Suatu Hari Tentang Jambi di Bakoel Koffie Cikini

 

Kedai Bakoel Koffie Cikini. Sumber foto: garvingoei.com

Oleh: Jumardi Putra*

Berkontribusi untuk Jambi bukan hanya menjadi tugas (apalagi beban) individu-individu yang lahir dan bermukim di Jambi. Jambi justru akan terus maju dan ikut berkontribusi pada lapangan yang lebih luas di negeri ini berkat kiprah putra-putri daerahnya yang tinggal di banyak daerah baik dalam maupun luar negeri.

Sekecil apapun peran itu, karenanya patut dicatat sekaligus mendapat tempat. Menyadari peran strategis orang-orang Jambi di luar wilayah administrasi pemerintahan Jambi, maka sepatutnya komunikasi dan senergisitas antara pemerintah daerah dengan mereka melalui pelbagai medium alternatif seiring majunya teknologi komunikasi menemukan relevansi untuk dicakap-renungkan sekaligus diejawantahkan ke depan.

Apatah lagi terhadap mereka yang memiliki keahlian di bidang tertentu dan dipandang bisa menjadi semacam duta atau penyambung lidah masyarakat provinsi Jambi ke daerah-daerah terjauh untuk membangun jejaring kerjasama melalui program dan kegiatan yang senafas dengan kepentingan dan karakter budaya masyarakat provinsi Jambi. 

Hemat saya, pola komunikasi dan keterhubungan antara pemerintah daerah dengan mereka di luar daerah Jambi perlu dicarikan bentuk baru, mengingat pola konvensional melalui badan atau organisasi kedaerahan selama ini menemukan kemandekan (stagnasi). Penyebabnya, bisa jadi yang paling utama karena organisasi kedaerahan itu sejauh ini lebih berorientasi pada kerja-kerja formalitas (seremonial) dan berkala (kala ada dan kala tidak), sekadar klangenan dan acapkali mudah disetir untuk kepentingan politik praktis berjangka pendek, ketimbang menjadi forum bertemunya ide-ide bernas dan dikerjakan secara berkelanjutan serta berefek luas.

Galibnya mereka yang memiliki keahlian tertentu, dan keahlian itu lebih didasari kecintaannya pada profesi yang digeluti dalam rentang waktu yang panjang, sukar diajak terlibat ke dalam organisasi kedaerahan yang hanya berorientasi pada kerja jangka pendek, sentimental dan terjebak pada laku primordial yang kaku.

Pemaknaan saya demikian lebih karena melihat laju pembangunan Jambi di berbagai sektor dewasa ini berjalan lamban dan gagal bersanding sejajar dengan daerah-daerah lain di tanah air, setidaknya di pulau Sumatra. Jambi menjadi buah bibir nasional justru karena berita korupsi, bencana alam dan konflik pencaplokan lahan antara warga dan perusahaan, serta kebakaran hutan (kasus yang terakhir ini sudah jauh berkurang). Sampai tulisan ini diturunkan, helikopter pembawa ember berukuran raksasa berisikan air masih wara-wiri di langit Jambi menyirami hutan yang ter(di)bakar.

Sedih hati ini berhadapan dengan potret buram Jambi mutakhir yang demikian itu. Mungkin saja ada torehan-torehan menggembirakan dari putra-putri daerah Jambi dalam berbagai forum dan kesempatan baik di level regional, nasional dan internasional, tetapi itu tidak cukup mampu menyedot perhatian publik secara nasional ketimbang berita buruk korupsi. Akankah hal yang demikian itu membuat orang-orang Jambi patah arang? Kecewa iya. Putus asa insyallah tidak!

Niat saya mengetengahkan perkara ini bukan menghendaki agar mereka (yang memiliki keahlian spesifik) diajak khusus untuk melaksanakan program-program pemerintah daerah dalam rangka menancapkan pengaruh provinsi Jambi di daerah-daerah lain di Indonesia. Melainkan perlu sebuah ruang lintas teritori yang digerakkan oleh kesamaan pandangan, selain juga kesamaan tanah kelahiran, untuk mempercepat laju pembangunan provinsi Jambi di pelbagai sektor. Hal tersebut lebih masuk akal tersebab menyerahkan seratus persen urusan pembangunan semesta Jambi pada kerja-kerja birokrasi jelas belum membuahkan hasil yang menggembirakan meski telah bergonta-ganti kepala daerah. Birokrasi pemerintah daerah Jambi kerap terjebak pada rutinitas penuh seremonial dan repitisi. Miskin inisiatif dan inovasi.  

Mereka yang saya jumpai dan tersebut dalam catatan ini, dan itu jelas hanya bagian kecil dari banyak orang-orang Jambi yang hebat yang tersebar di banyak daerah di Indonesia, adalah mereka yang bertungkus lumus mencintai profesi yang digelutinya, dan dari situ secara tidak langsung Jambi ikut dikenal berkat karya dan pemikiran mereka yang terus diperbincangkan dan dipublikasikan. Pendeknya, sekalipun tiada ajakan dari pemerintah daerah  Jambi, mereka tetap berbuat dan mengenalkan Jambi dengan caranya masing-masing.

Saya memiliki banyak contoh figur-figur berdedikasi baik yang tinggal di Jambi atau pun di luar Jambi, dalam kesunyian mereka (jauh dari kilatan kamera), tida henti bekerja dan mengharumkan nama derah Jambi tercinta. Mulai dari keterlibatan mereka di lapangan riset dan ilmu pengetahuan, hukum dan keamanan, jurnalisme, kesenian, advokasi dan pemberdayaan masyarakat.

Pemerintah daerah provinsi Jambi di bawah kepemimpinan Al Haris – Sani sekarang ini hingga 3,5 tahun ke depan mesti membaca realitas demikian sebagai peluang dan kekuatan untuk berjejaring menjawab permasalahan sekaligus tantangan provinsi Jambi ke depan secara bersama-sama, sebagaimana seloko adat mengatakan “timbul sama terapung dan tenggelam sama terbenam” (adanya kebersamaan dengan rasa tanggung jawab) untuk memperjuangkan Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah.

Di antara banyak figur melalui profesi yang digeluti, empat sosok lelaki yang saya bentangkan dalam catatan ini adalah Firman Lie, Asikin Hasan, Aji Najiullah Thaib dan Muslimin Tanja. Perjumpaan saya dengan mereka terjadi pada medio November tahun lalu (2020) di kedai Bakoel Koffie di jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, sebuah kedai kopi yang telah berdiri sejak tahun 1878 di Batavia. Kebetulan pula pertemuan saya dengan mereka berlangsung kurang lebih sebulan sebelum penyelenggaraan Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi pada 9 Desember 2020.

Ngobrol lepas di Bakoel Koffie Cikini. Dok. JP.

Gayung bersambut, pembicaraan seputar sosok calon kepala daaerah dan problem mendasar pembangunan provinsi Jambi tidak luput menjadi perhatian di antara kami, sebut saja soal penanganan pandemi Covid-19, kualitas pendidikan dan minimnya apresiasi seni (tradisi dan kontemporer), korupsi, tata kelola birokrasi pemerintahan, transportasi publik dan kesenjangan pembangunan antar daerah di Jambi serta tiadanya “cetak biru” kebudayaan sebagai bagian integral pembangunan daerah Jambi melalui intensifikasi glokalisasi. Kesemua itu oleh mereka, berdasarkan ilmu, pengalaman dan jam terbang masing-masing, dihubungkan dengan pergerakan daerah-daerah lain di Indonesia.

Obrolan lepas antara kami berjalan cair, tanpa satu tema yang mengikat secara kaku. Gagasan bermunculan dalam bingkai keindonesiaan dengan segala dinamikanya, tak terkecuali perihal kontestasi pemilihan Presiden bersamaan menguatnya politik identitas yang berimbas pada polarisasi hingga ke daerah-daerah. Laiknya obralan di café-cafe banyak ide bertautan, dan tak jarang ide itu berkelindan dengan realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya di tanah air.  

Sosok pertama adalah Firman Lie. Ia dikenal luas sebagai perupa sekaligus pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), tempat di mana sosok seperti aktor film sekaliber Slamet Rahardjo dan sineas Garin Nugroho ikut mengajar.

Kiprah lelaki berdarah Tinghoa ini di jagad kesenian, terutama seni rupa tidak diragukan lagi. Ia terlibat dalam banyak iven pameran lukisan bergengsi dalam dan luar negeri serta kerap diminta menjadi kurator pameran lukisan di beberapa daerah di tanah air. Saya pernah mewawancarainya ketika saya aktif sebagai host beranda budaya di stasiun TVRI Jambi sekira empat tahun yang lalu.

Ia juga salah satu sosok yang ikut menginisiasi bersama IKJ melakukan penelitian dan pendampingan membuat Museum Bioskop Jambi setelah mengetahui kekayaan artefak Bioskop yang terawat baik oleh pengusaha Harkopo Lie sekeluarga di Kota Jambi. Tulisan lengkap penulis tentang sosok dan kiprah Firman Lie ini bisa dibaca di link berikut ini: https://www.jumardiputra.com/2020/03/firman-lie-karya-seni-di-ruang-publik.html.

Sosok berikutnya adalah  Asikin Hasan. Pria kelahiran Jambi ini menamatkan pendidikan terakhirnya di Jurusan Seni (Patung) Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.  Pada tahun 1991 hingga 1994 ia bekerja sebagai wartawan Majalah Berita Mingguan TEMPO (Biro Jawa Barat). Ia terlibat membuat penelitian tentang Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia dan menulis tentang pematung G. Sidharta Soegijo pada Art and Asia Pacific, jurnal seni rupa  di Australia. Selain terbit dalam bentuk buku, tulisan-tulisannya seputar seni rupa juga tersiar di media cetak, yaitu seperti di Harian Umum Kompas, The Jakarta Post, Tempo, Jurnal Visual Arts, dan C Arts.

Sejak tahun 1996 sampai sekarang Asikin Hasan bekerja sebagai kurator Galeri Lontar, kini berganti nama Galeri Salihara, Jakarta. Selain di komunitas Salihara, Asikin juga tercatat sebagai Dewan Kurator Galeri Nasional sejak tahun 2013. Pada 1997 ia melakukan lawatan ke Rusia, mengunjungi Museum Puskhin-Moscow, Museum Hermitage-St. Petersburg, kemudian beberapa museum di Paris-Prancis. Berlanjut pada tahun 1999, ia mengikuti pelatihan kurator di sejumlah museum di Tokyo, Hiroshima, Kyoto, dan Fukuoka.

Antara tahun 1998-2000 Asikin terlibat menjadi kontributor untuk pameran “Yayasan kesenian Perak”, Malaysia. Pada tahun 2001 ia diundang selaku pengamat untuk ARS-01, Pameran Seni Kontemporer Internasional KIASMA, Helsinki, Finlandia. Berlanjut pada tahun 2003 ia menjadi kurator untuk proyek media baru “TRANSIT”, Townsville, Brisbane, dan Darwin, Australia. Ia juga dipercaya sebagai kurator Trienal Seni Patung Kontemporer II, DKJ, Jakarta, pada tahun 2005 dan berlanjut menjadi kurator Pameran Tunggal karya-karya pematung Rita Widagdo di Galeri Nasional Indonesia serta Biennale XII, Seni Rupa  Kontemporer tahun 2006, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Tahun 2019 melalui program Seniman Mengajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Asikin Hasan mendampingi beberapa seniman terpilih se Indonesia ke Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi untuk berbagi ilmu, pengalaman dan sekaligus menyusun proyeksi kesenian secara bersama-sama berbasis potensi seni dan budaya setempat.

Sebagai kurator seni rupa, tugas Asikin sejatinya membantu menerjemahkan makna seni kontemporer dan teka-tekinya kepada publik luas. Kini, Asikin Hasan tengah fokus mengkaji relief peninggalan Presiden Sukarno di Gedung Sarinah yang sempat telantar dan sedang dikonservasi.

Meski masih dalam jagad kesenian, seperti Firman Lie dan Asikin Hasan, sosok selanjutnya memiliki keahlian lain. Namanya Aji Najiullah Thaib. Lelaki kelahiran Jambi pada tanggal 28 Oktober 1959 ini merupakan anak dari seorang pejuang Jambi dan sekaligus salah satu tokoh pendiri provinsi Jambi yaitu A. Thaib Hanafiah, seorang prajurit Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan kepala staf KODM Kuala Tungkal yang juga sahabat Kolonel Abundjani dan menjadi wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD-GR) Provinsi Jambi tahun 1967-1968 (belum berubah menjadi DPRD Provinsi Jambi), setelah sebelumnya menjadi anggota DPRDGR tahun 1961. 

Aji Najiullah Thaib telah lama menetap di Jakarta dan bekerja sebagai Penata Artitistik dalam sinetron-sinetron populer tanah air. Profesi yang ia geluti masih berkaitan dengan latar belakang pendidikannya di Fakultas Seni Rupa dan Desain IKJ. Kini, merespon isu-isu aktual di tanah air, tidak terkecuali seputar Jambi, tulisan-tulisan lepas Aji Najiullah Thaib bisa dibaca di blog Kompasiona miliknya dengan nama pena Nathanegara dan tersiar pula di beberapa media online lainnya.  

Bakoel Koffie Cikini. Dok. JP.

Lain Firman Lie, Asikin Hasan dan Aji Najiullah Thaib, lain pula Muslimin Tanja. Secara usia Muslim Tanja lebih muda dibandingkan tiga nama sebelumnya. Muslimin Tanja ini kerap muncul di tivi-tivi nasional sebagai pengamat politik dan menaruh minat terhadap politik dan kebijakan publik, sebut saja seperti pemilihan presiden, anggota legislatif dan pemilihan kepada daerah (Gubernur maupun Bupati atau Wali Kota) di tanah air.

Sebelum menjadi Direktur lembaga survei dan riset Puspoll Indonesia, lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan master ilmu komunikasi Universitas Indonesia ini, ia adalah Direktur Riset Charta Politika Indonesia. Sebuah lembaga di pusat Ibu kota yang sudah malang melintang dalam banyak riset dan survei pemilihan kepala daerah sampai pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia.

Tidak hanya itu, Musyawarah Wilayah (Muswil) Badan Musyawarah Keluarga Jambi (BMKJ) Jakarta, yang digelar Februari lalu di Anjungan Provinsi Jambi TMII Jakarta, resmi menetapkan Muslimin Tanja sebagai Ketua Umum BMKJ Jakarta untuk masa bakti 2019-2023. Sebagaimana catatan penulis di atas tadi, BKMJ merupakan organisasi yang sama-sama menyimpan problem akut sehingga sulit bergerak cekatan dan memiliki nafas panjang untuk menjadi penyambung lidah masyarakat provinsi Jambi ke dunia luar.

Dengan demikian, tantangan bagi Muslimin Tanja untuk menjadikan organisasi kedaerahan di luar Jambi (dalam hal ini BMKJ) bisa bertaji. Sebagai seorang muda tentu kesempatan bagi Muslimin Tanja untuk terus berkontribusi bagi Jambi terbuka lebar.

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal Jamberita.com pada tanggal 9 Agustus 2021.

* Keterangan foto: dari kiri: Penulis, Firman Lie dan istri, Asikin Hasan, Aji Najiullah Thaib, dan Muslimin Tanja.

0 Komentar