Penulis bersama Mang Patur (2017) |
Oleh: Jumardi Putra*
Pria bertopi di hadapan saya ini
akrab dipanggil Mang Patur. Sejak 1997 hingga sekarang ia masih berkeliling menggunakan
sepeda motor dari satu desa ke desa lainnya menjajaki es tung-tung (warga di dusun
saya biasa menyebut es milung). Belakangan menu jualannya bertambah yaitu cilok.
la berasal dari Solo, Jawa
Tengah. Ia harus meninggalkan kampung halamannya untuk mencari nafkah sampai ke
Kabupaten Bungo. Kini ia bersama keluarga kecilnya tinggal di Sungai Pinang,
kota Muara Bungo, berjarak hampir 30 kilometer dari Desa Empelu, tempat saya
tinggal.
Diakuinya, es tung tung lebih
cepat terjual di pesta-pesta pernikahan, perayaan hari besar keagamaan, dan
acara yang mengumpulkan masa di lapangan, seperti olahraga sepakbola dan voli. Selain
itu, galibnya ia menjajaki dagangannya di halaman depan setiap pagar sekolah
yang ia datangi. Sependek yang saya tahu, selain Mang Patur juga ada beberapa
penjual lainnya yang berprofesi sama.
Di kampung saya sendiri, es
tung-tung digemari tidak saja oleh anak-anak, tapi juga orang dewasa. Saya
sempat bercakap-cakap tentang perjalanannya sebagai penjual es tung-tung
keliling. Kadang ia berpapasan dengan warga yang baru pulang dari umo (ladang)
atau anak-anak saat pulang dari sekolah. Saya sendiri lebih suka es tung-tung
dilengkapi roti. Galibnya, saya cukup membawa sebuah mangkuk dari rumah, lalu
ia tinggal menumpahkan es ke dalamnya dilengkapi beberapa potong roti.
Kegemaran anak-anak di dusun
saya terhadap es tung-tung masuk akal, karena es krim yang acapkali wira-wiri dalam
iklan di televisi pada masa itu hanya bisa dinikmati oleh kaum tertentu lantaran
harganya mahal, biasanya itu hanya tersedia di pusat kota. Dengan demikian, modifikasi
pembuatan es krim dengan mengganti bahan utama yaitu susu dengan santan kelapa
memberi kesempatan bagi anak-anak di dusun saya ikut merasakan es yang enak
dengan biaya terjangkau.
Mang
Patur mengatakan, es tung tung lebih dulu populer di Pulau Jawa karena dahulu
banyak pedagang es tung tung yang keliling menawarkan dagangannya. Kini penjual
es tung-tung seperti dirinya dengan membawa gerobak mulai jarang ditemukan. Hampir
di setiap toko di dusun-dusun sudah ada es krim dengan pelbagai merk ternama.
Di ujung percakapan, ia
berkelakar, "Lah lamo nian sayo jualan es tung tung, baru sekarang ado
yang bertanyo tentang profesi yang saya geluti".
Mendengar itu saya melempar
senyum kepadanya sembari mendoakan semoga usahanya lancar. Ia pun mengamini dan
lantas melanjutkan perjalanannya menjajaki es tung-tung dari satu desa ke desa
lainnya.
*Empelu. Catatan lama.
0 Komentar