![]() |
Koran Buana Minggu, edisi 8 April 1984. |
RIMBA Jambi, hutan masih perawan. Terutama antara perbatasan Sumatera Selatan dan Jambi. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi. Sinar matahari tak sanggup menembus pucuk-pucuk pohon yang tersusun rapat. Di masa revolusi sebelum Belanda mengadakan agresi kedua, saya pernah memasuki hutan yang buas itu. Saya tinggal bersama orang Kubu (Suku Anak Dalam) selama beberapa bulan. Saya dapat membayangkan bagaimana penderitaan fisik dan mental seseorang atau beberapa pejuang jika suatu ketika berada dalam hutan belantara, terpisah dari pasukannya, seperti dialami oleh Letnan Satu Lebai Hasan dan kawannya. Segala satwa dalam rimba adalah musuh, karena mereka tidak mengenal manusia. Segala makhluk dalam hutan dianggapnya sebangsa mereka juga, sesama satwa. Beruntung jika kemudian kedua pejuang itu lalu hidup bersama Suku Anak Dalam. Berikut ini adalah pengalamanku (Hasan Basry R.M) sebagai anak muda di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan RI.
Alam
dan Binatang Buas
Binatang Buas berkeliaran
seperti ternak. Ular besar bergelayutan di dahan, dan di sungai yang tidak
seberapa lebar dan dangkal buaya berenang hilir mudik. Belum lagi harimau.
Sedang gajah Sumatera yang termashur itu, bila datang ratusan banyaknya.
Binatang-binatang itu masih murni karena belum mengenal manusia. Saya pernah
berpapasan dengan segerombolan babi hutan, semulanya saya akan lari, tapi
dinasehati oleh seorang Suku Anak Dalam agar diam saja di tempat. Rombongan
babi itu lewat acuh tak acuh di dekatnya, dimana pepohonan besar menjuat
tinggi. Semak belukar seperti dijalin, hingga sulit ditembus. Karena sinar
matahari tidak sampai ke bawah, tanah menjadi lembab sepanjang hari. Serangga,
pacet, semut-semut hitam sebesar ibu jari, kelabang hutan sepanjang setengah
meter, kala jengking, ular berbisa, adalah juga musuh yang tidak kelihatan.
Kita tidak tahu dari mana, kapan para binatang buas itu akan menyerang. Setiap
detik harus waspada. Sedang tiduran pun senjata dibawa. Posisi tidur diatur
siap tempur. Adakalanya sedang tidur kaki sebelah kiri sudah dalam mulut ular
besar. Mungkin juga sedang nyenyak, seekor harimau sudah di atas dada siap
merobek wajah. Tiap langkah diperhitungkan. Salah langkah maut tantangannya.
Hukum rimba yang menentukan kehidupan hari itu: siapa kuat dia menang. Maka
perlu kewaspadaan, kekuatan pisik dan kelihaian.
Beberapa waktu yang lalu,
terpetik berita di berbagai suratkabar, Lebai Hasan (65) bekas Letnan Satu dan
Musa Ismail (65) bekas Letnan Dua, pejuang kemerdekaan telah 34 tahun sembunyi
di hutan. Pada 29 Desember 1983 mereka keluar dari persembunyian dan melapor
kepada Dan Dim 0420 Sarolangun Bangko. Keduanya mengaku anggota TNI, pejuang
Kemerdekaan yang dinyatakan hilang dari perang kemerdekaan 1948-1949.
Setelah membaca berita tersebut,
saya merasa bangga dan haru, tanpa saya sadari air mata mengambang di kelopak
mata. Pikiran saya melayang ke rimba Jambi. Dua orang Pejuang bermukim di dalam
hutan yang kejam, selama 34 tahun. Bila tidak ditemui oleh teman seperjuangan,
tentu keduanya akan lenyap tanpa bekas. Jika beberapa tahun lalu ada serdadu
Kerajaan Jepang ditemui di huLan Philipina dan di pulau Morotai lalu disambut
sebagai pahlawan perang, kini dua orang pejuang kemerdekaan kita ditemui di
hutan Sumatera dalam masa yang hampir bersamaan lamanya dengan serdadu Jepang tersebut.
Apakah keduanya akan menerima kehormatan seperti tentera Jepang itu? Mereka
telah memberikan, apa yang dapat mereka berikan.
Peristiwa lama yang tadinya
mulai memudar, dikikis ketuaan, kini membayang, seperti adegan film yang
diputar ulang. Letnan Satu Lebai Hasan Komandan saya waktu revolusi di Bayung
Lincir. Kami dari Batalyon Tanah Minyak dengan komandan Kapten Ramli dan Letnan
Satu Hasyim. Batalyon ini termasuk jajaran Resimen Garuda Putih, Pimpinan Kolonel
Abunjani Makalam. Kampung Bayung Lincir terhampar di tepi sungai berair keruh.
Sebahagian penduduknya berumah di atas air. Mereka berasal dari daerah Komering
(Palembang). Bayung Lincir sebagai batas antara Provinsi Jambi dan Sumatera
Selatan. Pada masa revolusi seluruh keamanan/pertahanan menjadi tanggung jawab
Batalyon Tanah Minyak.
Kota Palembang sudah diduduki oleh Belanda. Sewaktu jika tentera Belanda menyerang Tanah Minyak (Baju-bang-Tempino-Kenali Asam) dan terus ke kota Jambi, maka Bayung Lincir menjadi front terdepan untuk menghadapi Belanda di darat. Persenjataan kita waktu itu sangat kurang. Maka pertahanan di daerah Bayung Lincir dibuat secara primitif dan seadanya. Di hilir sungai direntangkan kabel baja antara kedua tepi. Bila Belanda datang dari sungai, maka kabel itu ditarik me-negang sejajar dengan permukaan air dan melintang. Pada saat itu pula kran minyak mentah dibuka, dialirkan ke sungai lalu dibakar. Motor boat, tongkang perahu dan apa saja yang dibawa oleh Belanda akan tersangkut di rentangan kabel dan terperangkap dalam api. Begitu pula pertahanan di darat. Di sepanjang jalan antara Bayung Lincir dengan Tempino, di bukit-bukit yang dianggap strategis, disiapkan sarang senapan mesin.
![]() |
Penulis Hasan Basry R.M, |
Salah satu bukit yang termashur karena letaknya sangat ideal untuk menghadang musuh kami beri nama bukit Merdeka, tidak tahu apakah nama Merdeka itu kini masih dipakai, karena sudah puluhan tahun sava tidak pernah melewati jalan Bayung Lincir. Pertahanan di daerah Bayung Lincir dikelola oleh dua bekas tentara Jepang yang sudah masuk menjadi tentara Republik Indonesia. Jika tidak salah nama, Indonesia mereka: Suroto bekas kempetai dan Achmad bekas Angkatan Udara Kerajaan Jepang.
Di dekat bukit Merdeka saya
bersama beberapa orang teman tinggal di sebuah gubuk yang berfungsi pula
sebagai stasion radio sandi ke markas Batalyon di Bajubang dan Jambi. Terkadang
kerja kami hanya berjalan ke rumah penduduk di pinggir sungai, atau berburu di
hutan di sekeliling bukit Merdeka. Kadang-kadang kami mencari minyak mentah
dari pipa minyak yang bocor sebesar jarum pentul, untuk lampu dinding. Jalan
raya antara Tempino dengan Bay Bayung Lincir sudah rusak. Mobil tidak ada yang
lewat selain truk tentara yang mengantarkan perbekalan untuk Kompi kami. Jika
truk datang kami bersorak gembira. Selain karena bahan makanan tiba, juga surat
dari kampung halaman, dari sahabat, pun kadang-kadang dari pacar yang sudah
lama tidak bertemu. Jika truk itu kembali ke Bajubang, tanpa permisi saya
sering minggat. Hanya teman-teman sepondok yang tahu. Mereka maklum saya, sama-sama
anak muda. Saya menjumpai pacar saya, Aneke di Bajubang, seorang juru rawat di
Rumah Sakit Permiri (sekarang Pertamina). Dua hari kemudian saya muncul kembali
di bukit Merdeka tanpa diketahui oleh Komandan. Kalau tidak dapat ke Bajubang,
saya ke Tempino, dari Tempino saya telepon sang pacar yang sedang dinas malam
di Rumah Sakit Bajubang.
Pernah terjadi sedang saya
asyik mengobrol di telepon dengan si pacar, ternyata oleh teman di sentral
Bajubang, telepon disambung ke markas P.T. (Polisi Tentera) sekarang P.M. Waktu
itu sebagai Komandan adalah A.N. Alcaff; bintang film tenar tahun 50-an itu.
Esoknya ketika saya muncul di Bajubang bersama teman Sersan Daud Jakfar, bukan
Aneke yang menyambut, tetapi dua Polisi Tentera (P.M.) di bawah pimpinan Kopral
Ibrahim Syamsir (sekarang Ketua Golkar dan anggota DPRD Tingkat Jambi).
Langsung kami berdua dimasukkan dalam tahanan. Karena kamar tahanan tidak ada,
kami disekap dalam W.C. Semalam suntuk kami tidur tanpa baju diramaikan dengan
nyamuk dan bau pesing. Sementara diluar teman-teman P.T.; (saya anggota P.T. di
Bajubang, kemudian pindah ke Kompi) nyanyi-nyanyi menggoda kami yang sedang
ditahan. Sang pacar yang tahu bahwa saya ditahan, mengirim makanan dan obat.
Tetapi makanan kiriman itu dimakan ramai sambil tertawa dan nyanyi. Oleh teman-teman
di luar tahanan. Ini romantika anak muda dalam perjuangan. Hampir tiap minggu
saya menghilang dari markas. Kalau komandan bertanya macam-macam jawaban sudah
diatur oleh sahabat-sahabat saya, antara lain Kopral Munir, sekarang pensiunan
Kapten.
Sehari sebelum hari yang naas itu, hari yang memisahkan saya dari Lebai Hasan, memisahkan pula saya dengan teman-teman yang saya cintai dan penduduk kampung yang banyak menolong kami, saya pergi ke Bajubang. Rindu kepada sang pacar tidak dapat ditahan. Baru dua minggu tidak bertemu rasanya setahun. Ketika truk mulai bergerak menuju Tempino siang itu, saya melompat dalam bak tanpa diketahui supir. Teman tidak saya beri tahu. Saya berangkat tanpa pamit. Berbeda dari hari biasanya. Dalam bak kosong itu, saya bersembunyi dalam onggоkan terpal. Panasnya tidak terkira. Napas sesak, peluh membasahi baju seragam. Belum lagi di-banting-banting dalam truk kosong karena jalan penuh lobang. Supir ngebut seenaknya. Mungkin juga supir tahu saya ada di belakang, sengaja dilarikan kencang, untuk memberi pelajaran kepada penumpang gelap.
Sebelum masuk kota Tempino
truk berhenti di sebuah warung. Saya melompat turun, menyelinap ke belakang
warung. Pergi tanpa ucapan terima kasih. Dengan mobil Permiri saya ke Bajubang.
Di rumah seorang teman buruh minyak saya mandi dan menukar pakaian sipil. Dengan
wajah cerah, saya temui Aneke di Rumah Sakit. Alangkah bahagianya saya malam
itu. Semalam suntuk saya temani dia yang sedang dinas malam. Malam itu adalah
malam terakhir kami bertemu. Seandainya kami sadar bahwa besok suasana akan
jauh berobah, pasti malam yang indah itu akan kami hadapi dengan kebisuan dan
keharuan. Mungkin janji dan ikrar kami ucapkan dan air mata akan membasahi
wajah kami.
Esoknya saya siap akan kembali
ke Tempino terus ke Bayung Lincir. Tiba-tiba sebuah power direm di hadapan
saya. Beberapa orang teman berteriak dari dalam "Ayo lekas naik. Mau ikut
nggak?”
Tanpa pikir panjang saya
melompat naik dan mobil dilarikan kencang. Sampai di pertigaan jalan keluar
dari kota Bajubang, power berbelok ke kanan arah ke Muara Bulian. Saya tanyakan!
"Ke Muara Tebo!" jawab salah seorang teman.
"Wah, saya mau ke Bayung
Lincir!”
"Lusa saja ke Beyung Lincir, kita jalan-jalan dulu!" Saya terdiam. Tapi tidak apalah sekalian jalan-jalan. Malam itu kami sampai di Muara Tebo, bermalam di asrama. Besoknya mobil ternyata malahan diteruskan ke Muara Bungo. Tapi saya jadi gembira, sebab kota Muara Bungo kampung halaman saya. Hampir setahun tahun saya tidak pulang. Saya sudah rindu kepada orang tua, adik-adik dan famili. Di Muara Bungo, saya menjumpai ibu bapak, saudara dan keluarga. Dari satu rumah ke rumah lain saya dijamu makan. Sementara saya bersilaturahmi, mobil yang saya tumpangi hilir mudik mencari saya. Seorang teman memberi tahu bahwa mobil mencari saya. Saya sadar, cepat-cepat ke jalan. Tidak lama power itu lewat, saya stop tapi tak berhenti, malah cepat lajunya. Sementara dari mobil kawan-kawan sorak-sorai mencemoohkan saya. "Rasain....tinggal kau San, Jalan kaki pulang.
lang Saya diam terpaku dan
menye sal. Saya harus menunggu beberapa hari supaya bisa kembali ke Bayung Lincir.
Di benak saya terbayang hukuman yang bakal saya terima. Tetapi benar-benar hari
ini ada peristiwa penting.
Bagian
Kedua
Sesudah kota Jambi Jatuh, Permerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Pejabat Presiden Syafruddin
Prawiranegara beserta kabinetnya tinggal di kota Muara Bungo, tepatnya di
Pasanggerahan (sekarang Hotel Delima). Ketika Belanda mulai bergerak ke
pedalaman, maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mundur ke Sumatera
Barat. Muara Bungo menjadi Ibukota provinsi, sebab Residen Bachsan beserta
stafnya tinggal di situ. Setelah Belanda menduduki Muara Tebo, maka Pemerintah
provinsi dipindahkan ke Tanah Tumbuh, kemudian ke Rantau Ikil. Di sini mesin
cetak uang kertas Republik Indonesia sudah berpгоduksi.
Pasukan Gerilya Batang Bungo
beroperasi di sekitar Muara Bungo dan Muara Tebo. Setiap malam pasukan ini
masuk kota. Kadang-kadang mencegat patroli Belanda di daerah Tanjung Agung dan
Teluk Pandak. Karena lewat sungai terus menerus disergap oleh gerilya, maka
Belanda terpaksa mendrop perbekalan untuk serdadunya di Muara Tebo dan Muara
Bungo dengan pesawat Dakota. Pesawat-pesawat itu kadang-kadang ditembak dengan
senapan biasa oleh anggota pasukan Batang Bungo.
Saya bertugas di Seksi Intel
dan Penerangan. Malam saya beserta beberapa orang teman menyusup masuk kota,
menyebarkan famlet anti Belanda. Adakalanya memeriksa pengkhianat yang
tertangkap, atau memberi penerangan kepada rakyat tentang arti dan untuk apa
kita merdeka.
Suatu hari saya diperintahkan
oleh Komandan masuk kota untuk menyelidiki kekuatan tentara Belanda di Muara
Bungo. Saya menyamar sebagai pedagang beras. Rambut saya potong habis,
berpakaian piama lusuh. Hari pertama tidak ada yang kenal. Hari kedua aman.
Tetapi pada hari ketiga, saya sedang berdagang beras, tiba-tiba muncul seorang
perempuan mau membeli beras. Hati jadi kecut waktu kami bertatap muka.
Perempuan itu adalah anak dari pengkhianat yang sudah dihabisi. Perempuan itu
bersama ibu dan adik-adiknya pernah diculik oleh pasukan BB, sesudah ayahnya
menerima hukuman. Mereka diserahkan kepada Polisi Tentara di Rantau Ikil.
Selama dalam hutan, saya mengawal keluarga pengkhianat itu. Kini, anak
pengkhianat itu ada di hadapan saya. Tetapi karena melihat mukanya tersenyum
saya tidak menaruh curiga. Apalagi selama dulu menjaga mereka, saya berlaku
baik dan menolong. Mereka saya kenal sudah lama. Bapaknya adalah Inspektur
Polisi, tetapi begitu Belanda datang ia menjadi Polisi Belanda.
Mereka datang ke Muara Bungo
untuk menjual rumah dan akan pindah ke Jambi. Suaminya, juga pengkhianat yakni
Letnan Muda TNI yang kemudian nyebrang menjadi anggota IVG (intelegen Belanda).
Rupanya dugaan saya tadi
meleset. Besok pagi sedang saya duduk di pasar, dua kaki tangan Belanda: Betok
Bungkul dan Laisa menghampiri. Keduanya dengan sopan santun mengajak saya ke
Markas Belanda, katanya untuk mengambil buku-buku kepunyaan ayah saya; rumah
orangtua saya dijadikan markas tentara Belanda. Saya menolak ajakan. Mereka
marah, dan menyeret saya. Sampai di pekarangan rumah, saya langsung dipukuli oleh
suami wanita yang kemaren saya temui. Hujan pukulan mengantarkan saya ke kamar
pemeriksaan. Dalam kamar sudah ada kepala IVG (juga bekas anggota polisi R.1.).
Tangan saya diborgol dengan rantai panjang. Famflet-famflet yang pernah kami
sebarkan dalam kota diperlihatkan dan disuruh memakannya. Kini azab mereka itu
tiba. Saya ditonjok sampai gigi depan rontok.
Rantai yang mengikat tangan
dipukulkan ke tubuh. Sakitnya Allahurabbil
, air seni tak sengaja keluar membasahi celana. Saya dipaksa mengaku ikut membunuh
pengkhianat yang mertua anggota IVC itu. Setiap jawaban yang tidak memuaskan
mereka berarti saya disiksa separuh mati. Saya pingsan. Apa yang terjadi saya
tidak tahu lagi. Waktu saya siuman saya sudah terbaring dalam sel penjara.
Sebuah kamar sempit dan gelap. Saya tidak dapat bergerak, seluruh tabuh terasa
sakit. Mulut saya berdarah, punggung saya babak belur bekas pukulan rantai.
Sehari itu saya tidak diberi makan. Besok paginya sopir penjara mengantarkan
air teh dan sedikit makanan. Siangnya kepala IVC datang memeriksa lagi. Dalam
penjara saya disiksa dengan sepotong rotan. Pemeriksaan itu bukan untuk
menyidik, lebih tepat untuk membalas sakit hati atas kematian anggota mereka.
Kepala IVC memaksa untuk menunjukan kuburan si pengkhianat.
*Kota Jambi, 16 Agustus 2025.
*Nama Lettu Hasan Lebai tertulis
dalam Monograf berjudul Jambi dalam Sejarah Nusantara karya
pejuang Jambi A. Mukty Nasruddin, terbit pada Desember 1989. Pada halaman 471 tertulis berikut ini “Kapten Ramli Umar ditugaskan
memimpin Kompi II di Bayung Lincir dan sebagai Koordinator pengawal Keamanan garis
pemisah (statisquo) dengan Belanda dalam pelaksanaan gencatan senjata berdasar
Renville, ditarik kembali ke Tempino. Sedang di Bayung Lincir diletakkan hanya
satu Seksi di bawah pimpinan Letnan Muda Sya'ban Siregar dengan K.O.D.M.-nya di
bawah pimpinan Letnan I Hasan Lebai dengan wakilnya Let Muda Nusa Ismail,
dimana keduanya ini beserta keluarga sampai saat ini misterius, hilang tak
tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya. Adapun di Bajubang dipercayakan
memimpin Kompi I adalah Letnan I Joko dan KODM-nya adalah Letnan Muda
Sjambsuddin Uban dengan wakilnya Letnan Muda Bahar Mahyuddin. KODM Muara Tembesi
dipimpin oleh Kapten Daud dengan wakilnya Letnan Muda Nursaga. Sedangkan untuk
Sarolangun dipercayakan kepada Mayor Harun Sohar sebagai pimpinan KODM dan
Kapten Hasyim Meluai ditugaskan di Muaro Tebo”.
*Tulisan di atas adalah karya Hasan Basry R.M, dimuat di Koran Buana Minggu, Jakarta, terbit dalam dua bagian yaitu pertama pada Minggu 8 April 1984 dan kedua pada Minggu 15 April 1984. Buana Minggu adalah surat kabar Mingguan yang populer di Jakarta pada 1970an hingga 1990an. Tulisan ini saya muat ulang secara utuh di sini untuk menjadi bahan bagi para peneliti yang menaruh minat terhadap sejarah perjuangan kemerdekaan RI di Provinsi Jambi. Atau bagi tuan dan puan yang memiliki informasi tentang sosok pejuang ini, sudi kiranya berbagi di sini.
*Tulisan-tulisan saya lainnya seputar tokoh-tokoh Jambi di link berikut ini:
1) Tapak-tapak Sejarah Berdiri Provinsi Jambi
2) Arsip Sejarah Jambi di ANRI
3) Si "Bulldozer" Masjchun Sofwan (Gubernur Jambi 1979-1989)
4) Kisah Putri Gubernur Jambi Djamaludin Tambunan Bersama Bung Karno
5) Srie Soedewi, Sosok Cemerlang di Balik Gubernur Jambi Maschun Sofwan
6) Jambi Yang Menanti Jamahan, Buah Pikiran Djamaludin Tambunan
7) Hanafie, Gubernur Jambi Terpilih (Gagal) Dilantik
8) Kisah Sepeninggalan Abdurrahman Sayoeti
9) Haji Hasan, Orang Gedang dari Empelu
10) A. Mukty Nasruddin, Penulis Sejarah Jambi Yang Dilupakan
11) Setelah Fakhruddin Saudagar Tak Ada Lagi
12) Dilema Residen Inu Kertapati dan Pesannya untuk Rakyat Jambi
13) Emi Nopisah, Dari Ajudan Gubernur sampai Sekretaris DPRD Provinsi Jambi
14) 65 Pemikiran Tokoh untuk 65 Tahun Provinsi Jambi
15) Sejarah Melayu Kuno: Ruang Terbuka Studi Masa Lalu Jambi
16) Kisah Mayloedin ADN dan Buku-bukunya
17) Sosok dan Pemikiran Junaidi T. Noor
18) Sejarah Gedung Wakil Rakyat Provinsi Jambi
19) Syamsul Watir dan Pers Jambi (Tanpa) Pusat Dokumentasi
20) Bung Karno dan Sumbangan Rakyat Jambi Untuk Kemerdekaan RI
21) Di Balik Penggantian Residen Jambi Sagaf Yahya
22) Pertempuran Simpang Tiga Sipin 1948
23) In Memoriam Datuk Bandar Paduka Betuah Sulaiman Hasan
24) Surat-surat Jan Johannes van de Velde Kepada Instansi di Belanda
25) Belajar dari Pejuang Jambi, H.A. Thaib Hanafiah
26) Kamal Firdaus, Ia Yang Masih Merisaukan Penegakan Hukum di Republik Ini
27) Jang Aisjah Muttalib, Penulis Sejarah Sarikat Abang di Jambi 1916
0 Komentar