Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki

Cak Nun

Oleh: Jumardi Putra*

Emha Ainun Najib atau akrab disapa Cak Nun boleh dibilang pribadi multitalenta. Lelaki kelahiran Jombang 27 Mei 1953 ini dikenal aktif melalui pengajian rutinnya yaitu Kenduri Cinta (Jakarta), Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Gambang Syafaat (Semarang), dan Obor Ilahi (Malang).

Cak Nun juga tergolong penulis produktif di tanah air. Kumpulan tulisannya berupa cerita pendek, puisi, naskah drama, esai, artikel hingga buku. Melalui ragam genre tulisan-tulisan itu, pelbagai persoalan dikoreknya mulai soal ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, sastra, kebudayaan, kebangsaan, sampai agama.  

Tulisan yang disuguhkan Cak Nun kepada para pembaca tak lain adalah aktualitas dari kondisi sosial yang digeluti dan dicermatinya seperti salah satu bukunya yang berjudul Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki (Kompas, 2007).

Cak Nun kembali menyapa dan memberi kado cinta bagi rakyat Indonesia yang sedang “tidur” nyenyak di tengah terpaan kesadaran magis atau pun karena ekspansi modernitas. Ia hadir kembali memperteguh sikap kebangsaan serta merapatkan barisan guna mengatasi pelbagai persoalan bangsa yang kadung berat rusaknya. Sebut saja seperti tabir gelap yang menerpa kaum buruh di luar negeri. Mereka terlantar oleh sikap acuh tak acuh baik oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri (hal. 203-214). Selanjutnya, keberadaan kaum santri yang dipaksa oleh zaman menciptakan pola resistensi kultural dan psikologis secara mereka sendiri. Mereka berkembang menjadi kelompok-kelompok masyarakat yang tertutup. Dalam kandungan jiwa mereka tertanam bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Pelbagai masalah dalam masyarakat saat ini meniscayakan penyelesaian secara radikal alias tidak setengah-setengah. Apabila pelbagai persoalan itu tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, terutama pemegang tampuk kekuasaan, maka cerita tentang Indonesia “bubar” bukan sesuatu yang berlebihan di masa mendatang.

Di samping itu, dalam kumpulan esai ini, Emha tidak jarang menggunakan idiom-idom yang diambil dari al-Quran sehingga nafas Islam selalu menghiasi gagasannya. Menariknya, sekalipun demikian, esai-esai tersebut tetap kontekstual dengan keindonesiaan dan tidak lantas menjadi buku agama. Apa sebab? Agama dalam pandangan pentolan Kiai Kanjeng itu tidak tengah berbicara tentang peribadatan dan kesalehan ritual semata, melainkan segi peribadatan dan kesalehan sosial.

Sikap kerendahan hati serta memosisikan diri sebagai murid alias tidak menggurui dalam setiap tulisan Cak Nun tampak begitu mewarnai. Emha selalu menggambarkan dirinya seperti berikut ini, “Pekerjaan yang saya lakukan selama ini sebagai pelayan sosial, pengabdi rakyat, pekerjaan seniman, pekerjaan politik, dan pekerjaan guru. Itu semua bukanlah puncak dari pertualangan akhir sebagai seorang manusia yang mengimpikan tahta kekuasaan, melainkan aktualisasi nilai kesadaran sosial sebagai pembawa pencerahan.”

Buku berhalaman 258 ini berisikan Bab I dengan judul Podium Husaini terdiri dari 7 buah esai, yang membicarakan kebudayaan dan ketidakkonsistenan masyarakat kita dalam menilai sesuatu, termasuk persoalan “Pantat Inul”. Adalah disebabkan latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyarakat sendiri dan kondisi politik-ekonomi yang tak pernah dan jangan pernah berharap pula mengindahkan wilayah norma dan etika.

Buku Cak Nun

Di lain sisi, degradasi kebudayaan masyarakat modern yang tidak mampu memosisikan diri secara profesional sehingga virus narkotika medis, materialism berlebihan dan konsumtivisme yang tak mengerti batas serta tipe keagamaan yang ekslusif menjadi cerminan pola hidup masyarakat pemeluk agama saat ini, tidak terkecuali masyarakat kelas bawah (hal. 13-37).

Bab II membincangkan Sekul dan Uler State, terdiri dari 9 buah esai yang mengetengahkan konsep ideologi negara, pemimpin dan realitas nasional Indonesia yang memprihatinkan. Bab III terdiri dari 8 buah esai yang mengetengahkan satu entitas sosial (santri) yang terpinggirkan dari alur cerita modernisasi pembangunan. Akibat agresivitas wacana dari luar diri mereka tentang Islam yang dirasa tidak adil dan manifulatif, memberi legitimasi kepada mereka untuk membungkus eksklusivitasnya dengan pandangan-pandangan fundamental keislaman. 

Bab IV Generasi Kempong, terdiri dari 8 buah esai yang di dalamnya mengajak pembaca melihat dengan jernih pelbagai kekacauan sikap budaya dan kemunafikan dalam diri kita yang tak jelas arahnya.

Bab V Wong Cilik dan Dendam Rindu Jakarta, terdiri dari 6 esai. Di dalamnya mengisahkan anak manusia yang begitu merindukan Jakarta. Padahal, realitas Jakarta telah menampakkan wajah ambigu bak peribahasa berbunyi “Terlihat seperti gelembung sabun, yang meski indah, tapi tidak berisi.” Setakat hal itu, gejala alam yang belakangan ini menghiasi bumi Ibu pertiwi, mulai dari Tsunami Aceh sampai bencana hidrometeorologi: banjir, tanah longsor, kekeringan, dan malapetaka lainnya, serta kedatangan pihak dunia internasional untuk mewujudkan sikap humanisme universalnya lewat bantuan yang mengalir deras, meski pada kenyataannya tidak sedikit dari tangan-tangan jahil mengotori niat baik itu lewat penimbunan barang di gudang yang terjaga dengan ketat. Hal demikian termaktub dalam bab VI.

Dalam tema tersebut, pembaca tidak akan menemui kelengkapan data teknis atau penjelasan ilmu kealaman, melainkan terselip pertanyaan reflektif bagi kita semua yaitu di mana tanggung jawab sosial (social responsibility) baik secara individu, kelompok, institusi, bahkan hubungan kita terhadap Sang Mahapencipta?

Saat bersamaan, Emha hendak menggugah kepercayaan kita pada agama, karena bangsa Indonesia sudah terlanjur mengamini satu kesepakatan mulia dari lima butir Pancasila yakni Ketuhanan yang Maha esa. Itu artinya, melalui esai berjudul Gunung Jangan Pula Meletus adalah percakapan batiniah antara Cak Nun dengan realitas alam dan Tuhan yang sejatinya merupakan satu kesatuan yang menciptakan keseimbangan.

Melalui kumpulan esai Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki (Kompas, 2007), Emha tidak bergegas memberikan sebuah solusi untuk problem-problem yang diketengahkan. Tetapi justru ia mengajak pembaca secara perlahan menyelami akar masalah dari persoalan-persoalan yang melilih tubuh bangsa ini. Di situ pembaca seakan diajak melihat setiap permasalahan secara komprehensif, mengakar, terbuka terhadap berbagai kemungkinan, bersikap tidak asal tuduh, dan selalu mempertimbangkan dimensi-dimensi yang mengitarinya. Ringkasnya, Emha bersama pembaca tiada henti merefleksikan makna keindonesiaan dewasa ini. Apa pasal? Kerja kita masih jauh dari selesai.

*Tulisan ini terbit pertama kali di Majalah Kajanglako Keluarga Pelajar Jambi (KPJ) Yogyakarta, 2007.

0 Komentar