Firman Lie; Karya Seni di Ruang Publik Bukan Tanpa Makna


Firman Lie
Oleh: Jumardi Putra*

Belum lama ini kita menyaksikan protes sekelompok massa terhadap patung Tugu Tani yang dinilai representasi dari simbol komunisme, pendirian patung di salah satu Klenteng di Tuban-Jawa Timur, dan bahkan perobohan Patung Karya Nyoman Nuarta di Pengandaran-Bali.

Peristiwa itu menambah daftar panjang ‘sengketa’ karya seni di ruang publik, sebagaimana enam tahun terakhir terjadi hal serupa di pelbagai daerah di tanah air, antara lain, seperti penghancuran patung Bima, Semar, dan Gatotkaca (tokoh imajiner dalam dunia pewayangan) di Purwakarta, Patung Tiga Mojang di kompleks Kota Harapan Indah, Bekasi, Patung Akar Manusia di titik nol kilometer, Yogyakarta, Patung Jayabaru, Sidoarjo-jawa Timur, dan patung yang menggambarkan Buddha berwajah Gus Dur karya Cipto Purnomo, yang membuat Dewan Pengurus Pusat Theravada Indonesia melayangkan protes karena dianggap melecehkan keyakinan umat Buddha.

Mengamati ketegangan dalam bentuknya yang baru itu, di luar yang didasarkan pada soal isu-isu agama atau perbedaan paham, baik intern atau pun antar umat agama, masing-masing kita semestinya mengutamakan sikap kehati-hatian, pandangan jernih sekaligus terbuka, dan mengedepankan situasi damai.

Sependek penulusuran saya, situasi konfliktuil dalam hubungan agama, karya seni, dan kepentingan ‘politik’ di luar keduanya, yang seringkali memicu ke arah munculnya kontradiksi antar elemen masyarakat, sebenarnya tak saja terjadi pada karya seni patung, tetapi merambah ke dalam pelbagai bentuk ekspresi seni lainnya, untuk menyebut contoh, seperti penurunan Lukisan Tokoh dalam Lintas Sejarah Bangsa Indonesia di Terminal 3 Ultimate Bandara Soetta, yang di dalamnya memuat lukisan mirip DN Aidit; penutupan salah satu patung di laman istana Bogor saat kedatangan Raja Arab Saudi; fotografi dan karya instalasi Agus Suwage-Davy Linggar berjudul Pink Swing Park), dan beberapa pameran foto yang berbuntut pelarangan, penutupan secara paksa dan sepihak oleh sekelompok masyarakat di beberapa loksi daerah di Indonesia.

Sekaitan hal itu, saya berkesempatan mewawancarai Firman Lie, Dosen Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) beberapa waktu lalu di Galeri Tempoa Int, pasar Hongkong, Kota Jambi, dan berlanjut dalam dialog Beranda Budaya TVRI Jambi, 9-10 September 2017.

Di lapangan kesenian, terutama seni rupa, nama Firman Lie bukan hal asing. Terlebih lelaki kelahiran 1961 di Kota Jambi ini sehari-hari aktif mengajar di Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), terhitung sejak 1986 sampai sekarang.

Sebagai perupa profesional, ia telah menyelenggarakan Pameran Tunggal, baik dalam mupun luar negeri, antara lain, seperti Pameran Seni Grafis di Balai Budaya, 1991, Jakarta; Pameran Seni Grafis Kammloka di C-line Gallery, 1992, Bali; Pameran Seni Grafis Kammaloka, 1992,  California;  Pameran Gambar Hitam Putih di Pusat Kebudayaan Jepang, 1993; Jakarta, Pameran Gambar Hitam Putih di Galeri Cemeti, 1993; Yogyakarta, Pameran Cetak Saring, Cat Air dan Gambar di Galeri Lontar, 1996, Jakarta; Pameran Lukisan, Seni Grafis dan Gambar di Space 2324,1999, Kuala Lumpur, Malaysia; Pameran Lukisan dan Grafis “Complexity and Contradiction” di Ganesha Galeri, 2000, Bali; Pameran Lukisan di Galeri Lontar, 2002, Jakarta; dan Pameran Spirit Oriental di O House Gallery, Jakarta, 2005.

Selain itu, ia juga terlibat dalam Pameran Bersama, antara lain,  seperti Pameran Seni Grafis IKJ di PPIA, 1985, Jakarta;  Pameran Seni Grafis di Taman Ismail Marzuki, 1986, Jakarta;  Pameran Seni Grafis di Pusat Kebudayaan Jepang, 1987, Jakarta;  Biennale Grafis Indonesia 1, 1989, Bandung; Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-negara Non Blok,  1995, Jakarta; Pameran Seni Rupa Forum Indonesia Netherland, 1996, Rotterdam; Pameran Seni Grafis Berdua, Firman & Tisna Sanjaya, 1997, Leiden-Netherland; Pameran Setengah Abad Seni Grafis Indonesia di Bentara Budaya, Jakarta; Pameran Tradisi, Abstraksi dan Modern di Galeri Sriyanto,  2001, Jakarta; Pameran bersama Indonesia dan Malaysia di Gallery Taksu, 2003, Jakarta;  Pameran Dekoratif Indonesia di Galeri Cipta II TIM, Jakarta; Pameran Nir Rupa di Taman Budaya, Yogyakarta, dan Pameran Nir Rupa di Ubud Bali.

Nah, meski Firman Lie tak menetap di Jambi, hal menarik dalam amatan saya, yaitu konsistensinya di lapangan kesenian, baik sebagai akademisi maupun kiprahnya sebagai perupa, serta kehadirannya bersama Phalie Studio dan SAMASAMA Fashion Entrepreneurs Community di Jakarta, yang keduanya ia dirikan sejak 2003.

Tak hanya itu, sebagaimana diakuinya, beberapa waktu ke depan akan ada kegiatan bersama pegiat seni di Jambi. “Semoga saya dapat memberi kontribusi nyata dalam kaitan pengembangan seni (rupa) di Jambi saat ini dan ke depan,” imbuhnya menaruh harap.

Berikut petikan wawancara saya bersama Firman Lie beberapa waktu lalu:

Apa pandangan Anda tentang karya seni di ruang publik?

Pembahasan mengenai karya seni di ruang publik bukanlah hal baru, setidaknya para pemikir ilmu sosio-humaniora maupun pekerja seni  senantiasa membicarakan karya seni di ruang publik secara suntuk (untuk menyebut serius) sedari dulu.

Saya ingin menggaris-bawahi, manakala sebuah karya seni muncul di ruang publik, maka yang harus diperhatikan adalah apa yang ingin dicapai karya seni itu di ruang publik?

Saya ingin mengajak kita mundur jauh ke balakang, yaitu ketika Indonesia merdeka. Nah, masa itu ruang publik digunakan sebagai ekspresi memberi pernyataan bahwa kita sudah merdeka melalui karya seni, untuk menyebut misal, founding fathers kita, yaitu Bung Karno membuat sebuah lanskap pernyataan kemerdekaan, yaitu melalui pendirian Tugu Monas (Monumen Nasional). Lalu di situ terdapat jalan Tamrin Sudirman, yang keduanya dihubungkan dengan patung  Selamat Datang.

“Itu artinya, kita sudah merdeka. Kita boleh datang. Lalu di sebelah kanannya berdiri gagah Hotel Indonesia (diresmikan 5 Agustus 1962 oleh Soekarno) serta pembangunan jembatan Semanggi sebagai simbol dari gerakan mengisi kemerdekaan,” ungkapnya.

Tak hanya itu, ruang publik luar biasa semasanya, yaitu kehadiran lapangan bola yang masa itu bernama Ganefo (sekarang Gelora Bung Karno). Dengan demikian, karya seni di ruang publik dapat mengekspresikan nilai-nilai dalam masyarakat, mengubah lanskap, meningkatkan kesadaran kita, maupun mempertanyakan asumsi yang ada dalam masyarakat.

Bagaimana pandangan Anda terhadap sengketa karya seni di ruang publik?

Pada dasarnya karya seni di ruang publik untuk dinikmati dan memberikan suatu pengalaman ketika banyak orang melihat karya seni yang sama dapat memiliki pemikiran dan interpretasi yang beragam. Jika karya seni di ruang publik dewasa ini memancing terjadinya ketegangan atau bahkan berujung konflik antar kelompok, hemat saya, itu bukan ketiakadilan dalam segi hukum dan juga ansikh disebabkan kehadiran karya seni, tapi cara kita memaknai sekaligus menggunakan ruang publik itu sendiri.

“Saya ingin mengajak kita semua, janganlah terlalu khawatir dengan konflik, selagi ia diletakkan dalam rumusan dialog dan pikiran-pikiran terbuka,” imbuhnya.

Apakah persoalan dewasa ini adalah bentuk terbaru dari watak lama, yaitu relasi kesenian dan politik yang dijubahi oleh tafsir agama mengenai karya seni?

Tentu saja ada perbedaan mendasar antara dinamika kebudayaan pada zaman Orde Lama dan Orde Baru dengan Orde Reformasi sekarang ini. Terlebih bila mengamati ketegangan dalam bentuknya yang baru sekarang ini, yaitu munculnya polemik bahkan konflik seputar karya seni di ruang publik, yang didasarkan pada soal isu-isu agama.

Saya bukan ahli politik dan agama, tapi ketegangan antar kelompok berkaitan dengan karya seni di ruang publik tak bisa kita lihat murni permasalahan karya seni. Karena karya seni hanya wujud visual, ekspresi, representasi dari sebuah makna. Ketika makna itu berbenturan dengan makna yang lain, semestinya harus muuncul kebijakan baru, cara berpikir baru, dan wacana baru.

“Sebagai akademisi, mengamati situasi gesekan dewasa ini, kita harus masuk ke dalam kerja-kerja produktif. Harusnya lahir pemikiran-pemikiran baru. Namun bila yang terjadi justru sebaliknya, maka hanya konflik yang kita lihat, dan itu adalah merugi,” ungkapnya tegas.

Apa yang menjadi sifat dasar dari ruang publik?

Sebagai unicum (individu), masing-masing kita selalu berhubungan antara satu dengan yang lain (untuk menyebut saling membutuhkan). Sementara ruang publik secara umum merupakan ruang dimana setiap orang dapat melakukan perjumpaan tanpa harus terikat pada proses seleksi sosial, dan menjadi alternatif bagi ekspresi bersama warga masyarakat-juga sebagai ruang yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak-hak yang setara di dalam mengakses fasilitas publik.

Artinya, ketika hidup bersama di sebuah wilayah, maka secara sosial harus kita akui secara bersama-sama. Akan tetapi bila di ruang publik itu ada kelompok-kelompok tertentu, yang merasa merekalah penentu kebenaran, maka di situlah titik krusial persoalan sekarang ini, yang perlu kita cermati secara baik sehingga mendapatkan fomulasi solusional, baik yang bersifat jangka pendek, menengah maupun panjang.

Adakah hal lain?

Ya. Kita tidak bisa menampik bahwa persoalan mendasar di ruang publik di perkotaan sekarang, yaitu adanya ketimpangan ekonomi sekaligus kepadatan penduduk kota tak terkendali, yang terkadang itu mudah dipicu kepada hal-hal destruktif, seperti konflik horizontal yang merembet ke mana-mana.

“Tentu ruang publik yang saya maksud adalah ruang publik yang berada di wilayah perkotaan. Karena ruang publik di Desa sekarang relatif belum menampakkan persoalan (untuk menyebut ketegangan atau bahkan konflik) yang signifikan dalam kaitan topik perbincangan kita,” ujarnya.

Bagaimana peran Perguruan Tinggi Seni saat ini?

Memang sindiran terhadap perguruan tinggi seringkali muncul saat terjadi peristiwa sosial, dimana saat yang sama perguruan tinggi justru tidak hadir. Yang menarik sebetulnya adalah bagaimana perguruan tinggi menyadari, bahwa ilmu itu baru bermakna kalau memiliki jalur aplikatif. Itu artinya, pengetahuan yang sudah dirancang dan dikemas ke dalam kurikulum harus selalu dievaluasi. Apa yang terjadi di publik sekarang ini semestinya menjadi masukan bagi perbaikan, baik dari sisi kebijakan maupun iklim akademik di kampus itu sendiri.

Nah, persoalan kita saat ini, yaitu bagaimana perguruan tinggi beperan aktif memberikan kemampuan penalaran secara baik, bukan kepandaian.

Saya khawatir. Ini kritik saya terhadap pendidikan, karena saya terlibat dalam institusi pendidikan hingga sekarang ini. Selama ini kita mengukur kepandaian itu dari angka-angka. Padahal penalaran itu adalah bagaimana kemampuan kita berdialog sekaligus menemukan solusi tepat pakai.

Selain itu, yang juga krusial dalam tubuh pendidikan kita adalah gagal menempatkan ‘sejarah seni’ sebagai bagian penting dari pembangunan karakter siswa di sekolah. Apa sebab? Melulu dicekoki perihal nasionalisme dan sejarah pahlawan tidak lantas membuat anak didik berkarakter maju, baik di sisi kognisi, afeksi maupun psikomotorik. “Kesenian memberi ruang imajinasi yang berkaitan erat pada kepekaan, refleksitfitas, dan kedalaman pemaknaan terhadap hal-hal simbolik,” imbuhnya.

Bagaimana kesadaran di ruang publik itu berperan positif?

Kalo kita bicara ruang publik dalam hubungan karya seni, yang pertama perlu kita lihat adalah bagaimana kesadaran ruang publik. Lalu bagaimana karya seni itu berperan. Bukan seni sebagai penghias belaka. Saya justru khawatir ruang publik hanya diisi karya seni (untuk menyebut contoh seni patung) sebagai elemen estetik, yaitu sebatas asesori yang berfungsi memanjakan pasang-mata sesiapa saja.

Selain itu, hal mendesak bagi kita saat ini adalah semakin menyusutnya ruang-ruang publik. Faktanya, yang semula berupa ruang publik digusur menjadi ruang-ruang bisnis.

“Semakin menyempitnya ruang komunal yang tersedia untuk kepentingan publik di kota-kota saat ini terjadi dikarenakan banyak faktor, akan tetapi faktor utama yang paling menonjol adalah semakin besarnya alih fungsi ruang komunal yang semula berfungsi sebagai ruang publik bersama menjadi ruang yang cenderung bersifat komersial khususnya bagi tujuan bersifat ekonomitrik semata,” tegasnya.

Di akhir perbincangan, apa sesungguhnya yang anda perjuangkan melalui jalan kesenian?
Dalam situasi materialitas masyarakat dewasa ini, orang hanya melihat persoalan materi saja. Apa sih yang harus saya perjuangkan melalui jalan kesenian (untuk menyebut hal-hal yang tidak melulu materi)?. “Ini pertanyaan sederhana tapi sangat sulit menjawabnya,” ungkapnya berkelakar.

Saya berharap, kerja-kerja seni saya bisa menjadi bahan refleksi masyarakat sekarang. “Apakah itu secara riil berguna atau tidak sama sekali, itu sudah bukan menjadi persoalan lagi. Minimal ada ruang, ada dimensi yang senantiasa kita tawarkan terus-menerus,” imbuhnya menutup percakapan antara kami.

*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik sosok di portal kajanglako.com pada 2 Oktober 2017.

0 Komentar