![]() |
| Pendopo Pangeran Diponegoro di Tegalrejo |
Oleh: Jumardi Putra*
Langit
Yogyakarta tampak cerah pagi itu. Jarum jam menunjukkan pukul 10.15 WIB ketika
saya bergegas meninggalkan hotel Cavinton, tidak jauh dari nol kilometer Jogja, menuju Jalan HOS Cokroaminoto, Tegalrejo. Tujuan saya kali ini adalah kediaman masa
kecil Bendara Pangeran Harya Diponegoro. Meski pernah menetap selama tujuh
tahun di kota ini dua dekade silam, ini adalah kali pertama saya mengunjungi
titik awal meletusnya Perang Jawa (1825–1830) tersebut.
Sepanjang
perjalanan, kendaraan belum terlalu padat. Walakin toko-toko kue khas Jogja mulai
sibuk melayani pembeli. Galibnya masa liburan sekolah, kota gudeg ini selalu menjadi destinasi alternatif bagi wisatawan domestik. Sekitar 35 menit berkendara, saya tiba di lokasi yang
kini dikenal sebagai Monumen Pangeran
Diponegoro Sasana Wiratama.
Setibanya
di sana, saya memarkir motor di halaman depan Masjid Pendopo Pangeran Diponegoro. Suasana di
kompleks ini begitu kontras; jika di luar matahari terasa menyengat kulit, di
dalam kompleks pendopo udara terasa teduh berkat rimbunnya pohon-pohon besar
yang menjulang tinggi.
Di
gerbang utama, saya disambut patung Jenderal Besar Sudirman dan Urip Sumohardjo
dengan ukuran setinggi dada orang dewasa. Sebuah prasasti marmer putih di belakang
Urip menjelaskan bahwa pendopo ini adalah bangunan hasil renovasi, karena
bangunan aslinya telah dibakar habis oleh pasukan Belanda pada masa perang.
Pangeran Diponegoro, yang lahir dengan nama Raden Mas Ontowiryo pada 11 November 1785, adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwono III. Meski berstatus pangeran, ia enggan tinggal di kemewahan keraton. Sejak usia tujuh tahun, ia memilih tinggal di Tegalrejo bersama nenek buyutnya, Ratu Ageng (permaisuri Sultan HB I). Di sinilah ia tumbuh menjadi sosok yang religius, gemar bertani, dan hidup menyatu dengan rakyat.
![]() |
| Lukisan Penyerbuan Tegalrejo karya Ratmojo tahun 1973 |
Langkah saya kemudian berlanjut ke gedung museum, di mana saya bertemu dengan Pak Serda Kasbolah. Kami terlibat percakapan panjang mengenai 413 koleksi artefak yang tersimpan di sana—mulai dari panah, pedang, hingga tombak asli milik laskar Diponegoro.
"Semua ini asli, milik para laskar Pangeran," ujar Pak Kasbolah sambil menunjukkan koleksi yang ada.
| Penulis bersama pak Kabolah, penjaga museum Pangeran Diponegoro |
Menariknya, di meja tempat kami berbincang, tergeletak tiga jilid buku biografi monumental Kuasa Ramalan (The Power of Prophecy) karya Peter Carey. Saya tersenyum; buku yang ditulis selama 30 tahun itu juga menjadi salah satu koleksi berharga di perpustakaan pribadi saya di rumah bersama terjemahan Babad Dipanegara (baca: Diponegoro) yang merupakan tulisan sang Pangeran saat diasingkan di Manado, Sulawesi Utara. Naskah aslinya berbentuk tembang, puisi berbahasa Jawa dan telah dikukuhkan oleh UNESCO pada tahun 2013 sebagai Memory of the World (Mow). Seolah gayung bersambut, kunjungan ini juga melengkapi ingatan saya setelah tiga bulan lalu mengunjungi pameran "NYALA: 200 Tahun Perang Jawa" di Galeri Nasional Jakarta. (Lebih lanjut baca tulisan saya di link berikut ini: https://www.jumardiputra.com/2025/10/nyala-200-tahun-perang-diponegoro.html).
Tegalrejo
bukan sekadar tanah lapang dengan bangunan tua. Bagi saya, tempat ini adalah
simbol perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial. Pangeran Diponegoro yang bergelar Kanjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra bukan
hanya pejuang yang ditakuti Belanda hingga membuat mereka hampir bangkrut,
tetapi juga sosok intelektual yang mahir dalam hukum Islam dan Jawa. Kisah
beliau berakhir dengan tipu muslihat Belanda pada 28 Maret 1830 di Magelang,
yang berujung pada pengasingannya ke Manado lalu Makassar hingga wafat pada
1855. Namun, semangat yang lahir dari "Tembok Jebol" ini tetap terasa
nyata. Kompleks bersejarah ini, yang diprakarsai pembangunannya oleh Mayjen TNI
Surono pada 1968 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1969, kini berdiri
tegak sebagai pengingat bagi generasi mendatang tentang sebuah harga diri dan
perjuangan.
Heroisme sang Pangeran Diponegoro setidaknya tergambarkan dari lukisan Penyerbuan Tegalrejo karya Ratmojo tahun 1973 yang masih tersimpan saat ini di Museum. Lukisan tersebut tentu saja menghadirkan sudut pandang alternatif selain lukisan asli karya Raden Saleh pada 1857 atau berselang 27 tahun setelah peristiwa penangkapan itu--momen penangkapan Pangeran Diponegoro yang sering kali disalahartikan sebagai kekalahan, seperti yang dilukiskan oleh pelukis asal Belanda benama Nicolas Pieneman antara tahun 1830-1835. Melalui sorot mata menantang dan detail batik Jawa, Raden Saleh melalui lukisannya secara cerdas menyindir kolonialisme Belanda kala itu.
*Yogyakarta, 19-20 Desember 2025. Menyusul catatan perjalanan saya berikutnya ke Mesjid Gedhe Keraton Yogyakarta, Shoping Center (pusat perbukuan), Berdikaribook store, rumah pribadi Jenderal Besar Panglima Soedirman dan Ki Hadjar Dewantara, yang keduanya kini telah menjadi museum.
*Tulisan-tulisan berikut ini merupakan catatan perjalanan saya di Jogja:
(2) Ada Sesuatu di (dalam) Jogja
(3) Setengah Abad Arena: Perjalanan yang Tidak Mudah
(4) Selalu Ada yang Tersisa dari Jogja: Dari Sorowajan ke Mantijeron
(5) Asa di Jalan Kaliurang Km 12 Jogja
(6) Jogja yang Dirindukan, Jambi Tempat Berpulang
(7) Jogja Terbuat dari Rindu, Pulang dan Angkringan



0 Komentar