Al Haris-Sani dan Pengarusutamaan Kebudayaan: Sebuah Otokritik

Ilustrasi. Teater musikal mini kata. Sumber foto: Hendri Nursal


Oleh: Jumardi Putra*

Kebimbangan segera menyergap saya saat memulai tulisan ini. Betapa tidak, dua kali suksesi kepala daerah di provinsi Jambi sebelum ini, urusan kebudayaan belum mendapat perhatian secara memadai dari kaum cerdik-cendekia, ketimbang ekonomi dan pemenuhan infrastruktur.  

Urusan kebudayaan dari era Jambi EMAS kepemimpinan HBA-Fachrori Umar sampai Jambi TUNTAS era Zumi Zola-Fachrori Umar hanya sayup-sayup terdengar di tengah gegap gempita program ‘mercusuar’ yang termaktub di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi periode 2010-2015 dan 2016-2021 (serta RPJMD Perubahan tahun 2018 periode 2016-2021).

Sejurus hal itu, kebudayaan dalam kacamata penyelenggara pemerintahan daerah (Gubernur dibantu OPD) kerapkali direduksi semata urusan kepariwisataan. Garis demarkasi antara keduanya seolah sumir, dan karenanya sulit menemukan hulu-hilir dari prestasi pembangunan daerah dalam satu periode kepemerintahan, kecuali lembar-lembar advertorial di koran-koran lokal maupun dalam dokumen Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur dengan disertai laporan realisasi anggaran setahun yang menunjukkan repetisi (pengulangan) ketimbang kreasi dan inovasi.

Mencermati Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, pembagian urusan kongkuren antara pemerintah pusat, provinsi dan kebupatan/kota, disebutkan bahwa kebudayaan merupakan urusan wajib (non-pelayanan dasar), sedangkan pariwisata sebagai urusan pilihan berdasarkan potensi dan keunggulan daerah.

Untuk menghindari penyelenggaraan urusan kebudayaan maupun pariwisata secara sporadis dan sekaligus memantapkan sinergisitas antar lembaga dan stakeholder lainnya baik di level pusat maupun daerah, penting bagi publik memastikan urusan kebudayaan dan pariwisata termaktub ke dalam visi-misi kepemimpinan Al-Haris-Sani periode 2021-2026 serta konektivitas dengan RPJMN dan RPJMD Kabupaten/Kota. 

Masyarakat secara umum mungkin tidak menganggap penting soal ini. Apatahlagi pagebluk corona satu setengah tahun terakhir ini membuat semua orang, terutama mereka yang bergantung pada sektor informal, berpikir keras untuk bertahan dan bangkit di tengah pertumbuhan ekonomi yang melamban (dan sektor pariwisata termasuk yang mengalami kontraksi).

Mungkin juga datang pandangan dengan kalimat retorik yaitu bukankah menjadikan kebudayaan dan pariwisata sebagai program dan kegiatan setiap tahun sudah lebih dari cukup? Belum lagi urusan kebudayaan selama ini dipandang tidak lebih dari urusan capaian program dan kegiatan, yaitu sebut saja seperti peningkatan jumlah pengunjung museum, jumlah wisatawan domestik dan mancanegara, jumlah situs, warisan budaya tak benda dan pendaftaran karya ke HAKI, jumlah rumah makan, hotel, biro perjalanan pariwisata, pemasaran dan promosi wisata, produksi dan penonton teater, fesival budaya, serta sebaran kantong-kantong kesenian di kabupaten/kota.

Tidak heran bila kebudayaan mengarah jauh pada substansi pariwisata dan didesain untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sejalan dengan rilis Badan Statistik secara periodik yang menunjukkan keterhubungan antara satu sektor dengan sektor lainnya yang berkontribusi untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai penanda geliat pembangunan ekonomi suatu wilayah .

Pernyataan di atas sepintas masuk akal, lebih-lebih dengan mengatasnamakan “multiplier effect” pariwisata terhadap pelbagai sektor kehidupan, tetapi bila ditelusuri lebih jauh menyisakan persoalan mendasar yakni keroposnya gagasan pembangunan daerah yang masih bergantung penuh pada pendekatan maupun pertimbangan ekonometrik belaka. 

Kealfaan pengarusutamaan kebudayaan sebagai visi-misi kepala daerah menjadikannya tidak lebih dari subordinat agenda pembangunan yang selama ini disimplifikasikan ke dalam narasi yang menggiurkan yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan mengejar ketertinggalan. Paradigma yang demikian boleh dikata pembangunisme tuna-kebudayaan.

Kebudayaan sejatinya dimaknai sebagai sudut pandang (worldview) tentang arah dan kebijakan pembangunan secara holistik, lebih-lebih di saat sumber daya alam Jambi yang terus terkuras maupun energi baru dan terbarukan belum juga sepenuhnya digarap secara baik, selain jelas berbiaya tinggi.

Saat bersamaan, pencemaran lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan demi menggenjot pertumbuhan ekonomi telah menjadi sumber bencana bagi masyarakat. Puncaknya, hidup selaras dengan alam dalam kesederhanaan (salah satu nilai pokok dalam kebudayaan) dilabeli sebagai keudikan. 

Pemajuan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dalam hal ini Direktorat Jenderal kebudayaan, sejak periode pertama kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla menaruh perhatian pada perumusan strategi kebudayaan nasional sekaligus pelaksanaannya pada periode ke-2 Jokowi bersama Ma’ruf Amin hingga sekarang, sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Hal demikian sejalan dengan Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Bertolak dari amanat itu kemudian disusun pengertian pemajuan kebudayaan sebagai “upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan” untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Keseluruhan tata kelola kebudayaan diselenggarakan melalui keempat upaya (4P) tersebut. Di samping itu, untuk mencapai tujuan pemajuan kebudayaan yang terintegrasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah diberi amanat untuk melakukan pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan.

Begitu juga di sektor pariwisata terdapat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, yang mengamanatkan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota menyusun dan menetapkan Rancangan Induk Pembangunan Kepariwisataan sebagai landasan pacu pembangunan bidang kepariwisataan secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan serta berdaya saing tinggi.

Mengafirmasi amanat peraturan perundang-undangan tersebut, pemerintah provinsi Jambi bersama DPRD Provinsi Jambi sudah menyusun Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pengembangan dan Pelestarian Budaya Melayu Jambi (kabarnya akan dilakukan perubahan pada tahun 2022, menyesuaikan peraturan perundang-undangan terbaru bidang kebudayaan), Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi dan Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA)Provinsi Jambi Tahun 2016-2031 serta Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Provinsi Jambi, yang kedua dokumen tersebut menjadi rujukan dalam penyusunan RPJMD dan RKPD.

Capaian yang telah dirintis oleh kepala daerah sebelumnya relevan dilanjutkan oleh Al-Haris sehingga tidak terjadi keterputusan pembangunan di bidang kebudayaan dan pariwisata. Tentu saja, untuk memantapkan kerja bidang kebudayaan dan pariwisata, Al-Haris perlu mengevaluasi secara menyeluruh mulai dari rencana strategis, rencana kerja dan program dan kegiatan OPD bidang kebudayaan dan pariwisata serta OPD terkait lainnya agar bisa menghadirkan konsepsi baru dan segar guna membangkitkan batang terendam kebudayaan Jambi.

RPJMD Jambi MANTAP

Mencermati Rancangan Awal (Ranwal) RPJMD Provinsi Jambi periode 2021-2026, urusan kebudayaan dan pariwisata tidak termaktub dalam visi Jambi MANTAP dengan tiga misi utamanya yaitu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dengan pelayanan publik yang berkualitas, pemantapan perekonomian daerah dan pemantapan kualitas sumber daya manusia.

Urusan kebudayaan dan pariwisata dalam Ranwal RPJMD dapat diketahui di kolom sasaran dalam penjabaran sub misi II yaitu meningkatkan peran sektor pariwisata serta industri kecil dan menengah pendukung pariwisata serta sub misi III yaitu meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam pengembangan seni dan budaya.

Pada sub misi II dengan sasaran utama yaitu peningkatan peran sektor pariwisata serta industri kecil dan menengah pendukung pariwisata, terdapat tiga strategi yaitu dukungan e-bisnis untuk usaha industri rumah tangga, pariwisata dan ekonomi kreatif, pengembangan objek dan destinasi tujuan wisata berbasis masyarakat lokal, mendorong percepatan pengembangan kawasan pariwisata percandian Muarojambi dan Geopark Merangin sebagai destinasi wisata dunia, fasilitasi penyelenggaraan iven seni budaya berskala nasional/internasional dengan melibatkan kabupaten/kota, dan revitalisasi dan fasilitasi objek wisata unggulan di kabupaten/kota dalam provinsi Jambi.

Merujuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi 2013-2033, selain kawasan Percandian Muarojambi dan Geopark Merangin, terdapat daya tarik wisata lainnya yang secara keseluruhan terbagi ke dalam wisata berbasis alam (12 objek), budaya (7 objek), dan buatan (5 objek). Objek daya tarik wisata tersebut juga telah masuk ke dalam RIPPARDA Provinsi Jambi 2016-2031.

Tidak mudah melakukan pengembangan kawasan dalam situasi ekonomi yang melamban baik sebelum maupun pasca pandemi corona serta kondisi infrastruktur yang tidak memadai. Belum lagi masa kepemimpinan Gubernur Al-Haris-Sani efektif berjalan kurang lebih sampai 3,5 tahun ke depan. Maka, memilih fokus pada dua daya tarik wisata yaitu Percandian Muarojambi dan Geopark Merangin mengkonfirmasi keterbatasan tersebut, meski penulis tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dalam Ranwal RPJMD.

Sebagai dokumen perencanaan pembangunan daerah, ia mesti disusun secara komprehensif dan holistik karena berkonsekuensi pada kerangka pendanaan, penyusunan renstra dan sekaligus indikator kinerja program dan kegiatan OPD leading sektor maupun pihak terkait untuk memastikan kedua kawasan wisata tersebut benar-benar disiapkan secara matang untuk meraih status sebagai situs warisan dunia (world heritage sites). Semoga dalam rancangan akhir RPJMD Provinsi Jambi periode 2021-2026, hal demikian itu dibuat secara terang benderang.

Sedangkan pada sub misi III dengan sasaran utama yaitu meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam pengembangan seni dan budaya dengan tiga strategi yaitu peningkatan festival dan lomba budaya daerah, peningkatan peran lembaga adat daerah dalam melestarikan adat budaya daerah. Tidak ada yang benar-benar baru dari Al-Haris-Sani soal ini.

Terhadap strategi di sektor kebudayaaan dalam Ranwal RPJMD Jambi MANTAP Al-Haris-Sani, justru tidak terlihat sama sekali peran riset. Potret demikian makin menegaskan bahwa riset di sektor kebudayaan maupun pariwisata selama ini kalah seksi ketimbang iven atau festival seni budaya tahunan yang lebih mengutamakan aspek hiburan dan pengumpulan massa. Bahkan dari 10 kegiatan festival di Provinsi Jambi yang diusulkan masuk ke dalam "calender of ivent" secara nasional tahun 2021, hanya Festival Candi Muarojambi dan Festival Batanghari yang berhasil masuk ke dalam agenda nasional Kharisma Event Nusantara (KEN).

Sepengamatan saya, dalam lima tahun terakhir ini dan bisa jadi lebih dari itu, belum ada fasilitasi riset serius seputar kebudayaan Jambi (termasuk di dalamnya sejarah). Padahal dokumen PPKD Provinsi Jambi secara jelas memuat kondisi faktual dan permasalahan yang dihadapi kabupaten/kota dengan 10 objek pemajuan kebudayaan.

Kemudian, yang juga perlu dicermati yaitu peningkatan perekonomian daerah (sasaran ketiga pada Misi II) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (sasaran ketiga pada Misi III) melalui sektor pariwisata dan budaya, sejatinya tidak lagi berhenti pada leading sektor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, tetapi juga berkait erat dengan Dinas Pendidikan, sebagaimana dimanatkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan. Faktanya selama ini Dinas Pendidikan fokus pada penyelenggaraan sekolah menengah atas dan khusus. Jarang dan hampir bisa dipastikan tidak ada program prioritas yang segaris dan sebangun dengan pemajuan kebudayaan.

Karena itu, Bappeda provinsi Jambi selaku leading sektor penyusunan RPJMD kepemimpinan Gubernur Al-Haris periode 2021-2026 harus cermat memeriksa Renstra dan RKPD Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sehingga sinergisitas program dan kegiatan antar satu OPD dengan OPD lainnya terdokumentasi sedari perencanaan.

Hal tersebut menjadi niscaya, selain memutus ego sektoral masing-masing OPD yang dalam prakteknya berpotensi mendegradasikan ketercapaian visi, misi dan program prioritas pemerintah daerah, juga menjadi bagian dari upaya mencegah terjadinya tumpang tindih dalam penggunaan anggaran di tengah sumber penerimaan daerah yang terbatas. 

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada 20 Agustus 2021.

*Artikel saya lainnya yang bertitimangsa pada bidang kebudayaan dan pariwisata:

  1. Quo Vadis Lembaga Adat Melyau (LAM) Prov. Jambi (2021)
  2. Jambi TUNTAS Defisit Kebudayaan (2016)
  3. Pilgub Jambi: Pariwisata Tunabudaya (2015)
  4. Kabut Asap dan Ekonomi Tunabudaya (2015)
  5. Jambi EMAS Minus Kebudayaan (2014)

0 Komentar