Dari Surabaya Ke Tebuireng Jombang

Pesantren Tebuireng Jombang-Jawa Timur.

Oleh: Jumardi Putra*

Medio 2018, saya berkesempatan singgah di Kampung Ilmu di Jalan Semarang, Kota Surabaya. Lokasinya tidak jauh dari stasiun Pasar Turi. Meski dilabeli Kampung, ia menyerupai Shopping Center di Yogyakarta. Hanya saja dari segi jumlah toko dan koleksi buku masih kalah tanding dengan Shoping Center.

Asyiknya, di tengah kampung ilmu itu tersedia warung makan dan panggung seni. Jadi saya bisa santai sembari menikmati buku-buku yang dijajaki para pedagang.

Ketika saya berkunjung ke situ (sekira pukul 13.00 WIB) pengunjung (pembeli) belum terlihat ramai. Saya dengan leluasa memasuki dari satu toko ke toko buku lainnya hingga sore hari.

Sedangkan di sepanjang jalan Semarang ramai aktivitas galian kabel telekom, perbaikan parit dan pedagang mebel sehingga suasana kurang mendukung mengunjungi satu per satu toko buku yang berada di antara ruko mebel tadi.

Namun, sependek pengamatan saya, dari sekian toko buku yang saya kunjungi, satu tokoh yang berlokasi di depan Jalan Semarang (saya lupa memotret nama toko) menyimpan segudang buku-buku langka dengan beragam tema dan disiplin ilmu. 

Dalam banyak kesempatan berkunjung ke luar daerah, saya berharap buku tentang Jambi dan Sumatra bisa saya dapatkan. Meski di kampung ilmu saya gagal menemukan naskah buku dengan subjek Jambi, tapi tetap saja lelaku mencari buku-buku bermutu di rak-rak merupakan kenikmatan tersendiri.

Usai dari kampung ilmu, sekira pukul 16.35, saya bergegas ke terminal Bungorasih dan melanjutkan perjalanan ke Pesantren Tebuireng, Jombang. Kunjungan ini melengkapi ziarah ke Makam Sunan Ampel satu hari sebelumnya.

Mulanya saya berniat naik bus Sumber Kencono, tapi keburu waktu sehingga saya memutuskan menaiki bus Harapan Jaya kelas ekonomi. Tahu Kenapa Sumber Kencono saya rindukan? Lebih kepada kenangan lebih dua puluh tahun lalu saat saya masih nyantri di Tebuireng, terutama bila saya dan santri lainnya bepergian ke kota Surabaya untuk ziarah ke makan Sunan Ampel maupun membeli kitab kuning di kota Surabaya. 

Bus Sumber Kencono dikenal sebagai bus kencang (dan sering ugal-ugalan). Itu dulu lo ya..Mungkin sekarang sudah berubah :). Bus ini selalu penuh penumpang. Tak jarang penumpang harus rela berdiri sampai lokasi tujuan.

Alhamdulillah, kerinduan saya pada pesantren Tebuireng terpenuhi. Sekira pukul 19.45 saya sampai di Kota Jombang. Dijemput kawan seangkatan yaitu saudara Bagja, lalu saya diantar langsung ke halaman depan Pesantren. Bahagia tak kepalang karena terakhir kali saya ke Tebuireng tepat ketika peringatan tujuh hari paca meninggalnya KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tahun 2009.

Kunjungan penulis ke Tebuireng (2018)

Kesempatan itu pun saya gunakan sebaik-baiknya. Usai istirahat sejenak di rumah kawan seangkatan yaitu saudara Asep (kini menjadi Dosen di Universitas Hasyim Asy'ari/UNHASYI), saya langsung menuju ke komplek makam KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahid Hayim, KH. Yusuf Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Ishomuddin Hadziq, KH. Ishaq Latief, dan ulama lainnya.

Usai dari situ, saya menyusuri gerbang utama khusus bagi peziarah umum. Di bagian dalam tersedia toko-toko kaos dan buku-buku terbitan Tebuireng. Diakui oleh pihak pesantren, sejak meninggal Gus Dur, jumlah peziarah terus meningkat seperti tidak ada beda dengan makam Wali-Wali lainnya yang tersebar di pulau Jawa. 

Saya perhatikan sepanjang jalan dari terminal bus peziarah hingga komplek makam Tebuireng (tempat Gus Dur dikebumikan) ramai oleh pedagang dan peziarah yang datang dari berbagai kota di pulau Jawa.

Selanjutnya saya meneruskan perjalanan ke terminal bus peziarah makam Gus Dur sekeluarga yang terletak di bagian belakang Masjid Ulul Albab, lokasi pesantren Tebuireng khusus bagi santri perempuan. Lalu, saya mengitari Museum KH. Hasyim As'ari (bangunan belum selesai seratus persen), Tugu Gus Dur, Tugu Tauhid dan setelah itu saya melanjutkan perjalanan ke Keras, tepatnya ke makam ayahanda KH. Hasyim Asyari yaitu KH. Asyari beserta istrinya.

Malam sampai puncaknya. Saya dan Asep memilih istirahat di pinggir jalan Tebuireng sembari makan nasi goreng plus jeruk hangat. Kami jatuh dalam pembicaraan panjang, lebih kepada mengenang peristiwa dua puluh tahun yang lalu sesama santri perantauan.

***

Esoknya saya mengulang kembali ke pesantren Tebuireng. Tujuan utama saya ke gedung perpustakaan Tebuireng, berlanjut ke komplek asrama santri, kawah candradimuka (alm) KH. Ishaq Latief, Masjid Tebuireng, ruang Jabo (tempat santri makam bersama), rumah KH. Wahid Hasyim (yang sempat dihuni oleh KH. Musta'in Syafii). Kini, kediaman itu sudah berubah bentuk dan kabarnya akan ditempati bila KH. Solahuddin Wahid (Gus Solah) pensiun setelah memimpin pesantren Tebuireng.

Kemudian saya lanjut ke ndalem KH. Solahuddin Wahid (dulunya rumah KH. Hasyim Asy'ari). Sayang, ketika itu beliau sedang tidak di Pesantren. Di ruang itulah saya ketika masih nyantri di Tebuireng belasan tahun lalu menyaksikan Kiai-kiai Besar se-Jawa kumpul membahas kepemimpinan Gus Dur yang berada di ujung tanduk pada tahun 2001. Nama-nama besar saat itu masih saya ingat, antara lain yaitu KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), KH. Idris Marzuki (Lirboyo), dan K.H.R. Fawaid As'ad (Situbondo).

Rute berikutnya saya napak tilas ke gedung madrasah Aliyah (setingkat SMA), tempat sekolah saya. Nah, di tengah Jalan menuju sekolah, saya berjumpa guru saya asal Madura yaitu ustadz Najib. Rasa bahagia tidak bisa kami sembunyikan. Belasan tahun tak jumpa sejak kelulusan saya pada tahun 2003, kini kami dipertemukan kembali.

Saya memiliki pengalaman khusus dengan beliau ini. Saya pernah menjadi penjual pisang molen milik beliau di komplek F (dan kadang komplek tetangga), asrama tempat tinggal (komplek F) di Tebureing. Pahit-manis saya alami sepanjang menjaga kepercayaan sang ustad. Kami pun berpelukan, dan saya diajak langsung ke rumahnya, tidak jauh dari lokasi makam K.H. Asy'ari di Desa Keras.

Beliau hidup sederhana. Tidak ada perubahan drastis darinya. Kami pun berbagi cerita, tidak terkecuali pengalaman saya (dan beberapa kawan) menghabiskan liburan pesantren dengan mengaji dan bermain-main di Madura, tepatnya di rumah orang tua beliau masa itu. Kami berdoa semoga dipertemukan kembali di lain kesempatan. Amin

Lantaran tidak banyak waktu, usai dari rumah beliau saya kembali mengunjungi masjid Ulul Al-Bab, kampus Universitas Hasyim Asyari (UNHASYI), dan dipungkasi nostalgia ke kawasan Pabrik Gula Cukir (Tjoekir). Di kawasan tersebut tersimpan banyak pengalaman, seperti sebut saja tentang santri yang jatuh cinta, warung penuh kenangan milik Mbak Narti, dan pesantren asuhan alm. KH Adlan Aly dan beberapa pesantren kecil lainnya di Desa Tebuireng dan Cukir.

Pesantren Tebuireng baik sistem (manajemen) maupun dukungan sarana prasarana mengalami perubahan yang signifikan. Namun demikian, yang tidak berubah yaitu Islam tetap menjadi fondasi kuat bagi pembentukan karakter dan semangat berkemajuan dalam pengetahuan serta senantiasa menjaga kebhinekaan dalam bingkai NKRI. 

Satu lagi, geliat penulisan dan penerbitan buku-buku karya para ustad maupun santri di Tebuireng kini melangkah jauh dibanding angkatan semasa saya. Saya bahagia terhadap perkembangan itu. Semoga senantiasa lahir karya-karya bernas dari santri-santriwati pesantren Tebuireng. Amin

Saya pun pamit kepada Asep yang setia menemani kunjungan terbatas saya kali ini. Tancap gas ke stasiun Jombang. Sayang, tiket ludes terjual. Pupus niat saya menikmati perjalanan kereta api dari kota Jombang ke Surabaya. Tersebab tidak ada pilihan lain, saya memilih menggunakan bus ke Surabaya. Sama seperti sebelumnya, niat hati saya menumpang bus Sumber Kencono, tapi hanya dapat bus Eka. 

***

Beberapa hari setelah kunjungan saya di Tebuireng, saya menerima kabar dari sahabat di Diwek bahwa beberapa copian bundel Majalah Tebuireng berangka tahun lama (edisi medio 1980-1990an) siap terbang dari Jombang menuju kota Jambi, tempat saya hari-hari tinggal dan bekerja. Senangnya hati saya kembali mendapatkan majalah Tebuireng yang pernah jaya dan memiliki konten atau muatan gagasan bernas seputar keislaman dan kebangsaan pada masanya. Adapun tulisan khusus saya tentang kebangkitan majalah Tebuireng dapat di baca di link berikut ini: https://www.jumardiputra.com/2020/10/riwayat-majalah-tebuireng-1986-dan-1987.html

*Kota Jambi, 2018.

0 Komentar