![]() |
ilustrasi jonpey. sumber: indoprogress |
Oleh: Jumardi Putra*
Kritis pada lembaga pendidikan sah adanya. Demikian pernah
dilakukan, untuk menyebut beberapa nama, yaitu seperti Tan Malaka, YB.
Mangunwijaya, Roem Topatimasang, Mansour Faqih, dan Darmaningtiyas, saat mengamati
lembaga pendidikan mengakibatkan involusi pada diri manusia, dari kafasitas
evolutif berujung pada stagnasi (involutif). Sikap kritis tersebut tidak
berhenti seputar kurikulum dan kebijakan akademik semata, tapi lebih jauh
tentang emansipasi, liberasi, dan hajat hidup orang banyak.
Lembaga pendidikan sejatinya tidaklah netral dan bebas dari pelbagai
kepentingan. Ia menjadi bagian dari institusi sosial lain yang menjadi ajang
perebutan kepentingan (kekuasan), seperti lazim terjadi pada masa Orde Baru.
Antonio Gramsci, menurut Harold Entwistle (Antonio Gramsci, Concervative
Schooling for Radikal Politics, 1979) sangat menekankan pendidikan politik
rakyat untuk melawan hegemoni negara, agar ada keseimbangan antara ideologi
negara dan taraf kesadaran masyarakat.
Dalam buku Pendidikan Mazhab Kritis (Resist Book, 2008), M.
Agus Nuryatno menjelaskan keberadaan mazhab pendidikan kritis sebagai sebuah
paham yang memiliki orientasi politik untuk membela kaum yang mengalami penindasan
di bawah bayang-bayang penjarahan neo-liberalisme lewat seperangkat
pendukungnya, seperti lembaga keuangan IMF, Word Bank, dan lembaga perdagangan
dunia seperti WTO, NAFTA, AFTA, dan IDB.
Dalam konteks pendidikan formal, keberadaan mazhab
pendidikan kritis, dengan menggunakan teori hegemoni Antonio Gramsci, memproduksi
critical subjectivity dan self-reflection dalam diri mahasiswa
atau murid, sebagai pengantar untuk memahami, mengkritik, memproduksi, dan
menggunakan ilmu pengetahuan sebagai pisau analisa sekaligus menghadirkan
solusi bagi problem sosial.
Mazhab pendidikan kritis merupakan manifestasi dari basis
teori dan metodologi konsep pengetahuan Mazhab Frankfurt yang menolak tafsir
tunggal dan homogen, kemudian politik hegemoni Antonio Gramsci, sebagai
manifestasi dari aksi pemberdayaan bagi masyarakat yang tertindas, dan merujuk
pada konsep optimisme Paulo Freire tentang filsafat dasar manusia, sebagai
makhluk yang selalu ingin berkembang dan bisa merubah realitas kehidupan. Pendek
kata, lembaga pendidikan sengaja dirancang untuk menghadirkan generasi-generasi yang mampu menjadi artikulator sekaligus transformator
yang membuka tabir gelap latar sosial dengan melampaui asumsi-asumsi yang hanya
berdasarkan “common sense.”
Pekerjaan rumah bagi pengambil kebijakan sekarang yaitu
mengembalikan lembaga pendidikan kepada misi sucinya: mencerdaskan kehidupan
bangsa. Apa sebab? Kondisi perguruan tinggi atau sekolah sebagai salah satu
institusi sosial saat ini seringkali menampakkan wajah ganda yang kontradiktif,
paradoks.
Di satu sisi, perguruan tinggi atau sekolah mengusung agenda
besar untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun pada praktiknya justru bertindak
otoriter, seperti yang terjadi pada peristiwa monas berdarah, 1 Juni 2008,
bertepatan hari Pancasila, dimana praktik kekerasan serta main hakim sendiri
seperti oleh oknum FPI terhadap mereka
yang berbeda paham dan pandangan.
Di sisi lain, perguruan tinggi atau sekolah mempunyai visi
untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tetapi pada
praktiknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, seperti kaum miskin kota,
anak jalanan, dan komunitas akar rumput (gressroot) lainnya.
Komponen Strategis
Dalam konteks pendidikan formal, posisi guru-murid dan
dosen-mahasiswa menempati urutan terpenting bagi proses pendidikan yang
sensitif sosial. Pendidikan kritis meniscayakan mulai dari proses pembentukan
‘teks’ realitas sosial serta ilmu pengetahuan sampai pada penerimaan (knowledge
production) haruslah berjalan secara dialektis-dialogis.
Keduanya adalah sama, learner.
Muara dari gagasan itu, pengetahuan harus diletakkan di atas meja kritisisme
untuk didekonstruksi dan direkonstruksi secara bersama. Dalam pendidikan kritis
(Taylor 1983), terdapat tiga tahapan yang bisa meningkatkan kasadaran kritis
dalam setiap individu. Tiga tahapan tersebut merupakan derivasi dari filsafat
praksis, yakni (a) what is the problem,
(b) why is it happening, (c) what can be done to change this situation
(Pendidikan Mazhab Kritis, hlm. 10).
Pandangan demikian sejalan dengan pengertian belajar bagi
tokoh pendidikan kritis Paulo Freire, “Keseluruhan proses menjadi sadar (konsientitsasi)
akan situasi konkret di mana seseorang hidup, memahami bagaimana situasi itu
muncul, bagaimana merubahnya, dan lalu bertindak mengubahanya.” (Ellias, J.L.,
1976).
Saya teringat penggalan puisi W.S. Rendra berikut ini, “Aku bertanya, apakah gunanya pendidikan, bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah persoalan keadaannya/Apakah gunanya pendidikan, bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di Ibu kota/Kikuk pulang ke daerahnya….”.
Puisi si "Burung Merak" ini jelas kritik tajam bagi institusi
pendidikan di tanah air. Karenanya, gagasan pendidikan kritis dapat
dimaknai sebagai titik pangkal bagi jalannya proses belajar-mengajar yang berkehendak melahirkan individu-individu yang merdeka, matang dan bertanggung jawab
terhadap realitas sosial.
*Yogyakarta, 2008.
0 Komentar