutan batu bara melalui jalan raya umum, namun tetap saja sampai sekarang belum tersedia solusi yang benar-benar jitu. Bahkan, sekalipun terbit instruksi Gubernur Jambi Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pengaturan Lalu Lintas Angkutan Batu Bara di Wilayah Provinsi Jambi, nyatanya kondisi di lapangan acapkali menunjukkan tidak beraturan. Begitu juga surat edaran Kementerian ESDM Nomor 3.E/MB.05/DJB.B/2023 Tentang Penataan dan Pengaturan Lalu Lintas Kendaraan Angkuatan Batu Bara di Provinsi Jambi, dalam pelaksanaannya tidak dipedomani.

Maka, sekalipun tidak populer, ketegasan Gubernur Jambi Al-Haris bersama perangkat daerah terkait sangat diperlukan dengan didukung komitmen bersama jajaran Forkopimda. Seraya hal itu, pemerintah pusat, dalam hal ini lintas kementerian terkait (Kementerian Keuangan, ESDM, Perhubungan dan PUPR) harus bersama-sama melakukan evaluasi menyeluruh (hulu-hilir) aktivitas tambang batu bara di Jambi. Belum lagi sejak terbit Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang mengatur sektor perizinan dan investasi, sanksi yang dikedepankan adalah penerapan azas ultimum remedium atau sanksi administrasi. Meski UU Cipta Kerja tidak menghapus sanksi pidana sebagai sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum, terutama bagi pelaku bisnis dapat dikenakan sanksi pidana jika melanggar Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan (K3L), dalam prakteknya hal itu sangat mungkin membuat kepentingan nasional (negara) berada di bawah kuasa pemodal yang berkepentingan mengeruk sumber daya mineral dan batu bara sebanyak-banyaknya.

Mencermati polemik batu bara dan hal-hal yang tak selesai sampai sekarang, sejatinya kita diingatkan bahwa sumber daya alam adalah anugerah yang bisa berubah menjadi musibah. Kekayaan sumber daya alam yang dikelola demi meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memedulikan keberlangsungan alam, lingkungan dan masyarakat tempatan, apalagi ngawur dan melanggar hukum, hanya akan menguntungkan segelintir orang dan menjadi malapetaka bagi banyak orang.

 

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal www.jamberita.com dan www.kajanglako.com


*Tulisan saya lainnya berikut ini:

1)  Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Otokritik 

2) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024

3) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023

4) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023

5) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024

6) Meneroka Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023

7) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan

8) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan

9) Mengantar Al Haris-Sani Ke Gerbang Istana

10) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi

11) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi

12) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi

0 Komentar