Kisah Mayloedin ADN dan Buku-Bukunya

Alm. Mayloedin ADN

Oleh: Jumardi Putra*

“Di (untuk menyebut nama penulis), ikut sayo ke Bungo. Nanti malam kito berangkat, jemput sayo di rumah yo,” ujar Datuk Mayloedin kepada saya bulan Maret 2018.

“Iyolah Tuk,” balas saya. Bersama Bang Hamdi, pendamping Komisi IV DPRD Provinsi Jambi yang kebetulan mengemudikan mobil, kami menjemput Tuk Mai, begitu ia akrab disapa, di rumahnya di Lorong Suka Damai Nomor 71, RT 17 Broni, Kota Jambi.

Setiba di kediamannya, kami tak langsung berangkat, meski jarum jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Sembari menunggu Patompo, anak lelaki sulungnya yang juga ikut ke Bungo, ia bercerita kesibukannya sebagai anggota DPRD Provinsi Jambi meski dalam usia yang tidak lagi muda.

Diakuinya, untuk menjaga daya ingat, membaca merupakan nutrisi utamanya sehari-hari. Koran harian Kompas, majalah Tempo dan beberapa koran lokal Jambi kerap ia baca. Di sela itu ia bercerita masa-masa meniti karir dari bawah, mulai dari Camat Tebo Tengah, Camat Muara Bungo hingga dirinya menjabat sebagai kepala dinas pendidikan provinsi Jambi periode 1982-1988, direktur APDN Jambi, Rektor Universitas Batanghari (UNBARI) periode 1988-1996 dan puncaknya sebagai anggota DPRD Provinsi Jambi dua periode sejak 2009 hingga 2018. 

Bang Patompo akhirnya tiba, lalu kami bergegas masuk kendaraan dan berangkat. Tidak jauh meninggalkan lorong rumah, politisi senior itu meminta Patompo agar singgah di rumah keduanya yang berlokasi di Jl. A. Yani, Telanaipura, Kota Jambi. Tidak jauh dari Taman Anggrek Prof. Sri Sudewi atau berada di belakang Kantor Dinas Pendidikan Provinsi Jambi.

“Kau ikut sayo,” ajaknya singkat. “Baik,” jawab saya tanpa bertanya panjang lebar. Sementara Bang Patompo dan Bang Hamdi menunggu di mobil. Sembari mengamati langkahnya yang tak lagi sigap, saya bertanya-tanya di dalam hati apakah gerangan. Datuk Mayloedin langsung menuju sebuah ruangan di sisi kanan rumahnya. Tepat di hadapan garasi mobil. Ketika itu suasana rumah sepi tak berpenghuni.

Ia langsung membuka pintu ruangan tersebut. Lampu segera dihidupkannya. Sesampai di ruangan itu pandangan mata saya terbelalak. Buku, buku, dan buku. Semuanya penuh buku. Agak lama ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Seolah dirinya memberikan kesempatan saya melihat koleksi ribuan buku di ruangan tersebut. Dia sendiri sibuk mencari lembar-lembar kertas yang saya tidak tahu persis apa itu. Dan memang bukan kepentingan saya untuk tahu.

Seisi ruangan diterangi cahaya temaram. Saya tidak ambil pusing. Sedari awal menginjakkan kaki di ruangan tersebut, pandangan saya tertuju ke arah berjilid-jilid ensklopedi dalam bahasa asing. Ribuan  jenis buku dan judul tertata rapi. Belum ada katalog. Debu terlihat menempel di beberapa sudut rak dan punggung buku.

“Nah, awak (Jumardi) sayo ajak ke sini kareno ado hubungan dengan tugas sayo di kabupaten Bungo besok pagi. Kau tulis dan bantu sayo untuk mewujudkan impian sayo,” ujarnya dengan suara bergetar pelan.

Meski belum begitu jelas apa yang dimaksudkannya, saya tidak lantas bersegera mengklarifikasi perkataannya kecuali menyatakan kesediaan. Tetapi yang sempat terlontar dari saya ketika itu adalah rasa salut saya atas usahanya merawat buku-buku tersebut. Merasa momen di ruangan tersebut penting, lantas saya meminta Bang Hamdi mengabadikan saya bersama datuk Mayloedin. Kami pun berfoto berdua dengan latar belakang ribuan buku di ruang kerja pribadinya itu. 

Penulis bersama pak Mayloedin

Usai lebih dari 30 menit di ruangan itu, kami keluar dan segera menuju kendaraan. Melanjutkan perjalanan menuju Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun (Julukan/Moto Kabupaten Bungo). Setidaknya 5-6 Jam perjalanan bakal kami tempuh malam itu dari Tanah Pilih Pusako Betuah (Julukan/Motto Kota Jambi).

***

Perjumpaan saya dengan Datuk Mayloedin ADN dari tahun 2013-2018 boleh dikata jarang (kalau bukan amat sedikit) membicarakan politik praktis. Saya tidak tahu kenapa. Perbincangan antara kami justru banyak menyasar sejarah lokal Bungo-Jambi, pendidikan (formal) dan buku. Bahkan, saya pernah diminta olehnya mencari buku jadul berjudul Provinsi Sumatera Tengah terbitan Kementerian Penerangan dan karangan Fakhruddin Saudagar tentang Haji Hanafie. Kedua buku tebal itu berhasil saya dapatkan dan diterimanya dengan penuh sukacita.

Secara usia Datuk Mayloedin ADN terpaut jauh dengan saya. Beliau berusia 80 tahun. Sedangkan saya tengah menjalani fase menuju kepala empat. Lebih-lebih beliau pernah bergaul dekat dengan kakek saya yakni bapak dari kedua orang tua saya (PS Juni dari pihak bapak dan PS Ayub dari pihak ibu). Cerita kedekatan mereka sejatinya datang dari Datuk Mayloedin sendiri, bukan dari kehendak saya mencari tahu. Ceritera itu seolah mengalir begitu saja. Darinya pula saya mendapatkan informasi tentang Haji Hanafie (Ketua Badan Kongres Rakyat Daerah Provinsi Jambi sejak 1955 dan Ketua DPRD Provinsi Jambi pertama) yang juga memiliki hubungan keluarga dengan kami. Bahkan, tempat tinggal orang tua saya hanya berjarak dua rumah di larik belakang rumah besar orang tua Haji Hanafie yakni Haji Thahir di Desa Empalu, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo. Tempat masa kecil Haji Hanafie dan adiknya, Haji Hasan (orang biasa menyebut Hasan Pendek) yang pernah menjabat Bupati Bungo-Tebo periode 1975-1986.

Tidak hanya itu, darinya pula saya mendapat penggalan-penggalan cerita tentang Masjchsun Sofwan, Gubernur Jambi periode 1979-1989, Abdurrahman Sayoeti, Gubernur Jambi periode 1989-1999 dan Arifien Manap, Wali Kota Jambi periode 1998-2008. Begitu juga mengenai beberapa pejuang, untuk menyebut contoh, seperti Abdul Manaf, Husen Saa’d, Kapten Ramli, Haji Saleh Yasin, Akan Liang Ahau, Kemas Roni, Fictor Simatupang, dan Samsir Alam. 

***

Kijang Innova yang kami tumpangi berjalan lancar. Sesekali kami berhenti di warung-warung tepi jalan. Melepas penat sembari minum kopi, teh, dan makan mie rebus atau mie goreng. Bahkan, tepat malam itu kami sengaja berhenti di salah satu warung Pudin Berkah di Sungai Bengkal menonton salah satu pertandingan sepak bola (big match) kasta Liga Champion.

Dalam pada itulah, tanpa saya bertanya, Datuk Mayloedin mulai bercerita tentang koleksi buku-buku miliknya. Buku-buku di ruang kerja pribadinya itu ia kumpulkan sejak dirinya menjadi mahasiswa di Universitas Padjadjaran Bandung, kuliah setahun di Prancis, dan hingga menjadi pejabat baik di Kampus (Direktur APDN dan Rektor UNBARI), selama menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, dan bahkan sepanjang menjalani tugas sebagai anggota legislatif.

“Sebagian dari buku-buku itu saya beli dengan cara ngutang (untuk menyebut cicilan), utamanya enkslopedi dalam bahasa asing. Keadaan semacam itu terus berjalan hingga saya menjadi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi,” imbuhnya.

Tidak hanya itu, lanjutnya, semua buku-buku tersebut pernah ditawari mendiang Arifien Manap, Wali Kota Jambi periode 1998-2008 dengan harga Rp 1, 5 miliar untuk dijadikan koleksi Perpustakaan Kota Jambi, tetapi ia katakan kepada sang wali kota Jambi tersebut tidak untuk dijual.

“Mau diapakan buku-buku tersebut kelak,” timpal saya.

“Buku-buku itu akan saya hibahkan kepada pemerintah Kabupaten Bungo agar dikelola dengan baik dan dapat diakses oleh warga masyarakat Bungo, tanah kelahiran saya,” ungkapnya penuh semangat.

Saya tertegun. Bang Hamdi di samping saya terdiam. Tidak tampak reaksi yang bersifat khusus darinya. Praktis pembicaraan kami di mobil malam itu hanya antara saya dengan Datuk Mayloedin. Sedangkan Bang Patompo, anak sulungnya, fokus mengemudi.

“Nah, besok pagi dalam rapat Musrenbang RKPD Kabupaten Bungo tahun 2019, di hadapan Bupati,  perangkat daerah, tamu undangan, dan tak terkecuali pihak perguruan tinggi dan kawan-kawan politisi (DPRD Kabupaten Bungo), saya ingin memastikan niat saya itu betul-betul dapat terwujud dan disambut oleh Bupati sekarang (red-Mashuri). Inilah cita-cita saya di sisa pengabdian sebagai anggota DPRD Provinsi Jambi,” ungkapnya.

“O, ini toh yang dimaksud dengan pesannya ketika kami sama-sama di ruang kerja pribadi di rumahnya tadi,” imbuh saya membatin.

“Awak tolong catat butir-butir pokok pikiran dan usulan saya berkaitan dengan pemberian koleksi buku pribadi saya untuk masyarakat Bungo,” jelasnya.

Sebagian koleksi buku-buku milik Mayloedin

***

Cerita Tuk Mayloedin ini segera mengingatkan saya pada obrolan kami tiga tahun sebelumnya, dimana dirinya berkeinginan menghibahkan buku-bukunya, tetapi belum menyebutkan pihak mana atau siapa gerangan yang bakal menerima pemberian buku tersebut. Andai saya adalah penerimanya, jelas betapa bahagia hati ini. Kelakar saya ketika itu. 

“Tuk, perlu dipikirkan lagi, mengingat tradisi merawat buku menjadi permasalahan utama kita sekarang, apalagi pemerintah daerah,” jawab saya sekenanya.

“Betul, tapi hibah buku tersebut baru saya tunaikan manakala pemerintah Bungo betul-betul merealisasikan sarana prasarana Gedung Legiun Juang Kabupaten Bungo. Nah, sekira tiga tahun sebelum ini (2014-2015) atas dukungan beberapa pejuang dan nenek mamak, saya berhasil meyakinkan pihak pemerintah provinsi Jambi dalam masa kepemimpinan Gubernur Hasan Basri Agus (HBA) dan Bupati Bungo, Sudirman Zaini, yakni adanya bantuan dana APBD dari kedua pemerintah daerah dengan masing-masing anggaran sebesar 2,5 miliar. Total 5 milliar. Maka, tegaklah gedung Legiun Juang yang sekarang berlokasi di Lapangan Puspa Ragam Semagor, Kecamatan Pasar Muara Bungo," tuturnya.

Selain itu, diakui Datuk Mayloedin, keikutsertaan dirinya pada Musrenbang RKPD saat ini untuk memastikan agar sarana atau fasilitas pendukung gedung Legiun Juang tersebut segera terisi dan disiapkan sistem pengelolaan gedung yang baik seperti ruang pertemuan, ruang museum, dan ruang perpustakaan.

“Semoga pak Mashuri, Bupati Bungo, dapat meneruskan apa yang sudah dimulai oleh pemimpin sebelumnya. Yang terpenting agar gedung Legiun Juang itu memberi manfaat bagi masyarakat Bungo,” harapnya.

“Gedung Legiun itu mulanya sebagai pesenggrahan. Tempat banyak pihak melakukan perundingan di masa lalu. Gedung dan lokasi itu merupakan titik episentrum perjuangan rakyat Bungo (Jambi) saat ambil bagian mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah Belanda. Saya berharap semua kita dalam Musrenbang ini dapat memahami sejarah kemerdekaan NKRI di Bungo, dan kehadiran buku-buku dari saya di gedung ini kelak dapat mewarnai pembangunan pendidikan di Kabupaten Bungo,” ungkapnya dengan berapi-api menerangkan latar belakang usulannya itu, yang disambut riuh tepuk tangan peserta Musrenbang.

Saya memperhatikan perangkat daerah seperti Bappeda dan Dinas Pendidikan kabupaten Bungo mencatat niat baik sekaligus pokok pikiran Datuk Mayloedin ADN berkaitan usulan  pemenuhan fasilitas gedung Legiun Juang selain sebagai gedung para veteran, juga terdapat ruang perpustakaan, kelak koleksi ribuan bukunya akan dihibahkan. 

Sayang, Bupati Bungo yang diharapkan mendengar pokok-pokok pikiran Tum Layloedin telah meninggalkan ruangan aula Cempaka kuning, tempat Musrenbang RKPD itu berlangsung. Musenbang tetap jalan. Datuk Mayloedin bersetia mengikuti rapat tersebut.

***

2018 hanya tersisa satu bulan ini (Desember-red). Hari-hari kembali seperti biasa. Datuk Mayloedin ADN menjalani aktivitasnya sebagai Anggota DPRD Provinsi Jambi. Jika bertemu, obrolan tentang hibah bukunya tidak lagi mengisi pembicaraan antara kami.

Saya sendiri tidak tahu sejauhmana Pemkab Bungo menindaklanjuti usulan dirinya. Begitu juga niat saya mengunjungi kembali perpustakaan miliknya urung terkabulkan.

Faktanya, dan juga kabar dari salah seorang jurnalis di Bungo, gedung Legiun Juang itu kini belum difungsikan sebagai tempat bagi anak muda untuk bertukar pikiran dan membicarakan kerja-kerja kreatif untuk kemajuan Kabupaten Bungo.

Tiba-tiba datang berentetan pesan pendek di WA Grup tempat saya bekerja, berbunyi “Innalillahi Wainnailaihi Rojiun. Telah berpulang orang tua, guru, dan rekan kerja kita, Mayloedin ADN, Jumat dini hari, 30 November 2018, pukul 00.50 WIB, di Rumah Sakit MMC Jakarta.

Saya terdiam agak lama, dan menaruh rasa tidak percaya. Segera setelahnya saya mengkonfirmasi kebenaran kabar duka tersebut ke beberapa sejawat dan beberapa anggota DPRD Provinsi Jambi. Semuanya menjawab sama, “Benar, Datuk telah meninggalkan kita untuk selamanya. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun”.

Sontak, kabar meninggal Tuk Mayloedin ADN bersileweran di jagad maya. Beberapa orang di kampung juga turut bertanya kepada saya perihal kebenaran kabar wafat tersebut. Jambi kembali dirundung duka. Apatahlagi, dua hari sebelumnya, ayahanda Zumi Zola, Zulkifli Nurdin, Gubernur Jambi dua periode 1999-2010, tutup usia.

Penghormatan DPRD Prov. Jambi kepada Mayloedin ADN

Jumat, pukul 14.35 WIB, tubuh kaku Datuk Mayloedin ADN sampai di rumah duka setelah sebelumnya melewati perjalanan udara Jakarta-Jambi. Sebelum dishalatkan dan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sungai Kambang, jasadnya dibawa ke ruang paripurna gedung DPRD Provinsi Jambi (Pukul 14.35 WIB) sebagai penghormatan terakhir atas dedikasinya sebagai salah satu Anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019.

Mereka yang menghadiri upacara penghormatan hingga ke peristirahatan terakhir menundukkan kepala (pukul 16.10 WIB). Terlebih umumnya yang menjadi akademisi di perguruan tinggi di Jambi, birokrat di lingkup pemerintah provinsi Jambi, dan anggota lembaga legislatif adalah ‘murid’ sekaligus sahabat dari pria kelahiran Muaro Bungo 19 Mei 1938 itu.

Jujur, sedari turut mengangkat peti Dauk Mayloedin dari mobil ambulan sampai ke bibir makam, lalu mengeluarkan tubuh kakunya yang kemudian disambut oleh kehangatan kedua tangan dari anak-anaknya (Patompo dan Ichsan Kabullah) untuk diletakkan di liangnya, selain memanjat do’a terbaik untuk almarhum, juga bersilewaran di pikiranku tentang niat mulia mendiang menghibahkan ribuan bukunya untuk Kabupaten Bungo.

Semoga Bupati Bungo, Bapak Mashuri, dan juga yang tidak lama lagi definitif sebagai Gubernur Jambi, Pak Fachrori, dapat menuntaskan niat mulia Datuk Mayloeddin ADN. Memastikan fasilitas yang memadai dan sistem pengolaan yang baik untuk menyambut pemberikan ribuan koleksi buku milik Tuk Mayloedin ADN.

Selamat Jalan Datuk Mayloedin ADN. Sebagai birokrat dan politisi, tentu banyak yang telah kau perbuat untuk Jambi. Kebaikan tetaplah kebaikan. Begitu juga kesalahan tidak lantas sirna. Kepada Tuhan, Allah SWT, saya memanjatkan doa untuknya semoga beliau diampuni dari segala dosa dan mendapat tempat yang layak di sisiNya. Amin

Mengiringi kepergian Datuk Mayloedin, saya teringat sajak Nisan karya penyair Chairil Anwar kurang lebih 75 tahun lalu yang ditujukan untuk Neneknya, “Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridlaanmu menerima segala tiba/Tak kutahu setinggi itu atas debu/Dan duka maha tuan bertakhta.”

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada 23 Desember 2018.

0 Komentar