![]() |
Koran Buana Minggu, edisi 22 April 1984 |
Malam itu saya tidak bisa tidur. Sakit di sekujur tubuh tidak saya rasa, di ruang mata terbayang wajah orang yang saya cintai. Malam terakhir kami bertemu, tergambar jelas di rongga mata saya. Sebuah panorama yang indah dan getir. Sedang saya terbenam dalam lamunan tiba-tiba seberkas cahaya menerpa muka saya. Tidak lama kedengaran suara berat lirih menyebut nama saya sambil berbisik: "San," "sini !".
Saya diam menatap pintu sel.
Sekali lagi nama saya dipanggil. Setelah suara itu saya kenali baru saya
bangkit dari pembaringan menemui orang itu. (Dia adalah Polisi Belanda yang pro
Republik Indonesia). Atau jelasnya mata-mata Republik yang ditugaskan menjadi
Polisi Belanda. Sambil berbisik polisi itu berkata. Beberapa hari yang lalu
pasukan gerilya akan menjemput kau. Penjara ini akan diserbu. Tetapi serdadu
Belanda sudah mencium lebih dahulu, niat itu dibatalkan. Saya jadi ingat,
beberapa hari yang lalu, penjagaan di sekeliling penjara ditingkatkan. Beberapa
orang serdadu Belanda berada di pintu sel saya. Bahkan salah seorang sempat
mengancam: "Kalau ada apa-apa kamu orang saya tembak dulu!"
"Nah," polisi itu
melanjutkan. "Besok siang kau akan dibawa dengan jeep ke tempat kuburan
pengkhianat itu. Mereka tidak membutuhkan kuburan. Yang jelas kau akan
ditembak. Usahakan sebelum sampai ke tempat itu melarikan diri. Saya akan
mengirim berita ke pasukan!". Mulut saya terkunci menerima kabar
mengerikan itu. "Kau ada pesan?" polisi itu berbisik. "Andaikata
saya tidak dapat meloloskan diri, dan saya gugur, sampaikan salam dan hormat,
kepada kedua orangtua saya, kepada kawan-kawan seperjuangan. Terima
kasih." Sejenak kami bertatap muka. Polisi itu lalu pergi.
Bayangan kematian datang
menggoda. Dapatkah besok saya meloloskan diri? Jika gagal, tentu butir-butir
timah panas akan menerjang tubuh saya. Pasti pengawalan ketat, dan tangan saya
diborgol. Kesempatan melarikan diri tipis sekali. Saya menyerahkan diri kepada
Tuhan. Apa yang akan terjadi, saya akan terima dengan tabah. Malam itu saya
bersembanyang. Saya mohon ampun dan ber-do’a. Macam-macam bayangan datang silih
berganti. Malam itu saya tidak tidur. Saya berdo'a berharap semoga saya dapat
meloloskan diri. Dengan tidak saya sadari hari sudah pagi. Mandor penjara
datang mengantarkan makanan. Pada wajahnya terbayang ucapan selamat jalan.
Kira-kira jam sebelas siang,
sebuah jeep berwarna merah diparkir di dekat penjara. Seluruh pintunya tertutup
dengan terpal. Sejam kemudian datang seorang kaki tangan Belanda. Sopir jeep
dengan laki-laki yang baru tiba itu berbicara. Kemudian keduanya naik ke mobil,
dan jeep dilarikan. Semua adegan itu saya perhatikan dengan jantung berdebaran.
Badan saya menggigil panas dingin. Tidak lama datang dua KNIL bersenjata
lengkap. Saya dikeluarkan dari sel, lalu mereka bawa. Tangan saya tidak
diborgol lagi. Kini tamatlah riwayat hidup saya. Tentu mereka akan mem-bawa
saya ke suatu tempat, kemudian ditembak. Ternyata saya dibawa ke markas
Belanda. Dalam kamar pemeriksaan sudah menunggu seorang kopral Indo. Waktu
melangkah ke dalam, hati saya kecut. Pasti kopral yang kekar itu akan mengulang
kembali kekejaman yang pernah saya rasakan.
![]() |
Penulis Hasan Basry R.M. |
"Kamu TNI!" tiba-tiba
dia berseru, saya tidak menjawab, Toh tidak ada gunanya, Apa yang musti saya
katakan! Sekali lagi dia berkata. Nada suaranya tidak mengancam. Tanpa pikir
saya jawab tegas: "Ya!"
"TNI Pangkat?"
"Sersan Satu!"
Pikiran saya sudah pendek.
Apa yang akan terjadi, saya terima. Tiba-tiba kopral itu memberi hormat. Ia
mengulurkan tangannya yang merah tembaga itu. Saya terdiam, matanya saya tatap
penuh tanda tanya. Akhirnya tangan yang besar itu saya jabat. Genggamannya
sangat keras. Tulang telapak tangan saya rasanya mau patah. Kami bersalaman.
"Silakan duduk,"
sambil dia menunjukkan sebuah kursi.
Lesu saya melangkah, lalu
duduk. Pikiran saya kacau balau. Mungkin siasat baru un-tuk mengorek keterangan
dari mulut saya.
Sejenak kemudian kopral itu
menyodorkan sebatang rokok. Saya ambil, dia menolong menyulut. Kami berdua
sama-sama merokok. Suasana dalam kamar hening. Sedikit demi sedikit harga diri
saya kembali. Duduk sudah mulai enak.
"Saya kepala IVG yang
baru di sini, Indo itu mulai membuka pembicaraan." Pagi tadi kami timbang
terima. Tuan bernasib baik!"
Saya diam membisu. Tidak
mengerti ujung pangkal pembicaraannya.
"Sekarang kita
bersahabat," sambungnya lagi. "Antara Republik dengan Kerajaan
Belanda sama meletakan senjata. Menurut persetujuan Tuan T.P.C. Jambi dan
Komandan S.T.D. tanggal 30 September 1949 di Muara Tembesi, fasal IV bahwa
pengaduan-pengaduan dan tuntutan sesudah tanggal 20 Oktober 1949 terhadap
penghentian permusuhan (Cease Hostilities) ditiadakan. Nah, tuan maklum
sekarang... Tuan bebas dari semua tuntutan. Kami baru saja terima surat dari
Letnan Hasyim." Saya diam. Kepala saya tundukkan.
"Tuan punya Komandan minta
supaya Tuan dibebaskan. Pasukan tuan sudah membunuh polisi kerajaan!"
kopral itu memecah kesunyian. "Untung saya lekas datang menggantikan
kepaia IVC yang lama.... Kalau terlambat,... Tuan tidak bisa lihat matahari
lagi," kepala IVC itu bergurau. "Dan,.. Tuan Sersan M. menitip salam
untuk tuan Hasan!"
Sersan M yang dia maksud
adalah ayah dari pacar saya, yang kemarin datang menjenguk saya di penjara.
Suatu keajaiban telah menimpa diri saya. Dua kali saya lolos dari lobang jarum.
Pertama ketika power yang akan saya tumpangi diberondong oleh Belanda di Muara
Bulian sehingga semua kawan saya tewas. Kini lepas lagi dari maut, sebab tiba-tiba
kepala IVC ditukar dengan yang baru.
Saya yakin, Sersan KNIL M;
ayah pacar saya itu berperan mengatur hal ini. Pertukaran Kepala IVG sangat
medadak.
Mungkin dia tahu niat buruk
kepala IVG yang lama belatar belakang dendam anak perawan dari pengkhianat yang
mati itu; bakal jadi isterinya. Budi Sersan M tidak dapat saya balas. Ucapan
terima kasih tidak dapat saya sampaikan, sebab sampai sekarang saya tidak pernah
dapat bertemu dengan pacar saya dan orang tuanya. Semoga keluarga itu dalam
sehat walafiat, dan diberkahi Tuhan. Terlepas dari semua sebab musabab, Tuhan
juga yanng menentukan. Allah dapat berbuat sekehendaknya, kita umatnya tinggal
melalui garis-garis yang sudah ditentukanNya.
Beberapa hari kemudian,
melalui Komisi Tiga Negara, dalam upacara singkat di ujung tanah lapang
Semagor, saya diserahkan kepada Komandan Batalyon Tjindoer Mata STD. Act.
Letnan Satu A. Hasjim beserta delegasi. Saya bebas dan kembali ke induk
pasukan.
Beberapa hari kemudian
pasukan berangkat ke Jambi. Kota Jambi diserahkan kepada TNI, dan semua serdadu
Belanda bersiap-siap berangkat. Di Jambi saya berniat menemui pacar saya,
tetapi saya tidak punya keberanian masuk ke tangsi KNIL. Apalagi para gadis
tangsi ke mana saja pergi selalu dikawal oleh beberapa tentara Belanda.
Sedangkan saat itu suasana mulai panas. Baku hantam antara serdadu Belanda
dengan TNI sewaktu-waktu bisa meledak. Masing-masing unjuk gigi bila berpapasan.
Pada suatu pagi saya melihat
si dia ke pasar bersama ibunya. Kesempatan yang baik itu tidak saya sia-siakan.
Saya datang dari arah berlawanan. Di tengah orang ramai, dalam suasana hiruk
pikuk, kami bertemu. Perjumpaan yang singkat, tetapi sangat mengesankan.
Sejenak kami berdua sama-sama terdiam. Dua pasang mata saling menatap. Matanya
berkaca2 dan sebaris kalimat diucapkannya: "Besok kami akan berangkat ke
Jakarta. Selamat tinggal!"
Dengan langkah berat dia
meninggalkan saya yang berdiri mematung. Sejak hari itu kami tidak pernah
bertemu lagi sampai saat ini. Tiga puluh tiga tahun telah berlalu.
*Kota Jambi, 16 Agustus 2025.
*Nama Lettu Hasan Lebai tertulis dalam Monograf berjudul Jambi dalam Sejarah Nusantara karya pejuang Jambi A. Mukty Nasruddin, terbit pada Desember 1989. Pada halaman 471 tertulis berikut ini “Kapten Ramli Umar ditugaskan memimpin Kompi II di Bayung Lincir dan sebagai Koordinator pengawal Keamanan garis pemisah (statisquo) dengan Belanda dalam pelaksanaan gencatan senjata berdasar Renville, ditarik kembali ke Tempino. Sedang di Bayung Lincir diletakkan hanya satu Seksi di bawah pimpinan Letnan Muda Sya'ban Siregar dengan K.O.D.M.-nya di bawah pimpinan Letnan I Hasan Lebai dengan wakilnya Let Muda Nusa Ismail, dimana keduanya ini beserta keluarga sampai saat ini misterius, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya. Adapun di Bajubang dipercayakan memimpin Kompi I adalah Letnan I Joko dan KODM-nya adalah Letnan Muda Sjambsuddin Uban dengan wakilnya Letnan Muda Bahar Mahyuddin. KODM Muara Tembesi dipimpin oleh Kapten Daud dengan wakilnya Letnan Muda Nursaga. Sedangkan untuk Sarolangun dipercayakan kepada Mayor Harun Sohar sebagai pimpinan KODM dan Kapten Hasyim Meluai ditugaskan di Muaro Tebo”.
*Tulisan di atas adalah bagian ketiga dari karya Hasan Basry R.M, dimuat di Koran Buana Minggu, Jakarta, Minggu, 22 April 1984. Buana Minggu adalah surat kabar Mingguan yang populer di Jakarta pada 1970an hingga 1990an. Tulisan ini saya muat ulang secara utuh untuk menjadi bahan bagi para peneliti yang menaruh minat terhadap sejarah perjuangan kemerdekaan RI di Provinsi Jambi atau bagi tuan dan puan yang memiliki informasi tentang sosok ini, sudi kiranya berbagi di sini. Terima kasih.
*Tulisan-tulisan saya lainnya seputar tokoh-tokoh Jambi di link berikut ini:
1) Tapak-tapak Sejarah Berdiri Provinsi Jambi
2) Arsip Sejarah Jambi di ANRI
3) Si "Bulldozer" Masjchun Sofwan (Gubernur Jambi 1979-1989)
4) Kisah Putri Gubernur Jambi Djamaludin Tambunan Bersama Bung Karno
5) Srie Soedewi, Sosok Cemerlang di Balik Gubernur Jambi Maschun Sofwan
6) Jambi Yang Menanti Jamahan, Buah Pikiran Djamaludin Tambunan
7) Hanafie, Gubernur Jambi Terpilih (Gagal) Dilantik
8) Kisah Sepeninggalan Abdurrahman Sayoeti
9) Haji Hasan, Orang Gedang dari Empelu
10) A. Mukty Nasruddin, Penulis Sejarah Jambi Yang Dilupakan
11) Setelah Fakhruddin Saudagar Tak Ada Lagi
12) Dilema Residen Inu Kertapati dan Pesannya untuk Rakyat Jambi
13) Emi Nopisah, Dari Ajudan Gubernur sampai Sekretaris DPRD Provinsi Jambi
14) 65 Pemikiran Tokoh untuk 65 Tahun Provinsi Jambi
15) Sejarah Melayu Kuno: Ruang Terbuka Studi Masa Lalu Jambi
16) Kisah Mayloedin ADN dan Buku-bukunya
17) Sosok dan Pemikiran Junaidi T. Noor
18) Sejarah Gedung Wakil Rakyat Provinsi Jambi
19) Syamsul Watir dan Pers Jambi (Tanpa) Pusat Dokumentasi
20) Bung Karno dan Sumbangan Rakyat Jambi Untuk Kemerdekaan RI
21) Di Balik Penggantian Residen Jambi Sagaf Yahya
22) Pertempuran Simpang Tiga Sipin 1948
23) In Memoriam Datuk Bandar Paduka Betuah Sulaiman Hasan
24) Surat-surat Jan Johannes van de Velde Kepada Instansi di Belanda
25) Belajar dari Pejuang Jambi, H.A. Thaib Hanafiah
26) Kamal Firdaus, Ia Yang Masih Merisaukan Penegakan Hukum di Republik Ini
27) Jang Aisjah Muttalib, Penulis Sejarah Sarikat Abang di Jambi 1916
0 Komentar