![]() |
| sumber: disney indonesia |
Oleh: Jumardi Putra*
Manusia tak bisa bertahan hidup kalau tidak mampu memelihara harmoni dan jejaring kehidupan, termasuk dengan lingkungan alamnya” (Fritjof Capra, The Web of Life, 1996).
Pasca Agek Laen: Menyala Pantiku!, film layar lebar Avatar: Fire and Ash masuk dalam daftar tunggu yang perlu saya tonton menutup tahun ini. Benar saja, belum genap seminggu karya James Cameron ini tayang di bioskop tanah air, saya sekeluarga langsung menontonnya di salah satu bioskop di Jambi, kota tempat kami menetap sekarang.
Sebagaimana film pertama (2009) dan kedua (2022), seri ketiga ini didesain dengan teknologi yang kian canggih hingga memanjakan mata. Meski saya bukan ahli sinematografi, tontonan visual yang memukau ini menyiratkan kritik tajam terhadap cara manusia memperlakukan alam. Melalui imajinasi dunia Pandora, Cameron memotret persoalan mendasar penduduk bumi saat ini: keberlangsungan alam di tengah berbagai paradoks global.
Hal baru yang menarik dalam film ini adalah kehadiran klan Na'vi bernama Ash People (Suku Abu). Dipimpin oleh Varang (Oona Chaplin) yang keras, klan Mangkwan ini tampil antagonis. Berbeda dengan klan Omaticaya (hutan) atau Metkayina (laut) yang cenderung damai, Suku Abu hidup di wilayah vulkanik ekstrem dan memiliki hubungan agresif dengan elemen api.
Karakter mereka digambarkan penuh kemarahan, kebencian, dan trauma. Ini menunjukkan sisi gelap bangsa Na'vi yang belum pernah terlihat sebelumnya—bahwa tidak semua Na'vi itu "baik". Konflik kini tidak lagi hanya antara manusia (RDA) dan Na'vi, tetapi juga muncul dari internal bangsa Na'vi sendiri.
Sejak film pertama, saya selalu tertarik dengan konsep Eywa, sebuah kesadaran kolektif yang menghubungkan semua makhluk hidup di Pandora. Melalui ketegangan merespons misi ekonomi manusia (RDA) yang dibantu klan Mangkwan, film ini menegaskan bahwa alam bukanlah benda mati, melainkan sistem jaringan yang saling bergantung.
Adegan perlawanan terhadap "Sky People" (manusia) yang datang hanya untuk mengeruk sumber daya—mulai dari Unobtanium hingga Amrita—menjadi benang merah utama dalam film ini. Kecuali Suku Abu, seluruh klan Na'vi bersatu menjaga alam tempat mereka tumbuh. Gambaran ini terasa sangat relevan (relate) dengan kondisi dunia saat ini yang menghadapi krisis iklim, kelangkaan air bersih, pertambangan liar, hingga anomali cuaca yang memicu krisis kemanusiaan.
| Penulis dan keluarga saat nonton fil Avatar |
Melanjutkan tema The Way of Water, teknologi manusia kembali digambarkan sebagai mesin penghancur yang membombardir laut dan memburu paus (Tulkun). Di titik ini, Cameron berhasil menyajikan pertempuran emosional yang membuat saya kian mengerti filosofi di balik frasa "I See You" (Aku Melihatmu).
Frasa tersebut bukan sekadar melihat secara fisik, melainkan melihat dengan hati sehingga memunculkan empati. Jika kita benar-benar "melihat" keindahan alam dari hati terdalam, kita tidak akan sanggup merusaknya. Kepedulian lingkungan sejatinya dimulai dari empati terhadap sesama makhluk hidup.
Konsep kerusakan alam di Pandora akibat eksploitasi manusia yang memicu respons ekstrem dari ekosistem (Eywa), bisa juga dipahami lewat filosofi Tri Hita Karana di Bali. Ajaran ini menekankan harmoni antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), sesama manusia (Pawongan), dan alam (Palemahan). Jika salah satu pilar dirusak, keseimbangan hidup akan runtuh.
Selain itu, imajinasi tentang area yang disucikan di Pandora mengingatkan saya pada khazanah budaya Nusantara yang masih bisa djiumpai meski cakupan wilayahnya kian terbatas, seperti Hutan Larangan (di masyarakat Sumatera atau Sunda Wiwitan) dan Lubuk Larangan (di Sumatera, termasuk Jambi). Hukum adat ini melarang pengambilan hasil alam pada waktu tertentu untuk memberi ruang bagi alam beregenerasi. Sebuah konsep konservasi tradisional yang sangat maju, kendati pemahaman demikian itu dalam kerangka “modernitas” kerap disebut sebagai bentuk dari “keterbelakangan”.
Selama hampir 3,5 jam, saya tidak merasa bosan. Gagasan dalam Avatar: Fire and Ash memiliki relevansi kuat dengan permasalahan sekligus tantangan setelah bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, kekeringan) kerap melanda negeri ini.
Film ini secara halus mengajak kita bergeser dari paradigma antroposentrisme (manusia sebagai penguasa) menuju ekosentrisme (manusia sebagai bagian dari alam). Dengan kata lain, kelangsungan hidup kita bergantung pada kemampuan untuk beradaptasi dengan alam, bukan menaklukkannya.
Namun, pertanyaan besarnya tetap sama: sejauh mana karya seni dan produksi pengetahuan kritis mampu mengubah kebijakan negara-negara di dunia untuk menghentikan eksploitasi berlebihan pada alam? Di tengah ketakjuban visual film ini, saya tetap tidak bisa menyangkal kekhawatiran akan teori Tragedy of the Commons dari Garrett Hardin (1968)—tentang bagaimana kerakusan manusia merebut sumber daya bersama pada akhirnya hanya akan berujung pada penderitaan kolektif. Fakta pahitnya, alam kita memang semakin ringkih.
*Kota Jambi, 27 Desember 2025.
*Tulisan saya lainnya dapat dibaca di link berikut ini:
- Benca Alam, Investasi dan Malapeta
- Krisis Ekologi, #Reset Indonesia
- Tregedi Situ Gintung
- Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai
- Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Autokritik
- Deforestasi dan Bencana di Jambi
- Kabut Asap di Rumah Tuhan
- Belajar dari Batu Kerbau
- Menemukan Akar Krisis Ekologi Modern
- Buya Hamka: Potret sang Moderat, Romantis dan Berpikiran Terbuka
- Di Balik Kisah 1 Kakak 7 Ponakan
- Memaklumi Kekonyolan Kekasihku Adalah Jalan Ninjaku
- Kalau Nanti Badai Datang, Angin Buat Kau Goyah
- Intan Perawan Kubu: Film Ternama Besutan Sutradara Kelahiran Jambi
- Ahmad Nungcil Alcaff: Aktor Film Ternama Kelahiran Jambi
- Sepulang Nonton Agak Laen, Menyala Pantiku!


0 Komentar