Cerita di Balik Historia; Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia

Bonie Triyana

Oleh: Jumardi Putra*

Kali pertama nama Bonnie Triyana saya ketahui saat dirinya menjadi wartawan dan kolumnis majalah Tempo. Artikelnya juga tersebar di media massa nasional. Paska itu, sosok pria kelahiran Rangkasblitung, Lebak Banten, 27 Juni 1979 ini kian dikenal luas, utamanya di kalangan penulis sejarah, seiring kemunculan Historia, majalah sejarah populer pertama di Indonesia yang dibidaninya sejak 10 April 2010.

Medio Juli 2018, melalui bantuan peneliti LIPI, Saiful Hakam, keinginan saya  berkunjung ke Historia terwujud. Olehnya saya ditemani berkunjung ke kantor Historia, satu lokasi dengan Beritagar.id, di Jalan Jati Baru Raya No.28, RT.5/RW.1, Petojo Sel, Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat. Bedanya, Historia menempati sisi kanan lantai dasar, sedangkan Beritagar.id bercokol di lantai tiga.

Sebelum menginjakkan kaki di kantor Historia, usai melewati pintu utama gedung itu, nuansa sejarah begitu terasa, yakni potret apik sosok Bung Karno berkacamata dan peci hitam, duduk di atas gulungan karpet sembari memegang payung hitam, bertuliskan, "Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas kekosongan dan perjuanganmu nanti akan bersifat amuk saja. Sementara di sebelah kanan sang Proklamator terpampang papan bertuliskan Historia dengan tagline: Masa Lampau Selalu Aktual.

Setiba di ruang tamu kami tidak langsung bertemu dengan pemimpin redaksi Historia itu, dikarenakan sedang rapat internal. Tetapi oleh office boy Historia, kami disuguhi kopi dan air putih. Cukup untuk melepaskan dahaga di tengah teriknya Ibu Kota. 

Di sebelah kanan saya, di balik tembok bercat putih dan kaca bening bertuliskan pesan Bung Hatta, “Aku rela di penjara, asalkan bersama buku karena dengan buku aku bebas”, adalah ruang perpustakaan.

Tidak hanya itu, tepat di hadapan saya, pemisah antara ruang tamu dengan ruang utama pekerja Historia, sosok Pangeran Diponegero terpampang besar. Uniknya, sang Pangeran tidak digambarkan seperti umumnya kita kenal, yakni menunggangi kuda, melainkan motor gede (moge) Harley Davidson, dengan tidak menanggalkan jubah putih dan sorban.

Dikarenakan rapat mereka belum selesai, saya memasuki ruang perpustakaan. Disusul Mas Hakam. Pandangan pertama saya tertuju ke rak khusus Majalah Historia. Satu per satu majalah itu saya buka dan memfoto beberapa artikel seperlunya. Tampak jelas, ciri utama dalam lembar-lembar historia itu, yakni mulai dari intrik politik, revolusi, perang, pemberontakan, perebutan kekuasaan, kuliner, bencana, dan berbagai penemuan yang menjadi tonggak-tonggak peradaban.

Memang, sejarah spesifik  mengenai Jambi, sependek amatan saya, belum termaktub di majalah Historia. Tetapi dari ribuan koleksi buku yang tersimpan di situ, saya menyusuri punggung demi punggung buku yang memuat judul sekaligus penulisnya, hingga berhenti pada karya Tatiana A. Denisova, seorang mu’alim tamu di Perpustakaan Negara Malaysia berjudul Sumber Historiografi Melayu di Alam Melayu: Koleksi Pribadi Jhon Bastin. Ribuan koleksi Jhon Bastin itu bertiti-mangsa pada sejarah dan kebudayaan Melayu. Sungguh penekun literatur Melayu yang langka.

Perpustakaan Historia tidak begitu besar. Selain dikelilingi rak buku, di tengahnya terdapat meja kerja memanjang, yang di atasnya tersedia beberapa komputer. Sepertinya, ruangan ini difungsikan sebagai tempat bekerja. Sehingga tidak leluasa bagi pembaca dari luar jika ingin menikmati kekayaan sumber literatur sejarah di sini.

Lalu pandangan saya mengelana ke seluruh penjuru ruangan Historia. Tampaklah ruangan berdinding kaca (ruang pertemuan) yang berbatasan dengan ruang tengah. Di ruang ini juga terdapat meja kerja, lengkap dengan perangkat komputer dan alat pendukung lainnya. Di belakangnya membentang dinding putih yang dihiasi poster besar berisikan cerita singkat tonggak-tonggak perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Dalam pada itu, yang menarik perhatian saya, yakni sebagian besar dinding kaca ruangan kerja dipenuhi oretan berisikan capaian sekaligus rencana kerja Historia. Boleh dikata mobilitas para staf di Historia tergambar dari situ. Setelah hampir satu jam menunggu, Bonnie Triyana akhirnya menghampiri kami di ruang tamu. Oleh Mas Hakam, saya dikenalkan dengan pria yang belakangan ini dikenal luas sebagai sosok penting di balik kehadiran Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten.

Tak panjang kalam, kami pun langsung diajak menuju ruang kerja pribadinya, persis berhadapan dengan ruang kerja Budi Setiyono, sang redaktur pelaksana Historia. Keduanya hanya dipisahkan oleh lorong jalan ruangan.

Meski pertemuan perdana, banyolan sekaligus keramahan penulis biografi Maulwi Saelan, pengawal Presiden Sukarno (Penerbit Buku Kompas, 2014) dan biografi tokoh Indonesia-Tionghoa Eddie Lembong (Penerbit Buku Kompas, 2011) ini membuat suasana menjadi cair dan akrab.

Tak ada yang mencolok dari ruang kerja sang pemimpin redaksi. Ruangannya cukup besar untuk ukuran perkantoran di Ibukota. Di dalamnya terdapat satu meja kerja, meja dengan tiga-empat kursi tamu, sebuah lemari yang menyimpan plakat atau cinderatama, dan di kiri lemari terdapat beberapa lukisan yang belum terpasang. Diakuinya, kantor ini bukan milik Historia, melainkan sewa.

Selain itu, dinding kaca yang memisahkan ruang kerjanya dengan ruang tengah utama, juga penuh oleh goresan-goresan spidol berwarna hitam berisikan semacam target Historia dan (mungkin) juga tugasnya sebagai pemimpin redaksi.

Nah, ingin tahu isi dapur majalah sejarah populer pertama di Indonesia, Historia? Berikut petikan wawancara saya bersama sejarahwan sekaligus pemimpin redaksi Historia, Bonnie Triyana, 18 Juli 2018 di ruang kerjanya:

Bagaimana awal kemunculan Historia?

Salah satu momen penting yang mendorong Bonnie sehingga bertekad membuat majalah sejarah, yaitu tak lama setelah lulus kuliah, dirinya mengirimkan proposal dan makalah untuk mengikuti workshop internasional sejarah di Brasil. Di situ ayah dua anak ini pertama kali menemukan majalah sejarah Istoria (tanpa huruf H). Itu bahasa Portugis di Brasil.

Namun, meski sudah diniatkan setamat kuliah dari jurusan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, bahkan sampai dirinya selesai bertugas sebagai wartawan, barulah 10 April 2010, Historia hadir pertama kali menyapa pembacanya dalam bentuk media online (majalah-historia.com), lalu dalam perjalanannya berubah menjadi historia.co.id, dan hingga sekarang beralamatkan historia.id.

“Hari pertama diluncurkan, website Historia hang (macet) lantaran banyak pengunjung. Itu masa media sosial mulai ramai di negeri ini,” kenangnya.

Dua tahun berjalan, menimbang pembaca setia online yang terus bertambah, tepatnya April 2012, Historia muncul dalam versi cetak. 5000 oplah majalah didistribusikan ke toko-toko buku dan komunitas di tanah air. Akan tetapi, menutup tahun 2017, Historia versi cetak diistirahatkan sementara, dan kembali fokus mengelola media online.

Keputusan tersebut diambil mengingat banyak faktor, salah satunya, kertas. Meski tercatat sebagai aset, kertas juga beban. Ia memerlukan perawatan, dan itu membutuhkan tempat sekaligus biaya. Di samping itu, di saat media online dengan diikuti kehadiran beragam jenis gawai bak cendawan di musim hujan, membuat oplah Historia terus menurun. Begitu juga kerja-kerja majalah cetak seringkali tidak hemat waktu. Umumnya satu bulan sekali hingga 1,5 bulan.

Sedangkan versi media online, sebaliknya. Setiap saat orang bisa membaca dan membagikan ke pembaca lainnya. Jaringan antara pembaca atau komunitas pecinta sejarah dengan mudah terbentuk. Bahkan pembaca Historia.id dalam sebulan bisa mencapai angka 1, 5 juta pembaca. Dengan demikian, efektifitas dan efisiensi dari sisi anggaran maupun manajemen pengelolaan antara media online dan cetak dapat kita kalkulasi.

Apakah Historia betul-betul majalah sejarah populer pertama di Indonesia?

Pertama di sini dimaknai sebagai majalah online (maupun cetak) sejarah yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan dengan gaya penulisan populer, dikelola serta didistribusikan secara profesional, serta memiliki pembaca setia.

“Jika ragu, coba deh Anda cek di tempat-tempat lain, ada gak?” tanyanya memancing tawa kami.

Apa ide yang melatarbelakangi Anda, dkk, memilih media yang fokus pada sejarah?

Ide di balik kehadiran Historia bertumpu pada tiga prinsip utama. Pertama, menyajikan sejarah secara populer. Kedua, kita harus jujur pada sejarah. Apapun yang pernah terjadi pada bangsa ini, pahit-manisnya harus kita hargai. Ketiga, perbedaan politik, ideologi, pemikiran/gagasan tidak boleh berujung pada kekerasan.

Adakah hal lain yang menunjukkan gejala tertentu di tengah masyarakat sehingga membutuhkan media yang kosern pada sejarah?

10 tahun belakangan ini sejarah publik berkembang pesat. Tidak saja secara bisnis, tetapi juga dalam bentuk gerakan. Muncul beragam bentuk kepedulian atau kecintaan dari indiviu-individu maupun komunitas masyarakat terhadap pelestarian nilai-nilai sejarah, tak terkecuali sejarah lokal.
Kita tahu tidak semua orang suka sejarah. Apalagi membaca buku sejarah yang dihasilkan oleh kalangan sarjana di Kampus-kampus maupun pusat penelitian. Kerja-kerja akademis tentu penting, tetapi jurang antara pembaca dengan karya sejarah (serius) itu terus melebar. Inilah salah satu problem besar kita sekarang.

“Mula kelahiran Historia ada yang menertawai, sehingga salah seorang senior bilang ke saya, Bonnie, kalo mau bikin sejarah susah, susah dong, jangan digampangkan”. Begitu sarannya kepada saya sembari memberi contoh model majalah Prisma”.

“Andai aku bikin Prisma, bacaan generasimu, kau mati, pembacamu siapa?”, seloroh Bonnie.
Dalam konteks demikian itu, Historia dilahirkan untuk menjembatani penulisan sejarah akademis kepada publik yang lebih luas. Bahkan diharapkan tukang becak bisa membaca dan mengerti isi artikel-artikel di Historia.

Muncul kekhawatiran, jika menuangkan secara populer, sejarah akan dipahami sepenggal-sepenggal?
Faktanya, generasi sekarang umumnya nonton youtube, bukan tivi, apalagi buku. Mereka hanya menonton yang mereka sukai dan mencari informasi sendiri.

Nah, bagaimana kita mengenalkan sejarah yang dihasilkan oleh para sarjana itu menjadi menarik di mata publik/pembaca?

Historia dalam setiap mengangkat sebuah peristiwa sejarah selalu mencari angle atau sudut pandang yang tidak umum (untuk menyebut sisi menarik). Ambil misal, untuk menyebut beberapa contoh, sejarah makanan para raja di istana, makanan yang disantap jelata, dan tempat-tempat makan bersejarah dari segi lama berdirinya (baca Kuliner Nusantara: Rasa dan Cerita); Beberapa versi jejak-jejak penerapan hukum Islam di Indonesia; (baca Riwayat Syariat di Nusantara); Agresi Brutal Serdadu Belanda dalam Agresi Militer di Indonesia (baca Kejahatan Perang Belanda); Para "preman tempo doeloe" dalam rombongan pasukan Belanda dalam Agresi Militer I (baca Serdadu Beomi Poetra); Herman Willem Daendels sebagai musuh besar yang kerap diposisikan sebagai tokoh antagonis di dalam sejarah Indonesia (baca Daendels: Napoleon Kecil di Tanah Jawa); Tragedi 1965 (baca Riwayat Palut Arit: Cerita Dari Balik Panggung), serta Perjalanan Hamka, ulama serba bisa yang pernah mewarnai kanvas sejarah di Indonesia.

“Itu semua kita tulis merujuk sumber-sumber primer. Di situlah pemilihan angle menjadi penting. Bahwa nanti pembaca melakukan pendalaman terhadap tulisan-tulisan di Historia, maka tugas menjembatani sejarah kepada publik berjalan sebagaimana harapan kita,” ungkapnya.

Bagaimana cara kerja Historia?

Historia memadukan disiplin kerja jurnalistik dengan penelitian sejarah yang ketat untuk menghadirkan kisah masa lalu secara memikat dan mengesankan di hadapan pembaca.

Guna mewujudkan hal itu, Historia menerapkan standar kerja berbasis data dan verfifikasi. “Kami disiplin soal itu. Yang bekerja di sini rata-rata wartawan, dan tulisan-tulisan yang tersiar di portal Historia sudah melalui mekanisme seleksi redaksi, dan sebisa mungkin menggunakan sumber primer,” tuturnya.

Bahkan, untuk menjamin kualitas SDM, baik dalam proses rekrutmen maupun target pekerjaan sehari-hari para staf Historia dilakukan melalui serangkaian evaluasi, assasment, psikotes, dan lain-lain. Kebiasaan baru yang menjadi keniscayaan untuk kerja-kerja profesional sebuah lembaga.

Sedari awal kita sudah memutuskan Historia menjadi PT. Bukan NGO. Ini harus sifatnya komersial. Karena harus menghidupi diri sendiri. Jika tidak,  terjadi sebagaimana banyak media online di tanah air, menunggu kolep.

Meski  muncul perdebatan di awal-awal, pilihan menjadi sebuah perusahaan justru menantang kami sendiri untuk mengelola sebuah media online secara profesional, baik tata kelola manajamen organisasi, keuangan, sumber daya manusia, konten, dan elemen pendukung lainnya. Apatahlagi, menyadari kompetisi antara media online sekarang ini berkembang pesat, sehingga diperlukan skuad tim yang mumpuni, mulai dari jajaran Redaktur Pelaksana; Redaktur Eksekutif; Redaktur; Sekretaris Redaksi; Reporter; Videografer/Layouter; Designer; Distribusi & Promosi.

Tidak berhenti di situ saja, untuk menghadirkan konten sejarah yang kaya dan beragam, Historia memiliki kontributor yang tersebar di beberapa kota di tanah air dan di beberapa negara, antara lain, Amsterdam, Belanda; Pontianak, Kalimantan Barat; Duesseldorf, Jerman; Makassar; Jakarta; Cina; Berlin, Jerman; Semarang, Jawa Tengah; Padang, Sumatra Barat.

Berapa Rata-rata Pembaca Historia?

Tiap hari hampir 300-400 pembaca per tulisan. Pada artikel-artikel tertentu justru bisa mencapai angka ribuan. Beberapa artikel yang dimuat di Historia juga telah dibukukan oleh penerbit Kompas. (Tiga Buku Soekarno). Artikel lainnya menyusul dibukukan oleh penerbit yang sama.

“Semoga cara ini terus mendekatkan Historia dengan pembacanya di seluruh penjuru tanah air,” harapnya.

Bagaimana model penulisan yang dipakai Historia?

Diakui Bonnie, ia menanamkan doktrin pada kawan-kawan Historia tentang dua model tulisan. Pertama,  kalau tulisan dibaca orang, dan orang tersebut berpikir, wah hebat nih penulisnya.  Kedua, tulisan ketika dibaca, orang tersebut tidak peduli sama penulisnya, tapi dibuat terinspirasi dan menjadi pintar.

“Contoh tulisan pertama itu catatan pinggir Goenawan Mohammad (GM). Kalau kita baca catatan pinggir GM, kita langsung berpikir bahwa Goenawan itu orang pintar, tapi ketika ditanya, apakah kamu mengerti, dijawab nggak tahu,” ungkapnya menyulut tawa.

Model tulisan kedua, yakni esai-esai Mahbub Djunaidi. Orang membaca tulisannya. Orang tak peduli siapa Mahbub, tapi mereka senang membacanya, lalu terinspirasi dan membuat pintar.

“Nah, aku bilang ke kawan-kawan, kita ikuti gaya Mahbub sebagai produk personifikasi penulisan,” ungkapnya.

Apa pendapat Anda terhadap media online lain (sebut saja contoh Tirto) yang juga mengangkat isu-isu sejarah?

Konten utama mereka terletak pada berita dan terkadang laporan investigasi. Sementara muatan artikel-artikel sejarah hanya sebagai menu pendamping. Hanya untuk mengambil ceruk pasar. Bukan menu utama, laiaknya Historia.

Memang, tidak banyak media yang memilih fokus pada satu hal yang berbasis pengetahuan, seperti, untuk menyebut contoh, National Geographik sebagai majalah pengetahuan populer, yang berhasil menjangkau 285 juta lebih orang tiap harinya melalui majalah resminya, dan empat majalah lain.

“Saya tidak menyebut mereka sebagai kompetitor. Karena memang beda kategori. Jadi, mari kita rayakan kehadiran beragam media online yang betul-betul konsisten memperkaya wawasan atau pengetahuan publik,” kilahnya.

Bagaimana mengenalkan sejarah secara efektif untuk generasi mileneal?

Kita mesti mencari cara mengenalkan sejarah pada anak-anak muda sekarang, yang sehari-hari menggunakan gawai. Amat berbeda dengan generasi dahulu, yakni dimulai memakai mesin tik, lalu komputer (PC) dan selanjutnya laptop.

Kalau dianalogikan sebagai makanan, Historia itu semacam hidangan pembuka. Dari situ kemudian muncul kemauan pembaca untuk menelusuri sumber-sumber sejarah tertulis secara mendalam.
Dalam pada itu, Historia memerhatikan secara serius ceruk pembaca dengan menghadirkan beberapa menu pilihan, sebagaimana tampak dalam beberapa rubrikasi (Historia memakai istilah Kategori) berikut ini: agama, asal usul, budaya, buku, film, historiografis, kolom, kota, kuliner, kuno, modern, mondial, olahraga, persona, retro dan sains & teknologi.

Sembari menyantap bakso yang disuguhkan Mas Bonnie, sebelum menutup pembicaraan, kepadanya saya bertanya, adakah pesan khusus untuk kawan-kawan di Jambi yang menggeluti sejarah?

Teruslah mengangkat apa saja yang menarik dari keseharian masyarakat Jambi tempo dulu. Bukan terpaku menganggit sejarah (dengan narasi besar), meskipun itu tidak boleh diabaikan, tetapi teman-teman akan mudah kehabisan nafas. Biarlah itu menjadi tugas para sarjana di Kampus. Angkatlah sejarah sosial di Jambi (dan hubungannya dengan masyarakat di luarnya) ke permukaan. Ambil misal, bagaimana keseharian masyarakat Jambi pada masa kekuasaan Sriwijaya dan Melayu, periode kolonial hingga pasca kemerdekaan. Gunakan angle yang tepat terhadap peristiwa dan sumber sejarah yang dimiliki.

Teruslah menciptakan ruang-ruang dialektika pengetahuan sejarah bersamaan disiplin ilmu-ilmu lainnya, serta membentuk skuad tim yang kuat, solid dan konsisten menelusuri sumber-sumber sejarah.

***

Jarum jam mengarah ke angka 17.25 WIB. Tak terasa hampir tiga jam percakapan antara kami belangsung. Kami pun pamit pulang. Terima kasih Mas Bonnie atas waktu dan sambutan hangatnya.  Pun kepada Mas Hakam, terima kasih telah sudi menemani.


*Tulisan di atas merupakan hasil wawancara saya bersama penulis sejarah sekaligus Pemimpin Redaksi Historia, Bonnie Triyana, di Jakarta pada medio Juli 2018. Beberapa sumber informasi yang relevan lainnya saya gunakan melengkapi hasil interview di atas. Tulisan ini terbit pertama kali di kajanglako.com pada Oktober 2018.

0 Komentar