Dedikasi Cendekiawan Abdul Hadi WM dan Ignas Kleden

Prof. Abdul Hadi WM dan Dr. Ignas Kleden

Oleh: Jumardi Putra*

Di tengah panasnya suhu politik pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, langit kebudayaan Indonesia diliputi mendung tebal. Dua cendekiawan berdedikasi di bidangnya yakni Profesor Abdul Hadi WM tutup usia pada dinihari Jumat (19/01) dan sosiolog Dr. Ignas Kleden menyusul tiga hari kemudian (22/01). Meski bertolak dari disiplin ilmu yang berbeda, sulit menyangkal bahwa keduanya sama-sama menaruh perhatian serius terhadap kesusastraan di tanah air.

Abdul Hadi WM dikenal luas sebagai sastrawan, budayawan, dan ahli filsafat. Ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Falsafah dan Agama di Universitas Paramadina tahun 2008. Sedangkan Ignas Kleden adalah sosiolog kenamaan. Dedikasi untuk ilmu pengetahuan sosial serta humaniora dalam diri pria kelahiran 19 Mei 1948 di Waibalun, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, itu telah mewarnai dinamika ilmu sosial dan sastra di Indonesia. Pandangan kritisnya atas praktik politik, jalannya demokrasi dan HAM di tanah air menegaskan kadar intelektualitasnya yang tinggi. Kaliber intelektualitas Ignas mengingatkan saya pada sosok intelektual kenamaan tanah air lainnya yang sudah wafat, sebut saja seperti Arif Budiman, Daniel Dhakidae, Dawam Rahardjo, dan Mochtar Pabottinggi.

Ignas Kleden meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982) dan meraih gelar doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995). Dari riwayat pendidikannya boleh dikata Ignas merupakan seorang sosiolog yang terdidik dalam filsafat. Sosiologinya karena itu, merujuk pandangan ahli demografi Riwanto Tirtosudarmo (Sejarah Intelektual, Membaca Ignas Kleden, kajanglako, 2021), yaitu bukanlah yang berurusan dengan penelitian empiris tapi dengan dunia pemikiran yang hampir selalu filosofis. Sosiologi dan filsafatnya bukan sebagai vokasi (keahlian) tetapi sebagai alatnya untuk memahami sejarah pemikiran yang berkembang di dunia dan bangsanya.

Sedangkan Abdul Hadi WM lahir di Sumenep, Madura pada 24 Juni 1946. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hingga tingkat sarjana muda, lalu pindah ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral, namun tidak diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dan mengambil program studi Antropologi. Selama setahun sejak 1973-1974 Abdul Hadi WM bermukim di Iowa, Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun untuk mendalami sastra dan filsafat. Pada tahun 1992 ia mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar master dan Doktor Filsafat dari Universitas Sains Malaysia di Penang, Malaysia, di mana saat yang bersamaan ia menjadi pengajar di kampus tersebut. Sekembalinya ke tanah air, ia menerima tawaran dari teman lamanya yakni Nurcholis Madjid, biasa dipanggil Cak Nur, untuk mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta.

Karya Abdul Hadi WM

Disertasinya yang terkenal pada 1997 berjudul Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaykh Hamzah Fansuri. Kajian seriusnya itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Tasawuf yang Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri oleh Penerbit Paramadina pada 2001. Sebelum sakit menimpa dirinya, Abdul Hadi WM telah menulis banyak karya puisi di antaranya Laut Belum Pasang (1971), Meditasi (1976), Cermin (1975), Tergantung pada Angin (1977), Anak Laut Anak Angin (1984), Madura: Luang Prabhang (2006), Pembawa Matahari (2002), Tuhan Kita Begitu Dekat (2012), dan Kumpulan puisi berjudul bahasa Inggris At Last We Meet Again (1987). Salah satu puisinya yang ditulis tahun 1976, berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat, yang kemudian menjadi populer saya tulis lengkap di sini:

Tuhan,

Kita begitu dekat

Sebagai api dengan panas

Aku panas dalam apimu

 

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti kain dengan kapas

Aku kapas dalam kainmu

 

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap

kini aku nyala

dalam lampu padammu.

Selain menulis puisi, Abdul Hadi WM juga menerbitkan karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, sebut saja seperti karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selanjutnya, Abdul Hadi juga menulis buku dan esai tentang sastra sufi, antara lain Rumi: Sufi dan Penyair Sastra Sufi: Sebuah Antologi, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya Rubaiyat Omar Khayam, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai sastra Profetik dan Sufistik, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa.

Saya bersyukur berkesempatan membaca dan mengoleksi beberapa buku-buku karya Abdul Hadi WM maupun Ignas Kleden saat menjalani studi di Yogyakarta dan sampai sekarang ketika saya tinggal dan bekerja di Kota Jambi.

Sebagaimana Abdul Hadi aktif menulis puisi dan esai-esai tentang sastra dan sufi, Ignas Kleden juga aktif menulis opini dan esai panjang yang dimuat di berbagai media massa seperti majalah Basis Yogyakarta, majalah Budaya Jaya Jakarta, dan majalah Tempo serta memberikan kata pengantar sebuah buku. Selain menjadi kolumnis tetap majalah Tempo, tulisan sastra Ignas kerap terbit di Harian Kompas. Dua Buku kumpulan esainya yang terkenal yakni Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1988) dan Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004). Ignas juga pernah bekerja sebagai editor pada yayasan Obor Jakarta (1976-1977), Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta (1977-1978), dan Society For Political and Economic Studies Jakarta. Pada tahun 2000, Ignas turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur.

Tak syak, atas kiprah cemerlang Ignas Kleden, pada tahun 2003 ia menerima Penghargaan Achmad Bakrie di bidang pemikiran sosial, bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono. Lewat esai dan kritik kebudayaannya, Ignas dinilai berhasil mendorong ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia menjadi lebih dinamis dan tajam.

Karya Ignas Kleden

Dua buku karya cendekiawan itu yang saya baca setahun terakhir ini adalah Hermeneutika, Estetika, dan Relegiusitas: sepilihan esai sastra sufistik dan seni rupa karya Abdul Hadi WM (terbitan Matahari, Sadra International Institute, 2004) dan Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia karya Ignas Kleden yang diterbirkan Yayasan Obor Indonesia (YOI). Buku terbitan 2021 itu memuat pandangan tajam Ignas Kleden tentang 17 tokoh politik dan kebudayaan Indonesia yaitu Sukarno, Hatta, STA (Sutan Takdir Alisyahbana), Sjahrir, Tan Malaka, Soedjatmoko, Frans Seda, Gus Dur, Sultan Hamengkubuwono, Ajip Rosidi, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Putu Widjaya, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad dan Sardono W. Kusumo.

Saya belum pernah berbicara langsung dengan Ignas Kleden, apalagi intens, kecuali pernah menyapa saat bertemu dirinya dalam acara-acara budaya baik itu saat di Jakarta dan Yogyakarta. Meski begitu, saya kerap membaca opininya di Kompas dan beberapa bukunya. Berbeda dengan Prof. Abdul Hadi WM, dimana saya beberapa kali jumpa dan bercakap-cakap dengannya.  Saya bertemu Abdul Hadi WM pertama kali saat menghadiri seminar internasional Majelis Sastra Asia Tengga (MASTERA) di Jakarta sekitar tahun 2010. Berselang dua tahun setelahnya, saya kembali bertemu dengan Abdul Hadi WM pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) II di Wisma Arga Mulya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Cisarua-Bogor, 22 Maret 2012. Pada perhelatan itu, bersama penyair Indonesia lainnya, saya menerima penghargaan pemenang kategori “puisi unggulan” berjudul Aku, Kembarbatu, dan Telago Rajo. Sedangkan karya unggulan tiga penyair lainnnya adalah Ritus Pisau (Anwar Putra Bayu, Palembang), Dari Utsmani ke Tsunami (Dimas Arika Miharja, Jambi), dan “Di Tepi Benteng Somba Opu” (Hasta Indrayana, Yogyakarta). Adapun pemenang penghargaan KSI Award diraih oleh penyair Iman Budhi Santosa dengan puisi berjudul Ziarah Tembuni.

Pada momen itulah, saya mendengar secara langsung orasi kebudayaan yang disampaikan Prof. Abdul Hadi WM. Tanpa tedeng aling-aling, ia dengan lantang mengatakan bahwa Indonesia sedang dilanda krisis kebudayaan. Hal itu ditandai terjadi kekosongan agama, filsafat dan susastra dalam berbangsa maupun bernegara. Kritik yang dilesatkan oleh Guru Besar Universitas Paramadina itu menurut hemat saya tepat mengenai jantung persoalan republik ini. Pasalnya, demokrasi kita masih terpukau bentuk dan prosedural-teknikal, kursi kepemimpinan baik nasional maupun lokal diisi para ‘politikus rabun ayam’, korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan jual beli perkara mengakar kuat di hampir semua lembaga negara, budaya dipadati tubuh-tubuh dusta, dangkal dan jauh dari rona budi, ketahanan pangan rentan, dan kedaulatan energi rapuh, serta kesenjangan kaya-miskin menyerupai piramida.

Gayung pun bersambut, delapan bulan setelah itu, kami berjumpa lagi saat perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (International Poet Gathering/PPN) V yang ditaja Dewan Kesenian Provinsi Jambi (DKJ) pada 28 sampai 31 Desember 2012, di hotel Ratu, Kota Jambi. Kebetulan saya dipercaya menjadi sekretaris panitia PPN V sehingga berkesempatan komunikasi intensif dengan banyak akademisi maupun penyair yang hadir saat itu baik sebelum, saat dan setelah acara. Perhalatan PPN V tersebut diikuti ratusan penyair dan akademisi sastra dari pelbagai daerah di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, dan Thailand. Tidak hanya itu, setahun setelahnya, Abdul Hadi WM berkenan memberikan endorsement terhadap buku puisi saya berjudul Ziarah Batanghari, yang diterbitkan oleh Ayyana, Yogyakarta tahun 2013, berbunyi “Sajak-sajak Jumardi Putra yang memaparkan jejak sejarah kerajaan Melayu-Sriwijaya jarang ditulis penyair muda dan bagus”. Sebagai penyair muda, tentu itu menjadi penyemangat buat saya untuk terus mengasah kemampuan dalam menulis puisi.

Selamat jalan Prof. Abdul Hadi WM. Selamat jalan juga buat Dr. Ignas Kleden. Dedikasi kalian berdua pada ilmu pengetahuan adalah teladan di tengah makin sedikitnya minat generasi sekarang mendalami dunia pemikiran. Begitu juga buku-buku yang kalian tulis semasa hidup menjadi amal, yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, karena dipelajari dari generasi ke generasi. Semoga.

 

*Kota Jambi, 25 Januari 2024.  

0 Komentar