Jejak Bung Karno di The Phoenix Hotel Yogyakarta

hotel The Phoenix Jogja.


Oleh: Jumardi Putra*

Yogyakarta memang telah banyak berubah, namun sejarah Kota Gudeg ini tetap terasa istimewa. Itulah mengapa banyak orang yang pernah tinggal lama di sini sering bergumam bahwa ada "sesuatu" yang magis di dalam relung Jogja. Perasaan itulah yang kembali menyapa saya malam ini saat mengunjungi The Phoenix Hotel Yogyakarta—sebuah hotel ternama yang memadukan arsitektur Eropa klasik dengan sentuhan Jawa yang hangat.

Terletak strategis di Jalan Jenderal Sudirman, hotel ini berada di jantung sejarah. Lokasinya hanya sepelemparan batu dari Tugu Jogja—landmark paling ikonik di Yogyakarta yang bisa dicapai hanya dengan lima menit berjalan kaki. Selain itu, kawasan Malioboro pun cukup dekat untuk dijangkau dengan becak atau transportasi daring.

Bagi saya pribadi, kunjungan malam ini serasa melintasi lorong waktu menuju kemegahan era kolonial (Rabu, 17/12/25). Kendati pernah bermukim di Yogyakarta dalam kurun waktu 2002 hingga 2009, baru malam inilah saya benar-benar menjejakkan kaki pertama kali di dalam bangunan bergaya Art Deco tersebut.

Begitu memasuki lobi, saya langsung disambut oleh fasad bangunan yang masih mempertahankan struktur asli dari tahun 1918. Dahulu, bangunan ini merupakan kediaman pribadi milik pengusaha Tionghoa, Kwik Djoen Eng. Ciri khas kolonialnya begitu kuat yakni pilar-pilar tinggi yang megah, lantai marmer, ubin kunci bermotif geometris klasik, hingga berbagai barang antik seperti furnitur kayu jati dan telepon kuno yang menghiasi setiap sudut. Ruang tengah setelah lobi kini difungsikan sebagai ruang tamu sekaligus "museum mini" yang memajang artefak bersejarah. Bahkan di sepanjang koridor, foto-foto arsip menceritakan transformasi bangunan ini dari masa ke masa.

Bangunan The Phoenix tahun 1918. sumber foto: hotel

Di balik kemolekan arsitekturnya, The Phoenix Hotel menyimpan sejarah yang sangat erat dengan Presiden Soekarno. Pada masa krusial perpindahan ibu kota RI dari Jakarta ke Yogyakarta (1946–1949), hotel ini—yang kala itu bernama Hotel Merdeka—dialihfungsikan untuk mendukung jalannya pemerintahan.

Beruntung, berkat bantuan salah satu pegawai hotel, Mas Bagus, saya berkesempatan melihat langsung ruang kerja sang Proklamator di lantai dua sisi kiri bangunan utama. Ruangan bersejarah ini memiliki langit-langit tinggi, lantai kayu asli, meja kerja, dan jendela besar khas arsitektur kolonial yang memastikan sirkulasi udara tetap maksimal. Di dindingnya, berderet foto-foto Bung Karno bersama keluarga serta dokumentasi aktivitas penting beliau selama di Yogyakarta.

Menariknya lagi, keberadaan sebuah pintu rahasia berupa panel kayu di dinding ruangan tersebut. Konon, pintu ini digunakan sebagai jalur evakuasi demi keamanan presiden di masa perang. Selama sekitar 45 menit di ruangan ini, ingatan saya berkelana, membayangkan suasana puluhan tahun silam saat Bung Karno bekerja di sini, merajut masa depan Republik di tengah ancaman kolonial yang masih mengintai.

Penulis di ruang Kerja Bung Karno di Phoenix Hotel 1946

Napak tilas bersejarah ini berlanjut ke kamar nomor 201, yang kini dikenal sebagai The Merdeka Suite. Di kamar inilah Bung Karno dahulu beristirahat. Interiornya tetap dipertahankan dengan gaya vintage yang elegan. Dari balkonnya, Bung Karno dulu kerap memandang langsung ke arah jalan raya, menyaksikan denyut nadi kehidupan rakyat Yogyakarta.

Tidak hanya soal ruang dan bangunan, hotel ini juga mengabadikan kegemaran kuliner Sang Proklamator melalui paket "Soekarno Signature". Tamu dapat mencicipi hidangan favorit beliau, seperti Sayur Lodeh Rebung dan Tempe yang sederhana namun penuh makna, serta minuman "Sang Saka"—minuman berwarna merah-putih yang terinspirasi dari semangat kemerdekaan.

Jejak langkah Soekarno di The Phoenix Hotel bukan sekadar cerita pelipur lara, melainkan alasan kuat mengapa bangunan ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Malam ini, di bawah lampu temaram hotel, saya sadar bahwa selalu ada cerita menarik dari kota ini bagi mereka yang mau merawat ingatan.

*Kamis, 17 Desember 2025. Keterangan dalam tulisan ini bersumber dari Mas Bagus, salah satu pegawai Hotel The Phoenix Yogyakarta serta buku bangunan-bangunan bersejarah di Yogayakarta yang bisa diakses oleh pengunjung di ruang lobi hotel.


*Tulisan-tulisan saya lainnya di link berikut ini:

1) 
Sepulang dari Pusat Studi Kearsipan Pesiden RI Soekarno

2) Belajar dari Bung Karno

3) Karena Bung Hatta

4) Dari Gedung Lanraad ke Penjara Benceuy

5) Aku Kembali ke Bandung, Kepada Cintaku yang Sesungguhnya

6) Sepulang dari Pusara Inggit Garnasih

7) Bung Karno di Mata Mahbub Djunaidi

8) Sejarah dalam Tangkapan Lensa Guntur Soekarno

9) Bung Karno dan Sumbangan Rakyat Jambi untuk Kemerdekaan RI

10) Sutan Sjahrir: Hidup yang Tak Dipertaruhkan, Tak Layang Dimenangkan

0 Komentar