Oleh: Jumardi Putra*
Akhir September tahun lalu, sebanyak 47 individu dari berbagai latar belakang profesi, menerima Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Helatan rutin Kemdikbud sedari tahun 2012 ini menghimpun tujuh kategori penghargaan, yaitu Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru; Kategori Pelestari; Kategori Anak dan Remaja; Kategori Maestro Seni Tradisi; Kategori Komunitas; Kategori Pemerintah Daerah; dan Kategori Perorangan Asing.
Kategori Perorangan Asing 2017 jatuh pada tiga nama, yaitu Annabel Teh Gallop dari Inggris. Ia adalah peneliti manuskrip, surat, dokumen, dan cap Melayu, serta seni Alquran di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Selain Annabel adalah Richard Harry Chauvel dari Australia, ahli bidang sejarah dan politik indonesia, hubungan Australia-Indonesia dan kebijakan luar negeri Australia serta Mitsuo Nakamura dari Jepang, ahli bidang pengetahuan dan permasalahan komunitas Islam Indonesia dan aktif dalam berbagai kegiatan Dialog Antarperadaban Antarkeyakinan.
Raihan Annabel ini melengkapi anugerah kategori peneliti asing tahun sebelumnya (2016) yakni Margaret J. Kartomi pada bidang musik tradisional Indonesia, Merle Calvin Ricklefs pada bidang sejarah Indonesia zamah dahulu, dan Anthony Reid pada bidang sejarah Sumatera Moderen. Ketiganya sama-sama bermukim dan bekerja sebagai profesor di universitas di Australia.
Akhir September tahun lalu, sebanyak 47 individu dari berbagai latar belakang profesi, menerima Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Helatan rutin Kemdikbud sedari tahun 2012 ini menghimpun tujuh kategori penghargaan, yaitu Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru; Kategori Pelestari; Kategori Anak dan Remaja; Kategori Maestro Seni Tradisi; Kategori Komunitas; Kategori Pemerintah Daerah; dan Kategori Perorangan Asing.
Kategori Perorangan Asing 2017 jatuh pada tiga nama, yaitu Annabel Teh Gallop dari Inggris. Ia adalah peneliti manuskrip, surat, dokumen, dan cap Melayu, serta seni Alquran di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Selain Annabel adalah Richard Harry Chauvel dari Australia, ahli bidang sejarah dan politik indonesia, hubungan Australia-Indonesia dan kebijakan luar negeri Australia serta Mitsuo Nakamura dari Jepang, ahli bidang pengetahuan dan permasalahan komunitas Islam Indonesia dan aktif dalam berbagai kegiatan Dialog Antarperadaban Antarkeyakinan.
Raihan Annabel ini melengkapi anugerah kategori peneliti asing tahun sebelumnya (2016) yakni Margaret J. Kartomi pada bidang musik tradisional Indonesia, Merle Calvin Ricklefs pada bidang sejarah Indonesia zamah dahulu, dan Anthony Reid pada bidang sejarah Sumatera Moderen. Ketiganya sama-sama bermukim dan bekerja sebagai profesor di universitas di Australia.
Mendapati kabar raihan Anugerah Budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia itu, mewakili kawan-kawan Seloko Institute, via facebook saya mengucapkan selamat sekaligus sukacita atas Anugerah Budaya yang disematkan pada Dr. Annabel Gallop atas dedikasinya sebagai peneliti manuskrip, surat, dokumen, dan cap Melayu, serta seni Alquran di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
“Terima kasih. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di Jambi atas kerjasama yang begitu menyenangkan. Nanti saya kirim makalah saya saat seminar Internasional Pernaskahan Nusantara 2017 di Surakarta, Jawa Tengah, 26 September 2017, tentang Surat Piagam Jambi,” balas Annabel.
Annabel dan Jambi
Dalam studi pernaskahan, Annabel Teh Gallop adalah nama yang sangat familiar. Sekarang Annabel Teh Gallop merupakan Kepala Kurator Naskah Asia Tenggara, British Library, London. Fokus penelitian utamanya adalah manuskrip, surat, dokumen, cap Melayu, dan buku seni Islam, khususnya manuskrip Melayu di kawasan Asia Tenggara.
Disertasi doktoralnya (Ph.D.) di School of Oriental and African Studies, University of London, 2002, berjudul "Inskripsi pada cap Melayu: Sebuah kajian epigrafi IIlam dari Asia Tenggara". Karyanya yang lain, antara lain Surat Emas: Tradisi Tulis di Indonesia; artikel Meterai bersilsilah Kaiser Mughal India; Piagam Serampas: dokumen Melayu dari pedalaman Jambi, dan Piagam Muara Mendras: tambahan dokumen Melayu dari pedalaman Jambi, dan Seni Hias Manuskrip Melayu (iluminasi naskah Melayu) di Warisan manuskrip Melayu (Kuala Lumpur, 2002).
Di antara banyak wilayah (daerah) penelitian yang ia kunjungi di Indonesia, yaitu Jambi adalah salah satunya. Paling tidak untuk menyebut contoh, penelitiannya mengenai Piagam Serampas dan Muara Mendras memberi gambaran perhatian Annabel pada studi filologi di Jambi.
Selain pernah menjadi chairperson (kurator) sekaligus pembentang makalah berjudul “The Royal Animal Seals of Jambi” pada perhelatan Konferensi Internasional Studi Jambi (International Conference on Jambi Studies), 21-24 November 2013, Annabel juga pernah diundang oleh Seloko Institute, Jambi, bekerjasama dengan KKI WARSI ke Jambi dalam rangka pelatihan pernaskahan pada 15-16 September 2014.
Pelatihan ketika itu fokus pada pengayaan pengetahuan seputar naskah (filologi) dan aspek luaran naskah (kodikologi) serta sosial budaya yang menyertai keberadaan masing-masing naskah. Di samping itu, pelatihan tidak saja fokus pada naskah-naskah Jambi, seperti piagam, cap, mushaf, dan berbagai dokumen berupa surat kontrak perjanjian antar Kesultanan di Nusantara, tetapi juga pernaskahan dalam cakupan yang lebih luas yaitu Nusantara.
Menurut Annabel Gallop, sampai sekarang banyak naskah Jambi yang belum tersentuh oleh peneliti, terutama filolog. "Sejauh ini dalam penelitian saya di Nusantara, cap yang menggunakan lambang hewan hanya ditemukan di Jambi," ungkapnya.
Ia pun memperlihatkan koleksi foto cap asal Jambi kepada peserta pelatihan. Salah satunya adalah cap era kepemimpinan Sultan Thaha Syaifudin yang berupa kaligrafi berbentuk Angsa. Menurut Annabel, cap tersebut adalah salah satu penemuannya ketika ia menyusun disertasi sekira dua belas tahun lalu.
Sejauh ini, diakui Annabel baru ditemukan 1830 cap Islam dari wilayah Asia Tenggara, dan 90 persen dari keseluruhan itu merupakan tinggalan abad ke-18 dan 19.
“Sepencatatan kami, dalam rentang 1700-1750 ditemukan sebanyak 144 cap, 1750-1800 sebanyak 356 cap, sedangkan periode 1800-1850 sebanyak 378 cap, dan periode 1850-1900 sebanyak 788 jenis cap,” tambahnya.
Filologi di Zaman Gawai
Hal menarik dari kerja Annabel adalah kesaksiannya dalam kaitan studi filologi dalam abad gawai sekarang ini. Hal itu dikatakan Annabel saat menyampaikan makalahnya pada Simposium Internasional ke 16 Pernaskahan Nusantara (26-29 September 2016), yakni soal media sosial facebook dan kontribusinya dalam kajian naskah dewasa ini.
Kesaksikan Annabel itu (lihat tayangannya di youtube) menunjukkan pengalaman dirinya dalam melakukan identifikasi teks-teks klasik, seperti ketika risetnya tentang illuminasi naskah mushaf al-Qur'an hingga soal stempel-stempel kuno di dunia Melayu-Nusantara.
Melalui media facebook, ia mampu menghimpun masukan, saran dan diskusi tentang persoalan-persoalan yang disebarkan melalui media tersebut. Tentu, ini salah satu strategi bagaimana memanfaatkan teknologi informasi di abad ke-21.
Saya dan tentu juga nitizen yang menaruh perhatian pada topik pernaskahan pernah berinteraksi langsung melalui facebook bersama Annabel dalam bentuk sharing hasil identifikasi terhadap teks-teks klasik. Bahkan, dalam kasus identifikasi terhadap teks yang tertera pada cap era kepemimpinan Sultan Thaha Syaifudin, yang berupa kaligrafi berbentuk Angsa terjadi pertukaran antara Annabel dan beberapa pegiat pernaskahan di Jambi. Di situ, Annabel menampilkan citra sebagai peneliti yang partisipatif.
Kerja Gallop ini, setidaknya mampu menjawab anggapan umum kita sekarang ini yang seolah final, yaitu kajian naskah ketinggalan zaman dan tidak atraktif, sehingga cenderung ditinggalkan generasi sekarang. Faktanya, Gallop tidak ketinggalan zaman, ia justru berhasil memanfaatkan perangkat teknologi modern untuk kepentingan (dan kemudahan) kajian naskah itu sendiri.
Sangat terbuka kemungkinan lewat jejaring pertemanan media facebook, generasi sekarang yang tadinya tidak tahu tentang pernaskahan (naskah-naskah manuskrip) menjadi tahu, tidak suka akhirnya menjadi suka. Dengan kata lain, studi filologi bukan semata digeluti oleh orang-orang yang hanya memiliki minat terhadap naskah, tetapi oleh sesiapa saja yang riang-gembira berbagi informasi yang relevan dan senantiasa menggairahkan studi filologi di Nusantara.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik sosok portal kajanglako.com pada 15 Maret 2018.
“Terima kasih. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di Jambi atas kerjasama yang begitu menyenangkan. Nanti saya kirim makalah saya saat seminar Internasional Pernaskahan Nusantara 2017 di Surakarta, Jawa Tengah, 26 September 2017, tentang Surat Piagam Jambi,” balas Annabel.
Annabel dan Jambi
Dalam studi pernaskahan, Annabel Teh Gallop adalah nama yang sangat familiar. Sekarang Annabel Teh Gallop merupakan Kepala Kurator Naskah Asia Tenggara, British Library, London. Fokus penelitian utamanya adalah manuskrip, surat, dokumen, cap Melayu, dan buku seni Islam, khususnya manuskrip Melayu di kawasan Asia Tenggara.
Disertasi doktoralnya (Ph.D.) di School of Oriental and African Studies, University of London, 2002, berjudul "Inskripsi pada cap Melayu: Sebuah kajian epigrafi IIlam dari Asia Tenggara". Karyanya yang lain, antara lain Surat Emas: Tradisi Tulis di Indonesia; artikel Meterai bersilsilah Kaiser Mughal India; Piagam Serampas: dokumen Melayu dari pedalaman Jambi, dan Piagam Muara Mendras: tambahan dokumen Melayu dari pedalaman Jambi, dan Seni Hias Manuskrip Melayu (iluminasi naskah Melayu) di Warisan manuskrip Melayu (Kuala Lumpur, 2002).
Di antara banyak wilayah (daerah) penelitian yang ia kunjungi di Indonesia, yaitu Jambi adalah salah satunya. Paling tidak untuk menyebut contoh, penelitiannya mengenai Piagam Serampas dan Muara Mendras memberi gambaran perhatian Annabel pada studi filologi di Jambi.
Selain pernah menjadi chairperson (kurator) sekaligus pembentang makalah berjudul “The Royal Animal Seals of Jambi” pada perhelatan Konferensi Internasional Studi Jambi (International Conference on Jambi Studies), 21-24 November 2013, Annabel juga pernah diundang oleh Seloko Institute, Jambi, bekerjasama dengan KKI WARSI ke Jambi dalam rangka pelatihan pernaskahan pada 15-16 September 2014.
Pelatihan ketika itu fokus pada pengayaan pengetahuan seputar naskah (filologi) dan aspek luaran naskah (kodikologi) serta sosial budaya yang menyertai keberadaan masing-masing naskah. Di samping itu, pelatihan tidak saja fokus pada naskah-naskah Jambi, seperti piagam, cap, mushaf, dan berbagai dokumen berupa surat kontrak perjanjian antar Kesultanan di Nusantara, tetapi juga pernaskahan dalam cakupan yang lebih luas yaitu Nusantara.
Menurut Annabel Gallop, sampai sekarang banyak naskah Jambi yang belum tersentuh oleh peneliti, terutama filolog. "Sejauh ini dalam penelitian saya di Nusantara, cap yang menggunakan lambang hewan hanya ditemukan di Jambi," ungkapnya.
Ia pun memperlihatkan koleksi foto cap asal Jambi kepada peserta pelatihan. Salah satunya adalah cap era kepemimpinan Sultan Thaha Syaifudin yang berupa kaligrafi berbentuk Angsa. Menurut Annabel, cap tersebut adalah salah satu penemuannya ketika ia menyusun disertasi sekira dua belas tahun lalu.
Sejauh ini, diakui Annabel baru ditemukan 1830 cap Islam dari wilayah Asia Tenggara, dan 90 persen dari keseluruhan itu merupakan tinggalan abad ke-18 dan 19.
“Sepencatatan kami, dalam rentang 1700-1750 ditemukan sebanyak 144 cap, 1750-1800 sebanyak 356 cap, sedangkan periode 1800-1850 sebanyak 378 cap, dan periode 1850-1900 sebanyak 788 jenis cap,” tambahnya.
Filologi di Zaman Gawai
Hal menarik dari kerja Annabel adalah kesaksiannya dalam kaitan studi filologi dalam abad gawai sekarang ini. Hal itu dikatakan Annabel saat menyampaikan makalahnya pada Simposium Internasional ke 16 Pernaskahan Nusantara (26-29 September 2016), yakni soal media sosial facebook dan kontribusinya dalam kajian naskah dewasa ini.
Kesaksikan Annabel itu (lihat tayangannya di youtube) menunjukkan pengalaman dirinya dalam melakukan identifikasi teks-teks klasik, seperti ketika risetnya tentang illuminasi naskah mushaf al-Qur'an hingga soal stempel-stempel kuno di dunia Melayu-Nusantara.
Melalui media facebook, ia mampu menghimpun masukan, saran dan diskusi tentang persoalan-persoalan yang disebarkan melalui media tersebut. Tentu, ini salah satu strategi bagaimana memanfaatkan teknologi informasi di abad ke-21.
Saya dan tentu juga nitizen yang menaruh perhatian pada topik pernaskahan pernah berinteraksi langsung melalui facebook bersama Annabel dalam bentuk sharing hasil identifikasi terhadap teks-teks klasik. Bahkan, dalam kasus identifikasi terhadap teks yang tertera pada cap era kepemimpinan Sultan Thaha Syaifudin, yang berupa kaligrafi berbentuk Angsa terjadi pertukaran antara Annabel dan beberapa pegiat pernaskahan di Jambi. Di situ, Annabel menampilkan citra sebagai peneliti yang partisipatif.
Kerja Gallop ini, setidaknya mampu menjawab anggapan umum kita sekarang ini yang seolah final, yaitu kajian naskah ketinggalan zaman dan tidak atraktif, sehingga cenderung ditinggalkan generasi sekarang. Faktanya, Gallop tidak ketinggalan zaman, ia justru berhasil memanfaatkan perangkat teknologi modern untuk kepentingan (dan kemudahan) kajian naskah itu sendiri.
Sangat terbuka kemungkinan lewat jejaring pertemanan media facebook, generasi sekarang yang tadinya tidak tahu tentang pernaskahan (naskah-naskah manuskrip) menjadi tahu, tidak suka akhirnya menjadi suka. Dengan kata lain, studi filologi bukan semata digeluti oleh orang-orang yang hanya memiliki minat terhadap naskah, tetapi oleh sesiapa saja yang riang-gembira berbagi informasi yang relevan dan senantiasa menggairahkan studi filologi di Nusantara.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik sosok portal kajanglako.com pada 15 Maret 2018.
0 Komentar