72 Tahun Mbah Nun

 

Cak Nun. Sumber foto: Fuad Hasyim/detikcom


Oleh: Jumardi Putra*

Sejak meninggalkan Jogja tahun 2010, saya tidak pernah lagi mengikuti Maiyahan di Jetis, Kasihan-Bantul, kediaman Emha Ainun Najib-akrab dipanggil Cak Nun. Meski bukan jamaah tetap (untuk menyebut datang sesekali), Maiyah Mocopat Syafaat menjadi forum alternatif bagi saya ketika itu. Sebuah wadah yang didesain mengalir santai (diselipi penampilan musik grup Kiai Kanjeng dan aksi-aksi teatrikal), titik simpul bagi banyak orang lintas iman, budaya dan bahkan ideologi. Jika pun tidak bisa di Maiyah, saya berusaha hadir di forum-forum diskusi atau seminar, bilamana di situ Cak Nun hadir sebagai salah satu narasumber.

Tuan dan Puan jangan membayangkan pengajian ala Cak Nun persis sama dengan umumnya pengajian atau majelis taklim di tanah air. Sama sekali beda. Maiyah menjadi wadah atau komunitas yang menekankan kebersamaan dan cinta kasih. Maiyah dibangun atas dasar segitiga cinta antara Allah, Rasulullah, dan setiap makhluk. Maiyah juga merupakan bentuk protes dan keprihatinan Cak Nun terhadap masalah sosial, politik, dan ketidakadilan di negeri ini. Semua itu dipercakapakan dengan keterus-terangan. Ringkasnya, melalui Maiyah, Cak Nun muncul sebagai pembawa suluh kemanusiaan. 

Teks-teks keagamaan yang kerap muncul sepanjang pengajian Maiyah tidak jatuh sebagai khotbah, melainkan ruang dialog kemanusiaan-diperisai dengan cinta dan kasih sayang. Terkadang Cak Nun mengundang narasumber tertentu untuk mengupas sebuah topik yang diangkat menjadi tajuk Maiyah. Mereka datang dari pelbagai latar belakang disiplin keilmuan dan profesi, mulai dari ilmuwan atau akademisi, agamawan, aktivis atau tokoh pergerakan, dan bahkan kelompok sub-kutlur. Ujaran-ujaran Cak Nun menyikapi praktik politik di tanah air acapkali tepat mengena jantung kekuasaan. Ia tidak bisa menutupi kemarahan sekaligus kekesalannya mencermati paradigma sekaligus sikap politik dan elit kekuasaan di negeri ini, tapi itu tidak jatuh sebagai pesimisme, apatahlagi pembangkangan. Cak Nun sudah selesai dengan dirinya. Sampai pada satu titik di mana kondisi rusak-rusakan republik ini dalam pandangannya muncul dalam setiap tulisannya penuh satire, seperti guyonan beliau “Hanya Tuhan yang mampu memperbaiki kondisi bangsa ini”. Meski disampaikan dengan guyonan, sukar menyangkal bahwa itu nyata, dan faktanya memang sebegitu rusaknya bangsa yang katanya besar dan hebat ini.  

Dalam konteks itu, Cak Nun boleh dikata satu dari sedikit tokoh di Indonesia yang perlu diteladani. Ia tidak mabuk pada kekuasaan dengan segala privalage, meski sangat mudah baginya jika menginginkan hal itu. Cak Nun tetap sebagai dirinya, seorang Kiai tanpa sorban, guru bagi banyak kaum muda yang ingin melihat Indonesia segera siuman dari tidur panjangnya, budayawan yang membawakan pesan-pesan perdamaian bernafaskan keislaman melalui pentas-pentas seni di pelbagai negara-melintasi kantong-kantong budaya, agama dan ideologi. Ia adalah juga tokoh yang hingga saat ini datang ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia merajut cinta dan kasih sayang seraya mengingatkan penguasa untuk tidak semena-mena kepada rakyatnya.

Yang dilakukan Cak Nun bukan lagi omon-omon, tapi telah mengejawantah dalam kehidupan riilnya. Ia tetap teguh hingga kini menyuarakan kebenaran, sekalipun itu pahit. Dalam era surplus informasi, penuh dengan omon-omon, suara Cak Nun tetap jernih karena bersumber dari mata air yang bening: cinta, kejujuran, dan tauhid. Cak Nun tidak hanya menulis, berceramah, dan tampil-tampil di pelbagai forum-forum penting, tetapi ia juga menanam hikmah.

***

Selasa, 27 Mei 2025, Cak Nun tepat berusia 72 tahun. Tidak lagi muda, untuk menyebut seorang Mbah (kakek) bagi cucu-cucunya di negeri ini.

Saya tidak pernah duduk semeja dengan Mbah Nun, kecuali dalam satu peristiwa sederhana, tapi berkesan buat saya pribadi yaitu suatu pagi di restoran di sebuah hotel tahun 2011 di Ternate, Maluku Utara. Ketika itu saya tidak sendirian, melainkan dengan beberapa sastrawan Indonesia. Pada momen itu, kami ngobrolin isu-isu sosial, politik dan budaya mutakhir, meski saya sendiri lebih banyak mendengar. Kehadiran beliau saat itu di Ternate, bersamaan dengan perhelatan Temu Sastrawan Indonesia (TSI) pada 24-29 Oktober 2011. Mbah Nun, sehari sebelum pembukaan TSI, menerima gelar kehormatan dari Kesultanan Ternate berupa “Ngai Ma Dodera”. Gelar itu baru pertama kali diberikan oleh Sultan Ternate H. Mudaffar Sjah dari Kesultanan Ternate. Saya sempat berfoto berdua dengan Mbah Nun pagi hari itu, hanya saja foto itu ada di gawai Abdul Salam HS, sastrawan dari Banten. Sempat dikirim ke hp saya ketika itu, hanya saja kemudian hilang bersamaan dengan rusaknya hp saya. Duh.

Waktu terus berjalan. Meski tidak lagi di Jogja, berkat internet, apatahlagi kehadiran portal caknun.com, warna wicarana seputar Mbah Nun, bisa saya ikuti dari Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi, tempat kini saya mukim dan bekerja. Selebihnya, saya berusaha membeli buku-buku baru yang ditulisnya. Setidaknya 33 buah buku karya Mbah Nun saya koleksi hingga saat ini. Jumlah itu tentu belum seluruh dari karya tulis Mbah Nun. Meski terkadang berbeda pendapat dengan pandangan beliau, saya antusias membaca buku-buku Mbah Nun sedari dulu hingga sekarang. Ia memang piawai menulis dalam bentuk esai, mengangkat beragam tema, dengan tetap berpijak pada substansi keislaman secara kritis-kontekstual, inklusif, dan selalu membawa kesegaran, seraya diselipi kejenakaan. Tak syak, kehadirannya menjadi alternatif di tengah “pasar gelap” pemuka agama yang kini terjerembab dalam kepentingan politik-kekuasaan.

Dari Jambi saya mendoakan semoga Allah senantiasa melimpahkan kesehatan, usia yang panjang, serta keberkahan bagi Mbah Nun. Semoga generasi kini, terutama mereka yang masih bersetia mengikuti pengajian Maiyah maupun sebagai pembaca buku-buku Mbah Nun, mampu terus menjaga, mengalirkan, dan meneruskan spirit keikhlasan, keberanian, serta ketulusan sebagaimana hal itu dipraktikkan Mbah Nun dalam kehidupan nyata.

 

*Kota Jambi, 27 Mei 2025. Tulisan saya tentang salah satu buku Cak Nun bisa dibaca di link berikut ini: Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki.

0 Komentar