Satu Setengah Jam di Kobam Menteng

Ngopi dan Ngeteh di Cafe dan Toko Buku Kobam Menteng


Oleh: Jumardi Putra*

Bukan Jakarta kalau jalanannya sepi dari kendaraan. Itu yang saya alami pada Selasa, sekira pukul 14.55 WIB dari arah jalan Veteran Raya menuju Menteng, Jakarta Pusat (5/8). Suasana macet di bawah terik itu tidak untuk disesalkan, melainkan saya nikmati sembari mencermati warga maupun lalu lalang kendaraan di bekas kota Batavia ini. Tujuan saya kali ini adalah Café dan toko buku Komunitas Bambu, sebuah penerbitan buku-buku sejarah dan humaniora. Perjalanan saya kali ini tidaklah sendirian, melainkan bersama Bro Ade Saputra, sesama dari Jambi.

Café dan toko buku ini berada di sebuah gang, Jalan Rembang Nomor 11, RT.8/RW.6, Dukuh Atas, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, yang hanya cukup dilewati oleh sebuah kendaraan roda empat. Itu artinya, kudu bergilir bila bersamaan dengan mobil yang datang dari arah berlawanan. Ini kali pertama saya ke Kobam Menteng, meski sudah saya ketahui sejak pertama kali didirikan pada Februari tahun ini oleh sejarahwan J.J. Rizal dan sejawat Kobam lainnya. Sebenarnya, penerbit sekaligus toko buku Kobam yang telah berdiri sejak 20 Mei 1999 itu beralamat di Jalan Taufiqurrahman No.3, Beji Tim, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat. Dengan demikian, kehadiran Kobam Menteng ini memudahkan bagi pengunjung di pusat kota Jakarta untuk mengakses buku-buku bermutu terbitan mereka, dibanding harus ke Depok. 

Setiba di Kobam Menteng, saya dan Ade langsung melihat buku-buku di dalam toko plus café yang ukurannya tidak begitu luas, tetapi karena penataan rak-rak buku di dalamya dibuat rapi sekaligus estetik dan menyesuaikan kondisi ruangan, sehingga bisa memuat ratusan buku terbitan Kobam. Selain itu, tidak jauh dari pintu masuk, terdapat meja lumayan besar yang di atasnya terhampar puluhan buku. Nah, persis di dinding sisi kanan, tidak jauh dari meja tersebut, terpasang foster berukuran jumbo dua tokoh sastrawan kenamaan tanah air yang sedang bercakap-cakap di sebuah kebun yaitu Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Bagi penyuka karya sastra, tentulah dua sosok itu familiar. Selebihnya, terdapat lemari kaca berisikan bungkusan pelbagai jeni kopi dan foster yang terpasang di sisi belakang dinding yaitu beberapa kaver buku terjemahan terbitan Kobam yaitu Sejarah Asia Tenggara karya M.C. Ricklefs, Batavia Kala Malam Polisi, Bandit, dan Senjata Api karya Margreet van Till, Djawa Tempoe Doeloe karya James Rush dari Arizona State University, dan Magnum Ovus Kotak Keajaiban Benua Maritim, Ambon Abad XVII karya Georgius Everhardus Rumphius. Ada juga beberapa baju kaos merek Kobam, berada di dekat meja pegawai toko sekaligus merangkap peracik kopi dan teh bagi pengunjung yang memesan.

Sebelum kehadiran kami berdua, sudah ada terlebih dahulu pengunjung lainnya sekitar 8 orang di café dan toko buku ini. Lantaran juga berfungsi sebagai café, pengunjung tidak saja melihat dan membeli buku, melainkan juga sejenak berbincang-bincang sesamanya sambil menikmati suguhan kopi beragam merk dan rasa serta teh poci yang tersedia.

Penulis di Cafe dan Toko Buku Kobam Menteng

“Kopi tidak ada kadarluasa, namun ada masa terbaik dinikmatinya,” begitu bunyi kalimat ciamik tertulis di balik bungkus kopi yang dijual di Kobam Menteng.  Agaknya itu cukup tepat menunjukkan bahwa perjumpaan antara buku, para sahabat disertai suguhan kopi adalah momen terbaik untuk dirayakan di tengah kebisingan Jakarta. Begitu kira-kira saya mengartikulasikannya, sekenanya.

Café dan toko buku Kobam Menteng ini berada di lantai dasar dari sebuah rumahplat bertingkat, berada persis dalam satu kawasan dengan rumah sekaligus kantor Rujak Center for Urban Studies, sebuah lembaga pengkajian sekaligus konsultan tata ruang kota yang didirikan oleh Marco Kusumawijaya. Ndilalah, saat saya dan Ade lagi asyik bincang-bincang sambil minum kopi dan teh poci di luar toko Kobam, datanglah Mas Marco Kusumajaya, penulis 3 jilid buku berjudul Kota-Kota Indonesia, Pengantar untuk Orang Banyak. Meski belum pernah bertemu, kami pun jatuh dalam percakapan sarat pengetahuan. Sebagaimana bukunya, ia banyak menyinggung tentang kota-kota hebat di masa lampau di Pulau Sumatera, salah satunya Kota Jambi, lebih tepatnya kawasan Percandian Muarojambi, sebuah kota jaringan melayu nun jauh di masa lampau-terhubung dalam masa keemasan Sriwijaya. Bahkan, sang aktivis yang juga arsitek dan urbanis itu menceritakan kepada kami pengalamannya bersama arkeolog Prof. Mundarjito (pengajar di Universitas Indonesia), jurnalis Jacob Utama (pendiri Koran Kompas bersama PK Ojong), dan kurator seni rupa Museum Nasional Asikin Hasan (asal Jambi mukim di Jakarta), dan beberapa tokoh lainnya yang tergabung di dalam Perhimpunan Pelestarian Muarojambi, membuat pameran Candi Muarojambi di Bentara Kompas, Jakarta.

“Itu sudah lama, mungkin sekitar antara 2006-2009. Ketika itu boleh dikata saya bersama teman-teman Perhimpunan intens dengan kawasan Percandian Muarojambi. Nah, saya tidak lagi mengikuti perkembangan kondisi terkini situs purbakala ternama itu, meski sumber literatur tentangnya saya akrabi, karena itu juga berkaitan dengan sejarah kota-kota hebat di masa lampau,” pungkasnya sembari pamit karena akan ke Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk menghadiri sebuah acara seni rupa.

Demikianlah catatan singkat saya di Café dan Toko Buku Kobam Menteng, selama satu setengah jam. Perjalanan kali ini melengkapi kunjungan saya pribadi sebelum-sebelum ini di café dan toko-toko buku alternatif yang ada di Jakarta yaitu antara lain Jalma (Blok M), Baca di Tebet, Makarya (Matraman), Kedai Patjar Merah Pasar Baru, POST Bookshop Pasar Santa, Freedom Institute Library, Pustaka Obor Library, Erasmus Huis, KITLV-Jakarta, Goete Institute, Daniel S. Lev Law Library, Perpustakaan Jakarta (TIM) dan PDS HB. Jassin, Ruang Belajar H.A.R. Tilaar, dan Pasar Kenari. Demikian itu semua adalah oase di tengah kebisingan Kota Jakarta.

 

*Jakarta, 6 Agustus 2025.  

0 Komentar