![]() |
Cak Nun. Sumber foto: Fuad Hasyim/detikcom |
Oleh: Jumardi Putra*
Sejak meninggalkan Jogja tahun 2010, saya tidak pernah lagi
mengikuti Maiyahan di Jetis, Kasihan-Bantul, kediaman Emha Ainun
Najib-akrab dipanggil Cak Nun. Meski bukan jamaah tetap (untuk menyebut datang
sesekali), Maiyah Mocopat Syafaat menjadi forum alternatif bagi saya ketika itu. Sebuah
wadah yang didesain mengalir santai (diselipi penampilan musik grup Kiai Kanjeng dan aksi-aksi teatrikal),
titik simpul bagi banyak orang lintas iman, budaya dan bahkan ideologi. Jika pun
tidak bisa di Maiyah, saya berusaha hadir di forum-forum diskusi atau seminar,
bilamana di situ Cak Nun hadir sebagai salah satu narasumber.
Tuan dan Puan jangan membayangkan pengajian ala Cak Nun persis sama dengan umumnya pengajian atau majelis taklim di tanah air. Sama sekali beda. Maiyah menjadi wadah atau komunitas yang menekankan kebersamaan dan cinta kasih. Maiyah dibangun atas dasar segitiga cinta antara Allah, Rasulullah, dan setiap makhluk. Maiyah juga merupakan bentuk protes dan keprihatinan Cak Nun terhadap masalah sosial, politik, dan ketidakadilan di negeri ini. Semua itu dipercakapakan dengan keterus-terangan. Ringkasnya, melalui Maiyah, Cak Nun muncul sebagai pembawa suluh kemanusiaan.
Teks-teks keagamaan yang kerap muncul sepanjang pengajian Maiyah
tidak jatuh sebagai khotbah, melainkan ruang dialog kemanusiaan-diperisai
dengan cinta dan kasih sayang. Terkadang Cak Nun mengundang narasumber tertentu
untuk mengupas sebuah topik yang diangkat menjadi tajuk Maiyah. Mereka datang
dari pelbagai latar belakang disiplin keilmuan dan profesi, mulai dari ilmuwan
atau akademisi, agamawan, aktivis atau tokoh pergerakan, dan bahkan kelompok
sub-kutlur. Ujaran-ujaran Cak Nun menyikapi praktik politik di tanah air acapkali
tepat mengena jantung kekuasaan. Ia tidak bisa menutupi kemarahan sekaligus kekesalannya
mencermati paradigma sekaligus sikap politik dan elit kekuasaan di negeri ini, tapi
itu tidak jatuh sebagai pesimisme, apatahlagi pembangkangan. Cak Nun sudah
selesai dengan dirinya. Sampai pada satu titik di mana kondisi rusak-rusakan republik
ini dalam pandangannya muncul dalam setiap tulisannya penuh satire, seperti
guyonan beliau “Hanya Tuhan yang mampu memperbaiki kondisi bangsa ini”. Meski
disampaikan dengan guyonan, sukar menyangkal bahwa itu nyata, dan faktanya
memang sebegitu rusaknya bangsa yang katanya besar dan hebat ini.
Dalam konteks itu, Cak Nun boleh dikata satu dari sedikit tokoh di
Indonesia yang perlu diteladani. Ia tidak mabuk pada kekuasaan dengan segala privalage, meski sangat mudah baginya
jika menginginkan hal itu. Cak Nun tetap sebagai dirinya, seorang Kiai tanpa
sorban, guru bagi banyak kaum muda yang ingin melihat Indonesia segera siuman
dari tidur panjangnya, budayawan yang membawakan pesan-pesan perdamaian bernafaskan
keislaman melalui pentas-pentas seni di pelbagai negara-melintasi kantong-kantong
budaya, agama dan ideologi. Ia adalah juga tokoh yang hingga saat ini datang ke
pelosok-pelosok daerah di Indonesia merajut cinta dan kasih sayang seraya
mengingatkan penguasa untuk tidak semena-mena kepada rakyatnya.
Yang dilakukan Cak Nun bukan lagi omon-omon, tapi telah
mengejawantah dalam kehidupan riilnya. Ia tetap teguh hingga kini menyuarakan
kebenaran, sekalipun itu pahit. Dalam era surplus informasi, penuh dengan omon-omon,
suara Cak Nun tetap jernih karena bersumber dari mata air yang bening: cinta,
kejujuran, dan tauhid. Cak Nun tidak hanya menulis, berceramah, dan
tampil-tampil di pelbagai forum-forum penting, tetapi ia juga menanam hikmah.
***
Selasa, 27 Mei 2025, Cak Nun tepat berusia 72 tahun. Tidak lagi
muda, untuk menyebut seorang Mbah (kakek) bagi cucu-cucunya di negeri ini.
Saya tidak pernah duduk semeja
dengan Mbah Nun, kecuali dalam satu peristiwa sederhana, tapi berkesan buat
saya pribadi yaitu suatu pagi di restoran di sebuah hotel tahun 2011 di Ternate, Maluku Utara.
Ketika itu saya tidak sendirian, melainkan dengan beberapa sastrawan Indonesia.
Pada momen itu, kami ngobrolin isu-isu sosial, politik dan budaya mutakhir, meski saya
sendiri lebih banyak mendengar. Kehadiran beliau saat itu di Ternate, bersamaan
dengan perhelatan Temu Sastrawan Indonesia (TSI) pada 24-29 Oktober
2011. Mbah Nun, sehari sebelum pembukaan TSI, menerima gelar kehormatan dari Kesultanan
Ternate berupa “Ngai Ma Dodera”. Gelar itu baru pertama kali diberikan oleh
Sultan Ternate H. Mudaffar Sjah dari Kesultanan Ternate. Saya sempat berfoto berdua dengan Mbah Nun pagi hari itu, hanya saja foto itu ada di gawai Abdul Salam HS, sastrawan dari Banten. Sempat dikirim ke hp saya ketika itu, hanya saja kemudian hilang bersamaan
dengan rusaknya hp saya. Duh.
Waktu terus berjalan. Meski tidak lagi di Jogja, berkat
internet, apatahlagi kehadiran portal caknun.com, warna wicarana seputar Mbah
Nun, bisa saya ikuti dari Tanah Pilih Pusako
Betuah, Kota Jambi, tempat kini saya mukim dan bekerja. Selebihnya, saya
berusaha membeli buku-buku baru yang ditulisnya. Setidaknya 33 buah buku karya
Mbah Nun saya koleksi hingga saat ini. Jumlah itu tentu belum seluruh dari karya tulis Mbah Nun. Meski terkadang berbeda pendapat dengan
pandangan beliau, saya antusias membaca buku-buku Mbah Nun sedari dulu hingga
sekarang. Ia memang piawai menulis dalam bentuk esai, mengangkat beragam tema,
dengan tetap berpijak pada substansi keislaman secara kritis-kontekstual, inklusif, dan
selalu membawa kesegaran, seraya diselipi kejenakaan. Tak syak, kehadirannya
menjadi alternatif di tengah “pasar gelap” pemuka agama yang kini terjerembab dalam
kepentingan politik-kekuasaan.
Dari Jambi saya mendoakan semoga Allah senantiasa melimpahkan
kesehatan, usia yang panjang, serta keberkahan bagi Mbah Nun. Semoga generasi
kini, terutama mereka yang masih bersetia mengikuti pengajian Maiyah maupun sebagai
pembaca buku-buku Mbah Nun, mampu terus menjaga, mengalirkan, dan meneruskan
spirit keikhlasan, keberanian, serta ketulusan sebagaimana hal itu dipraktikkan
Mbah Nun dalam kehidupan nyata.
*Kota Jambi, 27 Mei 2025. Tulisan saya tentang salah satu buku Cak Nun bisa dibaca di link berikut ini: Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki.
0 Komentar