Membaca “Sacred Nature” Karen Amstrong: Menemukan Akar Krisis Ekologi Modern

ilustrasi bencana. sumber: mahasiswaindonesia.id



Oleh: Jumardi Putra*

Bencana hidrometeorologi dan ekosida yang melanda beberapa daerah di Pulau Sumatera (Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat) pada penghujung November tahun ini meninggalkan jejak kehancuran luar biasa. Selain ribuan rumah dan harta benda tersapu air, pelbagai gedung fasilitas publik ambruk, jembatan dan ruas jalan penghubung antar daerah putus serta ribuan orang dinyatakan meninggal dunia-hilang tertimbun longsoran atau hanyut oleh banjir bandang. Belum lagi ketersediaan logistik, listrik, dan pasokan BBM pasca bencana belum seratus persen pulih. Kondisi ini jelas mendatangkan duka sekaligus trauma mendalam bagi mereka di daerah bencana.

Bersamaan kran donasi terus dibuka oleh kalangan sipil untuk masyarakat terdampak bencana, juga muncul pelbagai kritik warga, apatahlagi di kanal media sosial, menyoal keterlambatan negara menangani dampak bencana di tiga wilayah di pulau Sumatera itu. Memang, Presiden, Wakil Presiden, BPBN, serta para Menteri telah turun mengunjungi lokasi-lokasi terdampak bencana, namun fakta di lapangan mengabarkan masih banyak wilayah dari ketiga daerah itu terisolir, sehingga belum mendapatkan akses terhadap pelbagai bantuan secara memadai.

Saya tidak akan mengulas itu lagi, kecuali tiada henti berharap agar negara benar-benar hadir secara cepat dan terukur memenuhi kebutuhan mendasar masyarakat terdampak bencana hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana agar masyarakat bisa kembali melanjutkan kehidupan. Perihal banjir dukungan dan bantuan warga se tanah air untuk masyarakat terdampak bencana di tiga daerah itu tidak perlu diragukan lagi, karena memang faktanya penduduk negeri ini sangat murah tangan untuk saling membantu.

Sedari bersama, bencana di pulau Sumatera makin sering terjadi. Cuaca ekstrim tidak dapat dikatakan sebagai faktor tunggal penyebab di balik bencana di penghujung November tahun ini, tetapi mari jujur mengakui bahwa memang ada permasalahan dengan tata kelola alam, lingkungan dan hutan di Pulau Sumatera selama ini. Pelbagai laporan dari lembaga swadaya masyarakat yang konsern terhadap isu-isu lingkungan seperti GreenPeace dan WALHI serta laporan jurnalisme data dari harian Kompas bertajuk Hutan Sumatera Lenyap (edisi Jumat, 12/12/25) secara gamblang menyebutkan bahwa selama 1990-2024, hilangnya hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat rata-rata 36.305 hektar per tahun. Jika dikonversikan per hari, ditemukan angka sekitar 99,46 hektar hilang per hari. Angka ini setara dengan hilangnya 139 lapangan sepak bola per hari. Adapun ukuran lapangan sepak bola seluas 7.140 meter persegi menurut standar FIFA. Secara agregat, kehilangan hutan dalam 34 tahun seluas 1,2 juta hektar setara dengan luas dua kali Pulau Bali.

Eksploitasi terhadap sumber daya alam di Sumatera secara massif dengan skala besar selama ini, dengan alasan apapun—termasuk untuk mendongkrak sumber penerimaan negeri bukan pajak—berupa penyusutan hutan menjadi lahan sawit, kawasan tambang, dan kawasan perkotaan dan pelbagai bentul alih fungsi lahan lainnya seperti pertanian, telah memicu bencana ekologis dengan daya rusak luar biasa.

Segera muncul pertanyaan, bagaimana sejatinya hubungan manusia dengan alam sekarang ini? Secara struktural, permasalahan bencana sekarang dapat dilihat melalui rancang bangun dan implementasi kebijakan negara di pelbagai sektor, level dan tingkatan terhadap pengelolaan lingkungan dan kawasan hutan. Problem demikian tentu kait mengkait antara kebijakan rezim kekuasaan sekarang dengan rezim presiden-presiden terdahulu, tidak terkecuali hubungan dengan politik global. Faktanya, data kerusakan yang ditimbulkan oleh eksploitasi berlebihan atas SDA di Sumatera dan daerah lain di Indonesia bukan sesuatu yang sulit diakses oleh masyarakat sekarang. 

Karya Karen Amstrong

Catatan saya kali ini tidak mengulik lebih jauh hal itu, melainkan membaca kembali sebuah buku genre non-fiksi, yang menggabungkan agama, spiritualitas dan lingkungan yaitu berjudul bagaimana memulihkan kembali keakraban dengan alam. Buku terjemahan dari Sacred Nature: Restoring Our Ancient Bond With The Natural World ini adalah karya Karen Armstrong yang diterbitkan Mizan Pustaka tahun 2023.

Buku dengan ketebalan lebih kurang 180 halaman ini merupakan karya sejarawan agama ternama Karen Armstrong, yang berfokus pada hubungan antara spiritualitas, agama, dan alam. Muatan gagasan dari buku ini berisikan ajakan-kalau bukan tantangan-untuk menemukan kembali kesakralan alam di zaman modern, yang dicirikan dengan sains dan teknologi, di mana manusia cenderung terpisah dari alam sekitarnya.

Karen Amstrong berargumen bahwa sejak awal peradaban, berbagai agama dan keyakinan kuno sejatinya memandang alam sebagai sesuatu yang sakral, ilahiah, dan menginspirasi kekaguman serta perenungan yang mendalam. Tuhan, atau Yang Ilahi, sering kali hadir dalam manifestasi alam. Dengan pengetahuan luasnya tentang berbagai tradisi keagamaan dunia (mulai dari Timur Tengah, Asia, hingga budaya pribumi), Armstrong menunjukkan posisi sentral alam dalam spiritualitas manusia selama berabad-abad. Amstrong dengan yakin menyajikan pandangan multikultural tentang bagaimana iman dan alam membentuk harmoni. 

Disebut multikultural lantaran Amstrong tidak memusatkan pada satu nilai yang bersumber dari agama tertentu, melain menunjukkan bahwa semua tradisi keagamaan besar dunia (termasuk agama-agama Abrahamik, Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, dan keyakinan masyarakat adat) pada awalnya menempatkan alam pada posisi yang sentral dan kudus. Karen Amstrong pun tidak lupa menyertakan contoh-contoh dari berbagai peradaban yang memandang bumi, langit, air, dan pohon sebagai manifestasi Yang Ilahi, yang mengilhami kekaguman, ketakutan, dan penghormatan dalam bukunya ini. Isi dari "Prasasti Barat" (Ximing) oleh Zhang Zai yang diletakkan pada halaman awal di buku ini oleh Karen Amstrong menegaskan hubungan harmoni dengan alam, sebagai berikut:

 

Langit adalah ayahku

Bumi adalah ibuku

Dan bahkan makhluk kecil seperti diriku

Menemukan tempat hangat di antara keduanya.

 

Maka, apa-apa yang mengisi semesta

Kuanggap tubuhku

Dan apa-apa yang mengarahkan semesta

Kuanggap alamku.

 

Semua manusia adalah saudaraku, dan

Semua yang ada [di alam] sahabat-sahabatku.

 

Selanjutnya, yang tidak kalah penting yaitu Karen Amstrong menyoroti relasi manusia dengan alam telah mengalami abrasi di era modern, bahkan kalau pun manusia mengagumi keindahan alam, hal itu tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang kudus. Inilah yang oleh Karen Amstrong sebut sebagai akar krisis ekologi modern.

Saya sertakan di sini penggalaman narasi kritis-reflektif Karen Amstrong, “Krisis ini muncul akibat cara hidup modern kita yang meskipun dianggap sebagai prestasi hebat, mengandung banyak keburukan yang berakibat fatal. Kita mulai menyadari bahwa cara hidup kita sekarang, dengan segala kelebihannya, tidak hanya menghambat perkembangan manusia, tetapi juga mengancam kelang-sungan hidup spesies kita. Bukan hanya harus mengubah gaya hidup, kita juga harus mengubah seluruh sistem kepercayaan kita. Kita telah merusak alam, memperlakukannya sebagai sumber daya semata, karena selama lebih dari 500 tahun terakhir kita telah mengembangkan pandangan-dunia yang sangat berbeda dari para leluhur pendahulu kita”.

Bertolak dari hal itu, melalui pemahaman kembali "mitos" (dalam konteks spiritualitas) yang melengkapi "logos" (ilmu pengetahuan/fakta), Armstrong menawarkan cara praktis bagi pembaca modern untuk menghidupkan kembali hubungan spiritual dengan alam dan menjalin keakraban dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri (baca lebih lanjut hal 25-32 tentang mitos dan logos).

Sebenarnya, secara implisit Karen Amstrong dalam buku ini menantang pandangan bahwa krisis iklim hanya dapat diselesaikan sepenuhnya dengan sains dan teknologi. Faktanya, bagi Armstrong bahwa akar masalahnya bersifat spiritual. Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa langkah pertama untuk merawat planet adalah dengan memulihkan kembali hubungan spiritual dan etika dengan alam (Baca lebih lanjut di bagian alam yang sakral hal 33-51 dan kekudusan alam hal 54-65).

Bahkan, Karen Amstrong menyebut antropolog Amerika, David Abram, setelah menghabiskan bertahun-tahun hidup secara akrab dengan masyarakat adat di Indonesia dan Nepal, lalu mempelajari kebudayaan mereka, Abram mulai mema-hami bahwa mereka memiliki persepsi yang jauh lebih maju tentang alam dibandingkan orang Barat modern. Lebih jauh lagi, dengan menceburkan diri sepenuhnya ke dalam budaya suku-suku ini, dia mendapati bahwa dirinya pun mulai mengembangkan wawasan serupa (hal 15). Hal ini menegaskan kontribusi nilai-nilai kehidupan masyarakat adat yang acapkali disebut terbelakang oleh paradigma sains modern, nyatanya justru lebih maju dalam urusan menciptakan harmoni dengan alam.

Sacred Nature buah pikiran Amstrong ini adalah bacaan tepat bagi siapa saja, terutama mereka yang menaruh minat pada studi agama, spiritualitas, dan lingkungan. Kendati membahas subjek yang berat, tapi Karen Amstrong berhasil menuliskannya dengan ringkas, lugas, dan menggugah kesadaran, tanpa kehilangan ruang bagi pembaca untuk memahami esensi spiritual dalam diri kita tentang alam yang telah lama diabaikan.

Akhirnya, merenungi bait puisi dari penyair Inggris, William Wordsworth (1770-1850), berikut ini akan mengantarkan kita semua tentang dunia penuh cahaya yang dulu dinikmati William ketika masih bocil, namun telah lenyap ketika dia dewasa, dan itu pula situasi jamak yang kita jumpai sekarang:

Dulu padang rumput, semak dan sungai,

Tanah, dan semua yang biasa terlihat,

Tampak bagiku

Bagai berhiaskan cahaya langit,

Kemegahan dan kesegaran sebuah mimpi.

Kini tidak lagi seperti dulu.

Ke arah mana pun kumenghadap.

Entah siang entah malam

Apa yang pernah kulihat kini tak lagi tampak.

 

 

*Kota Jambi, 14 Desember 2025.

*Tulisan saya lainnya di link berikut ini:


1) Benca Alam, Investasi dan Malapeta

2) Krisis Ekologi, #Reset Indonesia

3) Tregedi Situ Gintung

4Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai

5) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Autokritik

6) Deforestasi dan Bencana di Jambi

7) Kabut Asap di Rumah Tuhan

8) Belajar dari Batu Kerbau

0 Komentar