Rumah Pemikir, Inkubator Pemimpin: Melampaui Kegenitan Intelektual

 

Karya Mural di JISIP Universitas Jambi



Oleh: Jumardi Putra*

Dua hari lalu, di beranda Instagram saya, melintas unggahan cerita (story) Bung Rio Yusri Maulana mengenai mural ciamik karya Jefri (Jefvaint) di dinding bangunan Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Jambi. Mural tersebut menampilkan belasan tokoh pemikir dan politisi yaitu delapan Presiden Republik Indonesia, ideolog Tan Malaka, aktivis buruh Wiji Thukul dan Marsinah, aktivis HAM Munir Said Thalib, Karl Marx, Ibnu Khaldun (atau Ibnu Rusyd?), filsuf Socrates dan Aristoteles, serta dua tokoh lainnya di sudut kanan bawah yang belum saya kenali secara pasti—apakah itu fisikawan Marie Curie dan komposer musik klasik Wolfgang Amadeus Mozart?

Segera muncul pertanyaan: mengapa di mural itu tidak ada Tjokroaminoto, Bung Hatta, RA Kartini, SK Trimurti, Rasuna Said, Ki Hadjar Dewantara, Buya Hamka, Soe Hok Gie, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, dan seterusnya? Begitu pula tokoh seperti Al-Farabi, Muhammad Abduh, Ali Shariati, Ibnu Battutah, Albert Einstein, Antonio Gramsci, Paulo Freire, Ivan Illich, Thomas Hobbes, John Locke, hingga Jean-Jacques Rousseau?

Memang mustahil memasukkan seluruh tokoh penanda sejarah panjang republik ini ke dalam dinding bangunan JISIP yang terbatas. Namun, Bung Rio belum menjelaskan latar belakang pemilihan tokoh-tokoh tersebut secara memadai, selain takarir (caption) yang berbunyi: “Mewarnai sudut baru di fisipol.unja, mural yang merepresentasikan identitas JISIP sebagai rumah pemikir dan inkubator para pemimpin. Semoga jadi tempat berselancar baru kaum muda di Universitas Jambi.”

Saya mengapresiasi upaya kawan-kawan kampus mendekatkan karya seni mural dengan visi-misi jurusan yang mendalami ilmu politik dan pemerintahan—sejalan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi Universitas Jambi. Semoga langkah serupa menjalar ke jurusan lain di lingkup universitas.

Dari kejauhan, saya cukup intens memantau pergerakan dosen muda di JISIP Universitas Jambi. Hampir seluruh pengajarnya berusia muda dan berasal dari berbagai kampus dalam maupun luar negeri. Hal ini berarti mereka memiliki bekal jaringan dan pengalaman akademik yang memadai untuk melakukan lompatan kualitas mutu pembelajaran dan penelitian. Mereka diharapkan konsisten membangun tradisi kecendekiaan baik di dalam maupun di luar kelas melalui publikasi ilmiah maupun populer, sembari merawat jejaring pengetahuan lintas kampus.

Upaya tersebut tampaknya terus digairahkan. Namun, media sosial galibnya hanya memuat hal-hal di permukaan. Termasuk usaha membuka tiga prodi baru—sosiologi, hubungan internasional, dan komunikasi digital—yang merupakan tantangan besar. Jika tidak disiapkan matang, hal ini bisa menjadi beban yang puncaknya hanya melahirkan sarjana yang gagap terhadap perubahan zaman yang berlari kencang (run-away), di tengah tantangan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang menyempitkan lapangan kerja konvensional.

JISIP saat ini diuntungkan oleh kehadiran pengajar muda yang (mungkin) tidak terkendala jarak psikologis maupun hierarki kepangkatan yang kaku. Di banyak tempat, kendala struktural dan kultural sering kali menjadi batu sandungan bagi kemajuan jurusan atau program studi. JISIP tidak hanya diharapkan mengejar status mutu unggulan, tetapi yang lebih penting adalah membangun tradisi kecendekiaan yang berdampak bagi masyarakat luas agar tidak menjadi "kampus masa bodoh". 


Kesadaran demikian itu jauh lebih krusial ketimbang terjebak pada ambisi individual mengejar gelar Guru Besar dan atau berburu pelbagai jabatan struktural kampus lainnya tanpa meninggalkan jejak berarti dalam sejarah gerakan pengetahuan.


Faktanya, kritik kini deras dialamatkan kepada intelektual kampus karena mereka dianggap abai terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan buruknya kebijakan pemerintah. Situasi kian rumit saat banyak intelektual berafiliasi dengan partai politik, yang mengakibatkan kemerosotan kepercayaan (distrust) masyarakat terhadap institusi pendidikan tinggi. Sebagian kaum intelektual saat ini tengah asyik berumah “di atas awan”, meminjam istilah mendiang Romo Mangunwijaya.

Jika diperhatikan, tokoh dalam mural tersebut melampaui sekat negara, agama, dan ideologi, meski aspek gender belum terwakili secara proporsional. Kampus harus menjadi ruang terbuka bagi dialektika tanpa terjebak pada satu manifesto yang menggiring orang pada sikap merasa paling benar (fasis). Namun, di ranah praksis, saya belum melihat konsistensi sikap kritis dari JISIP dalam merespons hasrat kekuasaan negara yang berupaya membatasi kebebasan akademik seperti kejadian terbaru yakni pelarangan oleh aparat pemerintah kecamatan dan kepolisian terhadap aktivitas bedah buku berjudul #Reset Indonesia: Gagasan Baru tentang Indonesia di Kota Madiun, Jawa Timur. Begitu pula analisa kritis terhadap permasalahan seperti tata kelola batu bara, deforestasi, ekosida akibat alih fungsi lahan sawit, hingga reformasi birokrasi dan tata kelola keuangan dan aset negara atau daerah.

Lebih jauh lagi, bagaimana mural tersebut menjawab relevansi tokoh pemikir pascareformasi dengan generasi Z? Menarik untuk mendedah mengapa intelektual yang dulu meruntuhkan otoritarianisme rezim Orde Baru pada tahun 1998 kini justru masuk ke dalam sistem kekuasaan. Hal ini penting agar mural tersebut tidak sekadar menjadi ornamen "nyeni" atau bentuk kegenitan intelektual semata. Saya yakin tujuannya lebih dari itu: agar jejak historisitasnya bersambut dengan realitas kebijakan yang ditorehkan.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari mural ini sejatinya perlu dirayakan sebagai awal dialektika. Mutu jawaban sangat bergantung pada kualitas pertanyaan. Oleh karena itu, kemampuan menyusun pertanyaan bermutu bergantung pada tradisi berpikir kritis (critical thinking) yang dibangun dalam komunitas epistemik, baik di dalam maupun di luar kelas (seperti forum Dialektika Selaras yang diinisiasi JISIP UNJA).

Mari kita ajukan satu pertanyaan bernada gugatan: “Benarkah JISIP telah berada di jalur yang tepat sebagai rumah bagi calon pemikir dan inkubator pemimpin?”

Pertanyaan ini relevan diketengahkan karena menyatukan diksi “pemikir” dan “pemimpin” sebagai dua sisi mata uang dalam pembangunan masyarakat. Dalam sejarah, frasa ini dapat ditelusuri dari generasi Tjokroaminoto, Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, hingga generasi intelektual kontemporer. Di era terbuka saat ini, pemahaman terhadap kebijakan publik semakin kompleks. Pendekatan lama yang bersifat parsial-sektoral tidak lagi mampu mengurai masalah SDM, lingkungan, maupun perubahan iklim, untuk menyebut beberapa contoh.

Sebagai rumah pemikir, JISIP harus mampu menempatkan kontestasi diskursus dalam konteks cara berpikir, kepentingan, dan jaringan sosial-politik yang melatarinya (Wolmer, 2006). Merujuk Leon Ho, berpikir kritis adalah proses disiplin untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi melampaui materi dangkal agar diskusi menjadi lebih tajam.

Dengan demikian, mengimajinasikan JISIP UNJA sebagai rumah pemikir dan inkubator pemimpin meniscayakan rancang bangun kurikulum dibarengi dengan mutu tenaga pengajar yang mampu memengaruhi daya kritis mahasiswa—menjadi sebagai sebuah tradisi intelektualisme--terutama dalam membedah ideologi, membuka kedok busuk dari praktik hitam kekuasaan, hingga menggali penyalahgunaan wewenang di berbagai level dan tingkatan serta memecah kebuntuan antara rasional praktis dengan rasional substantif. 

Pada akhirnya, dalam konteks itu JISIP akan menemukan relevansinya di tengah kompleksitas permasalahan pelbagai kebijakan negeri ini mulai sedari perencanaan hingga implementasi di lapangan--sebagai suara alternatif yang nyaring (bukan bising), tempat bagi siapa saja menemukan pelbagai kemungkingan jawaban yang relevan.    


*Kota Jambi, 21 Desember 2025.


*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:

1) Komunitas Epistemik dan Kosongnya Kampus Kita

2) Darurat Demokrasi: Memaknai Persinggungan Cendekiawan dan Politik

3) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan

4) Wajah Buram Kampus, Buku dan Uang Palsu

5) Artidjo Alkostar: Penegak Keadilan

6) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai

7) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Autokritik

8Kemalasan Intelektual

9) Prabowo, Sang Bibliofil

10) Wo Haris, Buku Apa yang sedang Dibaca?

11) Belajar dari Bung Karno

12) Karena Bung Hatta

13) Sutan Sjahrir: Hidup yang Tak Dipertaruhkan, Tak Layang Dimenangkan

14) Dari Penjara ke Penjara: Jejak Ideolog Tan Malaka

15) Kritisisme dan Konsistensi Soe Hok Gie

0 Komentar