Bagindo dan Ikan Semah

ilustrasi. 

Oleh: Jumardi Putra*

Nun jauh di pedalaman, hiduplah seorang ibu bersama anak semata wayangya, Bagindo. Semenjak kepergian bapaknya, yang belasan tahun merantau tanpa kabar, bersama beberapa kepala keluarga lainnya, mereka tinggal dan bekerja di kampung berhutan lebat itu.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi itu cuaca berkabut menyelimuti dusun. Hawa dingin menusuk sampai ke tulang. Suara air yang mengalir di sungai berkecipak membentuk irama yang berkelindan tak beraturan. Ayam jantan berkokok beberapa kali, lalu suara-suara alam di sekitarnya berlanjut, ditimpa bunyi burung yang juga sudah terjaga. Sementara azan subuh sudah lewat, beberapa puluh menit berlalu. Beberapa tetangga perempuan juga sudah lalu lalang ke tepian mandi.

Ibu tua itu tak mau berlama-lama di pelanta rumahnya. Ia segera bangkit dan memulai rutinitas kesehariannya, seperti mencuci pakaian, menanak nasi dan membuat gulai serta membersihkan rumah, mulai dari ruang tengah, pelanta hingga bagian belakang.

Usai sarapan pagi bersama Bagindo, matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. Kabut pun tersingkap.

***

Bagindo beranjak remaja. Setiap hari ia bekerja membantu Ibunya, seperti mencarikan kayu bakar, memancing di sungai, dan membersihkan pekarangan rumah. Meski tiap hari halaman itu diguyuri ribuan dedaunan, ia senantiasa menyapunya tanpa menyiratkan rasa lelah dan marah.

Itulah Bagindo. Tumbuh dalam kasih sayang ibunya dan tempaan alam. Dia anak rajin, tak heran, bila teman-temannya merasa bahagia bermain bersama. Berbekal keterampilan yang ditularkan ibunya, Bagindo tak segan-segan membagikannya pada teman sebaya, seperti membuat gasing, peci (ketapel), dan lainnya. Tak pelak, ia menjadi anak yang digemari warga sedusunnya.

Berjalannya waktu, Bagindo mulai berpikir untuk menuntut ilmu, sebagaimana teman-teman sebayanya telah lebih dulu darinya. Meski berharap-harap cemas, ia memberanikan diri menyampaikan keinginan itu kepada ibunya.  “Bu, Bagindo ingin merantau dan menuntut ilmu. Mohon izin,” begitu pintanya kepada sang Ibu.

Mendengar keinginan anaknya, sontak sang Ibu diam. Hening sesaat. Tak satu pun yang bicara. Melihat ibu terdiam, Bagindo merasa ibunya tak memberi izin. Betul! Dugaan Bagindo tidak meleset. Ibunya tak mengizinkan Bagindo menuntut ilmu, lantaran tidak memiliki uang untuk membiayai sekolahnya.

Mendengar jawaban sang Ibu, Bagindo tertunduk lesu. Seolah menampakkan ketidakpuasan, tanpa berkata-kata, Bagindo berlari ke arah sungai, yang berjarak sekira empat ratus meter dari rumahnya.

Di sungai itu, Bagindo menumpahkan segala kesedihannya. Ia berpikir panjang dan berusaha memahami apa yang disampaikan Ibunya. Syahdan! Saat-saat sedih itu, dari arah yang berlawanan, datang seekor ikan semah dan muncul di permukaan sungai. Lalu sang ikan berkata kepada Bagindo, “Kenapa engkau sedih. Apa yang terjadi dan apa yang kau inginkan?” ujarnya.

Mengetahui ikan itu bisa berbicara, Bagindo kaget tak kepalang. Ia pun membutuhkan waktu beberapa menit untuk menerima kejadian langka tersebut.  Setelah situasi kembali normal, Bagindo pun perlahan-lahan menceritakan kesedihannya kepada ikan semah itu.

“Begini, ikan semah, saya ingin menuntut ilmu, tetapi Ibuku tidak mengizinkan,” ujar Bagindo dengan raut muka sembab.

“Pulanglah! Aku telah membisiki Ibumu. Niscaya ia mengizinkanmu menuntut  Ilmu.” Jawabnya seketika, lalu menghilang di antara bebatuan di sungai itu.

Sementara itu, di pelanta rumah, Ibunya duduk termangu sambil berdoa kepada Tuhan agar dapat memecahkan masalah yang tengah ia hadapi. Di satu sisi, ia ingin anaknya menuntut ilmu, tetapi ia tak punya uang.  

Tak lama kemudian, terdengarlah langkah kaki Bagindo dari pelanta rumah. Ibunya segera mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. “Kau tak boleh tampak lemah. Kau harus kuat! Agar anakmu kelak menjadi pribadi yang kuat,” ujar hatinya menguatkan.

Bagindo pun sampai di hadapan Ibunya. Seolah telah menemukan jawaban, dengan raut wajah cerah, Bagindo mengutarakan kembali keinginannya untuk pergi menuntut ilmu.

Dengan suara patah-patah, Bagindo mengawali percakapan dengan meminta maaf karena telah membuat susah ibunya. Sambil memeluk Bagindo, Ibunya berkata, “Nak, keinginanmu tidaklah berlebihan. Memang sudah seharusnya kau menuntut ilmu, tetapi maafkan ibumu, kita belum punya uang. Beri ibu waktu!”.

“Bu, jika Ibu tidak mengizinkan saya sekolah, lantaran soal biaya, maka, di situlah tugas saya, sekolah sambil bekerja. Saya bisa!”  ungkapnya sepenuh-penuh yakin.

Mendengar permintaan anaknya yang sungguh-sunguh, Ibunya tak kuasa lagi membendung air mata. Ia langung meraih tubuh anaknnya, lalu memeluk dengan erat dan berkata, “Menuntut ilmulah, nak. Jadilah pribadi yang sungguh-sungguh! Tuhan menyertai langkahmu!”.  

Ibunya berpesan, “Kau tak perlu khawatir, tak jauh dari tempat madrasahmu, ada adik kandung Ibu. Tinggallah di sana sembari membantu Pakcikmu beserta istrinya,” terang Ibunya. Mendengar arahan itu, Bagindo pun merasa lega, dan ia kembali meyakinkan ibunya bahwa keputusannya menuntut ilmu tidak akan membebani Ibunya. “Saya akan bekerja keras dan rajin belajar!” tegasnya.

***

Sore tiba saat kegelapan telah lebih dulu memeluk hutan. Malamnya, Bagindo menyiapkan beberapa helai pakaian dan alat perlengkapan sekolah lainnya. 

Karena esok Bagindo pergi, di malam itu, tidak biasanya, sang ibu berbagi cerita. Mulai dari masa kecil Bagindo hingga pengalaman Ibunya bangkit dan meneruskan hidup sejak ditinggal pergi suaminya.

Ibunya memulai dengan sebuah kisah, “Malam-malam sebelum kedatangan terongkeng ke desa adalah malam-malam yang gelap. Tak banyak cahaya, bila sedang beruntung maka sinar bulan akan berkilau dimakan arus sungai yang merefleksikannya. Jika tidak, maka cahaya lampu hanya samar menjadi penerang bagi rumah-rumah warga yang tinggal berdekatan”. Cerita satu ke yang lainnya terus berlanjut.

Tak mau kalah dari ibunya, Bagindo pun bercerita pengalamannya waktu kecil tentang Dusunnya sendiri, “ Kampung ini dikenal aman dan asri. Sepanjang mata memandang, pohon-pohon kelapa, durian, pelam, embacang, dan enau menjulang tinggi. Padi menguning seluas mata memandang. Pun begitu, air sungai di kampung begitu bening. Warga begitu mudah melihat ikan-ikan berenang, bersembunyi di balik bebatuan, dan menyembulkan percikan yang menenteramkan hati dan pikiran. Bahkan momentum warga saat berduyun-duyun menyaksikan panen ikan di lubuk larangan (kawasan sungai yang masih terjaga kelestariannya oleh adat setempat)  tak kalah eksotisnya”.

Waktu menunjukkan tengah malam lewat. Merdeka berdua pun lelap.

***

Pagi itu cuaca berkabut menyelimuti dusun. Matahari tertutup gumpalan awan tebal. Merasa hujan akan datang, Bagindo segera pamit kepada ibunya. Sementara itu, beberapa orangtua di sekitar rumahnya turut menyaksikan keberangkatan Bagindo.

“Bu, saya berangkat. Hati-hati di rumah. Mohon doa, semoga saya lancar dalam menuntut ilmu,” ungkapnya sembari mencium tangan dan kening Ibunya.

“Nak, baik-baiklah selama menutut ilmu di sana. Ingat! Sembayang jangan ditinggalkan, berjalanlah memakai tongkat, dan makanlah ketika lapar.” Begitulah pesan ibunya kepada Bagindo. “Baik. Saya selalu ingat pesan Ibu.” Timpalnya kemudian.

Usai pamit, Bagindo melangkahkan kakinya. Perlahan-lahan ia menghilang dari pantauan mata Ibu dan tetangganya.

***

Setelah memakan waktu dua hari perjalanan, Bagindo tiba di rumah Pakciknya. Ia disambut penuh gembira. Terlebih pakcik dan istrinya belum dikaruniai anak.

Esoknya, Bagindo memulai sekolahnya. Setiap hari bergelimang dengan buku dan pengajian di madrasah, yang tak jauh dari tempat tinggalnya sehari-hari bersama Pakcik dan Makcik.  Hari-hari Bagindo lebih banyak di madrasah ketimbang di rumah Pakcik. Di tempat itulah Bagindo bertemu dengan teman-teman dari banyak daerah dan asal usul yang berbeda. Ia sangat senang.  

Suatu hari, tepat masa libur tiba, diajaklah Bagindo oleh Pakciknya pergi menjala ikan di sungai. Segala peralatan telah dipersiapkan malam harinya.

Keesokan hari, mereka berangkat. Sepanjang jalan mereka berdua terlibat obrolan tentang sepasang kakek dan nenek yang sangat miskin. Mata pencaharian si kakek mencari ikan di laut. Meski hampir setiap hari kakek pergi menjala ikan, namun hasil yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari. Suatu hari ketika si kakek sedang menjala ikan, tiba-tiba jalanya terasa sangat berat. Seperti ada ikan besar yang terperangkap di dalamnya.

Syahdan, bukan ikan rakasa yang ia dapatkan, tetapi ikan kecil yang berkilauan. Dan dari ikan itulah mereka hidup, lantaran apapun permintaan mereka bisa diwujudkan oleh sang ikan itu”.

“Semoga kita dapat ikan semacam itu, ya, Pakcik,” pancing si Bagindo. “Itu kan cuma cerita!” jawab Pakcik. Merdeka berdua pun tertawa.

Tak terasa, Pakcik dan Bagindo sampai di sungai dan langsung menaiki perahu, tetapi Pakcik baru sadar kalau ia lupa membawa pengayoh (dayung). Oleh Pakcik, Bagindo disuruh kembali ke rumah mengambil dayung tersebut. Dengan langkah cepat Bagindo menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, Bagindo terkejut melihat seorang bujang (pemuda) yang sedang berbicara dengan Makciknya. Karena ulahnya diketahui Bagindo, Makcik tergesa-gesa meminta si pemuda tadi bersembunyi ke dalam kotak yang sudah disediakan olehnya. Suasana pun berubah canggung. Raut wajah Makcik terhadap Bagindo pun menyiratkan rasa kesal.

Terhadap situasi itu, Bagindo pura-pura tidak tahu. Ia tidak ingin memunculkan prasangka buruk dan hal-hal yang bisa merusak rumah tangga Pakciknya. Sontak, setelah pengayoh diambil, Bagindo cepat-cepat menuju ke sungai, karena Pakciknya sudah lama menunggu di tepian sungai.

Sepanjang jalan, dari rumah menuju sungai, hati Bagindo tidak tenang, lantaran untuk kesekian kalinya, pemuda itu menjumpai Makcik saat di rumah tak ada suami atau kerabat lainnya. “Kedekatan mereka berdua laiaknya dua insan yang tengah memadu asmara. Tapi lagi-lagi, Bagindo mengubur dalam-dalam peristiwa tersebut. Ia tak akan memberitahu kejadian itu kepada Pakcik, karena tak mau merusak hari istimewa Pakcik saat menjala ikan di sungai.”  

Perahu telah jauh meninggalkan dermaga sungai. Bagindo bertugas mengayoh perahu, sedangkan Pakcik menebar jala. Setelah satu jam lebih, tak disangka, jala yang diangkat Pakcik memuat puluhan ekor ikan. Mereka berdua bahagia sekali. Mendapati hari yang istimewa serta merayakan keberhasilan menjala ikan, di atas perahu, mereka bergilir menyanyikan lagu apa saja yang sekira membuat hati mereka girang. “Sungguh, hari ini adalah hari yang baik buat kita,” ujar Pakcik kepada Bagindo. “Ya, Pakcik, hasil jalaan kita melebihi apa yang kita harapkan,” balasnya seketika.

Hari telah sore. Pakcik dan Bagindo melangkah pulang ke rumah.

***

Sejak terbongkarnya hubungan terlarang antara Makcik dengan pemuda itu, Bagindo merasa hubungannya dengam Makcik tidak harmonis. Wujudnya, terutama bila suaminya bepergian jauh, Makcik sering bertindak kasar kepada Bagindo tanpa disertai alasan yang jelas. Mendapati perlakukan semacam itu, Bagindo berusaha sabar. Ia tahu, tindakan tersebut sengaja dilakukan Makcik untuk menghilangkan aib yang menempel dalam dirinya.

Suatu hari, saat suaminya pergi ke luar daerah, si Makcik melarang Bagindo tinggal di rumahnya, tetapi menyuruh Bagindo berdiam di Surau yang berlokasi tak jauh dari rumah. “Tenang saja, setiap hari akan saya antar makanan ke Surau,” jelasnya. Bagindo pun mengamini perkataan Makcik, tanpa sekalipun membantah. Meski begitu, Bagindo merasa ada sesuatu yang janggal belakangan ini. Ia terus waspada.

Suatu malam, cahaya purnama menerangi halaman surau, menyusup ke sela-sela bilik bambu. Surau yang semula hanya diterangi damar sumbu itu seketika penuh titik-titik putih menerangi segala sudut luar surau. Di surau itu pula lah Bagindo rajin menunaikan shalat dan mengaji, sebagaimana ibunya berpesan, jangan tinggalkan shalat.

Mengetahui Makcik datang mengantarkan nasi untuk santapan malam. Bagindo berlagak biasa-biasa saja. Ia berusaha tidak menampakkan keraguan atau tindakan yang membuat Makcik mencium aroma tidak beres darinya.

“Bagindo, ini Makcik bawakan makanan kesukaanmu. Segera makan ya,” ujar bibinya dengan santun. “Ya, Makcik. Nanti saya makan. Terima kasih,” balas Bagindo.

Tiba-tiba terlintas di pikiran Bagindo pesan sang ibu, yaitu makan nantek (tunggu) lapa (lapar). Karena itu, Bagindo mengurungkan niatnya menyantap makanan yang telah diantarkan Makcik.  Justru makanan itu diberikan kepada seekor ayam dan kucing, yang berada di dinding luar Surau.

Apa yang terjadi? Setelah memakannya, kedua binatang itu kejang-kejang dan berakhir dengan kematian.

Melihat langsung situasi tersebut, Bagindo semakin yakin bila Makcik berniat buruk terhadap dirinya. “Pesan ibu, makan nantek (tunggu) lapa (lapar), ternyata betul. Syukur alhamdulillah, saya selamat dan terhindar dari racun yang dimasukkan oleh Makcik ke dalam makanan itu,” pikirnya.

Tiba waktunya Bagindo betul-betul lapar. Karena tak ada jalan lain, ia memberanikan diri ke rumah menemui Makcik meminta makanan. Mendengar permintaan Bagindo, tanpa tedeng aling-aling, Makcik marah besar dan berkata, ”Bukankah tadi saya sudah mengantar nasi ke Surau?”. Bagindo menjawab, “Makanan tadi disantap oleh ayam dan kucing, yang kebetulan mereka kelaparan, dan anehnya kedua binatang tersebut mati!”.

Mendengar jawaban Bagindo, wajah Makcik menyembulkan raut kebingungan dan rasa kesal, tetapi segera ia tutupi dengan sikap yang lebih lunak dari sebelumnya.  “Saat ini saya gagal, tetapi bukan berarti kau akan selamat, Bagindo!,” gumamnya membatin.

Belajar dari peristiwa sebelumnya, tipu muslihat Makcik berubah. Bagindo tak lagi tinggal di Surau. Ia kembali ke rumah seperti biasa. Bahkan Makcik memberi keleluasaan kepada Bagindo bepergian ke mana saja. Tanpa memperlihatkan raut keheranan, Bagindo tetap waspada terhadap rencana busuk dari si Makcik.

Suatu malam, tanpa diketahui oleh Bagindo, Makcik memasang plantik (jerat) di jalan menuju surau. Pemilihan lokasi itu karena dilalui Bagindo bila pergi atau pulang dari surau. “Saya yakin Bagindo tidak bisa lagi terhindar dari plantik ini,” tegas Makcik dalam hati.

Dalam sebuah perjalanan, malam hari, Allah tiba-tiba mengambil kayu mirip tongkat, yang tergeletak di tepi jalan. Ia pun meneruskan langkah kaki. Sekira tujuh puluh meter melangkah dan meninggalkan laman rumah Makcik, tiba-tiba menyembul jerat yang dilumuri kalajengking dan kerenggo. Bagindo pun terkejut dan spontan melompat menjauhi tongkat yang terkena jerat itu. “Terima kasih ya Allah, engkau menyelamatkan saya dari plantik ini,” doa Bagindo seketika.

Sementara itu, dari kejauhan, di balik kaca jendela rumah, Makcik melihat Bagindo selamat dari jeratan yang ia pasang tadi. Kali kedua ia gagal dan membuatnya marah besar kepada Bagindo.

Usai menunaikan shalat malam, Bagindo menyadari bila perstiwa tadi siang sangat erat dengan pesan berkias ibunya, “berjalan memakai tongkat,”. “Terima kasih Tuhan. Terima kasih Ibu,” ungkapnya jelang merebahkan badan.  

***

Tak ada yang istimewa pagi itu. Bagindo sibuk belajar di madrasahnya. Makcik sibuk mencuci pakaian. Karena tak ada pekerjaan, Pakcik memutuskan menjala ikan di sungai sendirian.

Hampir lima jam di sungai, tak satu pun ikan ia dapatkan. Pakcik mulai putus asa dan memutuskan segera pulang ke rumah. Namun, ia urungkan niat itu dengan sekali lagi menebar jala. Ia berharap ada ikan nantinya, meski satu sekalipun. “Paling tidak, ada yang bisa saya bawa pulang,” imbuhnya dalam hati.

Dengan sekuat tenaga, Pakcik menebar jalanya . Tak butuh waktu lama, jalanya bergerak ke sana ke mari. “Pasti Ikan besar ini. Tarikannya kuat sekali!” dugaan Pakcik penuh semangat. Namun, setelah jala diangkat, ternyata hanya ada seekor ikan semah.

Meski kecewa, Pakcik tetap lega karena ada yang bisa dibawa pulang ke rumah olehnya. Akan tetapi, kebahagiaaan Pakcik hanya berlansung sejenak, karena ikan yang ia dapatkan ternyata bukan ikan biasa. Ikan itu tiba-tiba tersenyum dan gelak (ketawa).

Pakcik pun kaget dan ketakutan. Pertanda apa ini? Cukup lama ia termenung di tepian sungai. Namun, karena belum juga terkuak misteri ikan itu, ia memilih membawanya pulang ke rumah.

Setiba di rumah, tanpa berpikir panjang, Pakcik langsung mengambil pisau lalu memotong ikan tersebut menjadi beberapa bagian. Syahdan! Ikan itu masih juga bisa tertawa bahkan bicara.

Akhirnya, Pakcik  mengambil keputusan, yaitu memanggil semua dukun/ahli nujum di kampungnya untuk menafsirkan kejadian ikan semah gelak (ketawa) tersebut.

Hari berganti hari. Memasuki hitungan bulan. Tak satu pun dukun atau ahli nujum berhasil membuka tabir mesteri ikan semah tersebut.  

*Ditulis ulang oleh Jumardi Putra. Cerita Rakyat ini berasal dari desa Rantau Pandan, kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo. Semah adalah sejenis ikan yang hidup di Batang Bungo dan termasuk jenis ikan langka dengan harga cukup tinggi.

0 Komentar