Menziarahi Batanghari, Jauh Setelah Kegemilangan Pernah Diraih

 

ilustrasi. sungai batanghari

Oleh: Jumardi Putra*

Inilah Ziarah Batanghari. Serangkaian pelayaran imajiner tentang kebesaran suatu masa yang mulanya dicicil satu persatu, pasang-surut, beradu dan berebut perhatian, hingga dikenal the favoured commercial coast, bagian tak terpisahkan dari Svarnnadvipa (untuk menyebut pulau Sumatra).

Keberadaan sungai Batanghari yang luas serta memanjang di bagian hulu sampai daerah Sijunjung, Sumatera Barat, di bagian hilir sampai Muarasabak, Nipahpanjang, Kualatungkal, berbatasan dengan laut Natuna, telah mencatat sejarah yang panjang. Tak syak, sejauh alirannya kita dapat menjumpai sabana Kuntala (pra-Melayu dan Sriwijaya, abad ke-5), Kawasan Percandian Muarojambi (abad 7-13), Zabaj (Abad ke-9), dan masih banyak tinggalan tangible-intangible lainnya di wilayah yang sekarang dirujuk sebagai Jambi.

Penggunaan simbol ‘Batanghari’ saya pilih secara sadar, karena ia dapat mewakili lambang kecermatan berpikir, kelenturan budaya, dan keterbukaan terhadap dunia luar. Batanghari bak Juwita yang memesona dan karenanya dirindukan.

Buku Puisi Jumardi Putra

Demikian karya-karya Prof. AB. Lapian, Prof. Nik Hasan Suhaimi, Dr. Uka Tjandrasasmita, Abu Ridho, dan Bambang Budi Utomo di kalangan peneliti sejarah, arkeologi, bahari, keramik, dan lainnya, maupun D. Zawawi Imron, I Wayan Sunarta, Ahmadun Yosi Herfanda, Diah Hadaning, dan Dimas Arika Mihardja di jagad raya puisi, untuk menyebut beberapa, menampilkan deskripsi-analisis yang tajam dan begitu impresif tentang sungai legendaris tersebut.

Kini, jauh setelah kegemilangan pernah diraih, Batanghari perlahan-lahan menghadirkan potret buram, kalau bukan ironi. Dengan peribaratan, air yang telah bercampur dengan lumpur sedimentasi di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari telah masuk ke dalam sumsum jati diri, sehingga menjadikannya keruh dan kian sempit. 

Namun apapun keadannya kini, ia adalah risalah yang perlu dibaca dan tak pantas dilupakan. Karena itu, karya sederhana ini ditulis untuk menyegarkan kembali ingatan kita tentang masa yang lampau, tempat puyang kita pernah hidup dan memberi arti.

Di samping itu, antologi puisi ini juga berisi sepilihan puisi lainnya. Buah dari kunjungan, dialog, dan temukarya di tanah air. Secara umum puisi-puisi tersebut masih dalam bingkai yang sama: kecintaan pada sejarah, kampung halaman, kesederhanaan, kemanusiaan, dan penghormatan pada alam.

Dengan demikian, antologi puisi Ziarah Batanghari ini merupakan sebuah ‘kawasan imaji’ dimana saya memiliki kesempatan lebih dekat, bercakap-cakap, dan beradaptasi dengan kisah-kisah masa lampau yang menyusun sendiri petualangannya.

*Tulisan ini merupakan kata pembuka pada buku antologi puisi “Ziarah Batanghari” (Ayyana, Yogyakarta, 2013).

0 Komentar