Melampaui 'Kekisruhan' FIB Universitas Jambi

Universitas Jambi

Oleh: Jumardi Putra*

Kesulitan segera menyergap saya saat menulis topik yang tengah hangat di media massa lokal belakangan ini yaitu “kisruh” di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi (berikutnya dibaca FIB UNJA), yang berujung pada aksi mahasiswa, ‘ancaman’ mogok ngajar oleh dosen, dan pengunduran diri Profesor Khairinal dari jabatannya selaku Dekan (Tribun Jambi, 23/2/2016).

Kesulitan itu lebih disebabkan rasa keprihatinan saya mengetahui hampir 49 tahun lamanya masyarakat Jambi menunggu hingga berhasil mendirikan Fakultas Ilmu Budaya UNJA, tepat pasca turunnya mandat Pemerintah Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi kementerian Pendidikan dan kebudayaan Nomor 1598/E/T/2012 Tanggal 28 Desember 2012, yang dilanjutkan oleh SK Rektor 17 Januari 2013.

Pertanyaan mendasarnya, kenapa saat diresmikan tanggal 1 April 1963, Universitas Negeri Jambi hanya memiliki Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Pertanian dan Fakultas Peternakan. Tak ada Fakultas Ilmu Budaya dan atau sejenisnya! “Keraguan” saya lebih difaktori melihat kondisi kejambian dewasa ini, terutama dalam hal penelitian, penulisan, publikasi, dan aksesibalitas mengenai sejarah dan kebudayaan (baca: seni) tentang wilayah yang saat ini disebut sebagai Jambi. Untuk urusan satu ini tentu tidaklah sederhana dan membutuhkan diskusi yang memadai sekaligus multi-sisi, sembari menghayati secara seksama ungkapan Adlai Stevenson (1962), “would rather light a candle than curse the darkness.”

Baiklah. Kembali ke topik awal. Nyatanya, dalam banyak kesempatan, jauh sebelum kekisruhan muncul di publik, beberapa dosen muda dan mahasiswa FIB UNJA “curhat” kepada saya seputar kurikulum dan proses belajar-mengajar di FIB yang dirasa belum menemukan bentuk ideal. Di titik itu, saya tidak dapat berbuat banyak, di samping ‘memaklumi’ karena usia FIB UNJA masih seumur jangung, juga memberi dorongan semangat sekaligus menawarkan beberapa program penguatan wacana dan perluasan literatur kebudayaan melalui jejaring kelompok diskusi informal di luar kelas. 

Hanya itu! Kalau pun lebih, sebagaimana juga harapan banyak pegiat seni-budaya Jambi, saya lebih merindukan tumbuh-sumburnya tradisi kritik sejarah, sastra, bahasa, musik, tari, teater dan kebudayaan secara umum baik oleh Dosen maupun mahasiswa FIB UNJA di lembar-lembar jurnal, koran, dan ruang-ruang publik secara lebih luas, sebagaimana hal itu telah menjadi tradisi sekaligus  ‘tolak ukur’ di banyak FIB di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Namun, kenyataannya masih jauh panggang dari api. 

Tidak berhenti di situ, muncul pula pertanyaan-pertanyaan berikut ini; tidakkah FIB (Prodi Ilmu Sejarah, Arkeologi, Sastra Arab, Sastra Indonesia dan Sendratasik (Seni Drama Tari dan Musik), hanya bagian dari empat Fakultas dan 21 program studi yang digelontor pada masa Rektor sebelumnya, Profesor Aulia Tasman (Desember 2012). Kenapa hanya persoalan FIB yang mengemuka di Publik? Ataukah empat Fakultas lainnya seperti Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tidak mengalami hal serupa alias telah berjalan secara baik. Atau apa, kenapa dan bagaimana? Pendek kata, kejadiaan di FIB ini justru ‘menggugurkan’ opini Profesor Johni Najwan (27/01), sang Rektor UNJA terpilih, yang usai dilantik oleh Kemenristek, mengatakan sudah banyak fundamen kuat yang terbangun di Universitas Jambi dari kepemimpinan sebelumnya.

Kehadiran catatan awal ini boleh disebut sebagai pembuka bagi diskusi yang lebih spesifik selanjutnya. Singkatnya, tulisan ini tidak dalam konteks memancing di “air keruh”. Bagi saya, kerja-kerja prosedural tetaplah menjadi kewenangan pihak FIB dan Rektorat UNJA untuk segera menyelesaikan secara cermat dan bijaksana, terutama pemenuhan hak-hak dasar mahasiswa yaitu fasilitas belajar, Dosen dan unsur Pimpinan serta alat kelengkapan Fakultas sesuai bidang ahli, dan proses belajar-mengajar secara normal. Hanya saja, kemunculan permasalahan FIB UNJA di publik yaitu di media lokal Jambi, terutama koran Tribun Jambi yang menjadikannya sebagai peristiwa di laman paling depan (untuk menyebut berita utama), membuat banyak orang, terutama yang menaruh kepedulian terhadap isu dan kerja-kerja kebudayaan terhenyak. Apa pasal?

Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, persoalan FIB menjadi ‘buah bibir’ di kalangan akademisi, jurnalis, pemerhati dan praktisi budaya, terutama di jejaring media sosial seperti facebook. Pelbagai pendapat pun muncul dengan sudut pandang dan kritiknya. Tidak sedikit juga yang menyayangkan hal itu terjadi. Berikut beberapa komentar yang menunjukkan betapa FIB tidak saja gagal dalam menyelenggarakan proses belajar-mengajar, tetapi menyentuh ke persoalan yang substansial yaitu FIB sedang mengidap “cacat” epistimologi, yaitu antara lain:

“Inilah api yang selama dua tahun terakhir bersemayam dalam sekam. Ternyata, borok yang disimpan rapi dan cantik mulai terkuak. Luar biasa!” (Cerpenis Ikhsan)

“Sayang jika tidak dirawat. Untuk mendapatkan persetujuan jurusan baru seperti arkeologi cukup sulit. Jadi, sayang jika nanti diluikidasi”. (Antropolog Adi Prasetidjo)

“Kegagalan dalam mendirikan FIB adalah bukti minimnya tenaga ahli di bidang kesenian (teori-praktik) dan manajemen seni. Kalau pun ada suaranya tak terdengar.” (Teaterawan Aart Jauhari)

“Sering salah urus dan juga masih banyak yang menganggap (bahkan di dalam kampusnya) FIB kloning dari FKIP.” (Penulis Febrianiko Satria)

“Kita biasanya memang cuma nyontek sesuatu yang tidak dipahami. Lihatlah monas, bundaran HI,  patung pancoran, jam gadang, ancol yang semuanya versi Jambi. Belum lagi Wali Kota yang nyontek masuk got dengan baju mahalnya. Kalau kini kisruh di FIB tidak perlu heran. Semua dilakukan demi gengsi. FIB di bawah bayang-bayang FKIP juga gak heran!.” (Linguis Natal P. Sitanggang)

“Fakultas yang tampaknya dibuat sekadar untuk gengsi-gengsian, tersebab di Jambi ada Kawasan Percandian Muarojambi yang dikenal sebagai kawasan cagar budaya terluas di Asia Tenggara. Apa pun faktanya, fakultas yang baru seumur jagung ini menyimpan masalah krusial. Kasihan mahasiswanya. Fakultas yang mungkin segera menjadi sejarah, menjadi artefak.” (Jurnalis Deddy Rachmawan)

Ramainya tanggapan, sebagaimana di atas, tidak lain menggambarkan besarnya harapan sekaligus tumbuhnya rasa “kepemilikan” dari warga seni-budaya terhadap Fakultas Ilmu Budaya UNJA, yang sekaligus menyiratkan perkara fundamental (baca: kekalutan) dalam jagad kebudayaan dewasa ini, sebagaimana digambarkan secara baik oleh pengajar filsafat Bambang Sugiharto, “aroma yang kita ciptakan tak lagi kita pahami, sementara pagar yang pernah kita bangun ambruk dan tak lagi berarti.” (Kompas, 23 Juli 2006).

Karena itu, bila merujuk masing-masing pendapat di atas, kisruh di FIB UNJA menghantarkan masing-masing kita pada pokok-pokok permasalahan berikut ini, yaitu kepemimpinan dan manajemen, kurikulum, integrasi keilmuan tenaga pengajar, kompetensi lulusan,  pasar tenaga kerja dunia serta perubahan sosial, budaya, dan politik global. Dengan kata lain, beberapa aspek di atas, mendorong (kalau bukan memaksa) lembaga-lembaga pendidikan, tak terkecuali FIB UNJA, mengupayakan perubahan, baik bentuk dan sistem penyelenggaraan pendidikan, bahkan tujuan pendidikan lembaga itu sendiri. Elemen-elemen dasar itu akan saya kupas secara khsusus di lain kesempatan.

Persoalan di tubuh FIB UNJA, menurut hemat saya, bukan lagi menjadi persoalan domestik FIB semata, melainkan membuka mata kita pada cita-cita sekaligus fakta empiris bagaimana kebudayaan (Jambi khususnya), ditafsir, dikelola, dan sekaligus menyembulkan permasalahan-permasalahan mendasar yang menyertainya, sebagaimana bentangan berikut ini.

Tiga Tahun Lepas

Adalah Dewan Kesenian Jambi (selanjutnya diingkat DK-Jambi), tepatnya semasa kepemimpinan Aswan Zahari mencetuskan gagasan pendirian Perguruan Tinggi Seni. Tiga tahun lepas (Januari 2013), gagasan itu, salah satunya, merujuk amanat Musyawarah Besar (MUBES) Dewan Kesenian Jambi tahun 2010. Masa itu duduk dalam jajaran tim, sejarahwan Fakhruddin Saudagar dan Datuk Herman Basyir, yang keduanya kini telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, Akademisi Dr. Maizar Karim, penata tari Tom Ibnur,  Datuk Bandar Paduko Betuah Haji Sulaiman Hasan, budayawan Jafar Rassuh, Dr. Sri Purnama Syam (Ketua Taman Budaya Jambi (2013), seniman Edi Sukarno, Naswan Iskandar selaku Ketua Harian DK-Jambi, yang kemudian menjadi dosen di Institut Kesenian Jakarta,  sastrawan yang juga sekretaris DK-Jambi Muhammad Khusyairi, dan beberapa seniman-budayawan lainnya.

Berhitung bulan rapat dan diskusi kerap digalakkan. Beberapa narasumber dalam dan luar Jambi dimintai pendapatnya. Sebuat saja, pakar pendidikan alternatif seperti Mahmudi, Roem Topatimasang, yang keduanya dari Yogyakarta, Hambali, Kamarudin, serta tokoh lainnya dari Jambi. Paling tidak, yang tercatat dari sepanjang diskusi dan rapat, berikut pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi kuatnya kehendak DK-Jambi mendirikan perguruan tinggi seni di Jambi, di luar soal potensi dan terus meningkatnya jumlah mahasiswa Jambi yang menimba Ilmu seni dan budaya di luar daerah Jambi, seperti di Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Sumatera Barat, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan ISI Yogya serta lainnya.

PERTAMA: Sejarah dan Kebudayaan. Dalam konteks regional maupun internasional di masa lampau, Jambi memiliki latar belakang sejarah ekonomi, sosial, politik, agama, dan seni budaya yang cukup panjang serta memiliki kearifan dan kecakapan lokal. Hal itu dapat ditemui melalui tinggalan budaya, baik hasil budaya benda (tangible) maupun tak-benda (intangible) yang mendapat pengaruh kebudayaan luar di Batanghari di beberapa tempat di sepanjang alirannya, mulai dari daerah hilir di wilayah Provinsi Jambi hingga daerah hulu di wilayah Provinsi Sumatera Barat.

Melatar belakangi hal itu, hampir semua pakar sependapat bahwa Melayu tua harus dicari di sungai Batanghari. Salah satu di antaranya adalah N.J. Krom yang menyatakan “dat Malayu hade oude djambi is”. Bukti penting yang menyertakan daerah pedalaman Jambi ke dalam lokasi Melayu Kuno adalah petunjuk yang muncul beberapa abad kemudian, yakni beberapa keterangan dari kitab Pararaton dan kitab Negarakertagama. Menurut sumber tertulis ini, Raja Singashari, Kertanegara, mengirimkan tentara ke Melayu pada 1275. Di samping itu, keberadaan patung Amoghapasa berserta prasastinya, yang ditemukan di dekat Sungai Langsat di daerah hulu sungai Batanghari, merupakan bukti nyata yang pertama berkenaan dengan adanya Kerajaan Melayu.

Risalah panjang Melayu Jambi di atas terjadi karena kontak budaya yang dilakukan oleh Jambi dengan dunia di luarnya, seperti dengan negeri Cina, India, Persia, dan masih banyak lainnya. Hal itu kian menguatkan watak masyarakat Jambi yang terbuka serta adaftif terhadap perubahan, tidak terkecuali dalam aspek kesenian.

Dalam konteks itu, keunikan geokultural Jambi telah menghasilkan karya seni yang berlimpah dengan menampakkan identitasnya yang majemuk, tetapi juga hadir dengan bentuk yang spesifik, mulai dari seni tutur, musik, tari, hingga teater. Demikian pula sastra (seloko, mantra, dan syair) serta tari-tarian Jambi yang sudah dikembangkan sedemikian rupa oleh para seniman Jambi maupun luar negeri. Tak ketinggalam perihal tata busana dan kuliner Jambi memiliki kekhasan tersendiri yang sudah barangtentu membutuhkan sentuhan tangan-tangan kreatif agar ke depan lebih dikenal masyarakat dunia.

KEDUA: Peradaban teknologi. Berjalannya waktu, tak bisa dipungkiri, sebagaimana Indonesia, termasuk di dalamnya daerah-daerah, Jambi saat ini tengah berada di laju pemutaakhiran teknologi transportasi dan informasi sehingga menjadikan pertemuan antar bangsa semakin intens. Hal ini mendorong terjadinya saling pengaruh dan mempengaruhi budaya antar bangsa. Sangat beralasan bahwa saat ini sebagian besar aktivitas manusia di dunia diwarnai oleh kehidupan multidisiplin, multinasional, dan multikultural.

Dalam konteks tersebut, selalu ada kecenderungan bahwa bangsa yang menguasai iptek akan berpeluang lebih banyak untuk menjadi pemimpin kalau bukannya penguasa dunia. Dampaknya adalah banyak seni budaya tradisi bangsa yang termarjinalkan. Kehidupan beberapa jenis seni budaya di Indonesia termasuk yang mengalami marginalisasi kalau bukannya menjadi punah. Tentu sikap pemertahanan seni budaya dalam lingkup global tidak dimaknai sebuah sikap kehatian-hatian yang berlebihan (untuk menyebut ketakutan), tetapi menyertai suatu gagasan sekligus stategi untuk siap bersaing dan menjadi bagian utama dalam dinamika globalisasi yang dicirikan oleh mobilitas tanpa limit.

Bagaimana dengan potret kesenian Jambi dewasa ini? Pertama, berdasarkan hasil penelitian kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jambi dengan Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1994-1996 secara umum menunjukkan bahwa berbagai karya seni tradisi Jambi berada di ambang kepunahan.

Di samping itu, program-program kesenian belum menyentuh dan menjawab kebutuhan kelompok (dan individu) seni. Faktanya, hasil peneltian Lembaga Manajemen PPM bekerjasama dengan Yayasan Seni Taratak, Jambi, pada bulan Mei – November 2003, tentang praktek manajemen di 58 organisasi-organisasi seni di Indonesia dan secara khusus melakukan observasi manajemen terhadap 27 organisasi seni di 10 provinsi di Indonesia (Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Jambi, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jakarta, Jogjakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), menunjukkan bahwa posisi tawar masyarakat/kelompok seni tradisi relatif lemah.

Selanjutnya, hasil penelitian oleh Tom Ibnur pada tahun 1995 hingga 1998 tentang kondisi tari tradisional Jambi yang menyebutkan hampir 40 % tarian tradisional Jambi punah. 20% selebihnya dalam kondisi kritis atau nyaris punah, 20% lagi mulai terlihat gejala sakit, dan 20% sisanya masih eksis dan bertahan (Antara/11/12).

Kedua, profesor Uli Kozok dalam tulisannya “Sejarah Ringkas Tulisan-tulisan Sumatra”, dalam Henri Chambert-Loir, Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (KPG,  2009), menyebutkan sebagaimana daerah lain di Indonesia, Jambi memiliki aksara lokal yang disebut aksara incung. Namun, menurut filolog dari Universitas Hawaii itu, saat ini sangat sulit ditemukan—untuk mengatakan tidak ada—masyarakat Jambi yang bisa membaca atau menulis dengan aksara tersebut.

Hal lain yang juga penting, berpindahnya kebudayaan yang makin tidak populer di tanahnya sendiri tersebut ke negara lain. Pada pertengahan 2011, sebuah museum yang menghimpun koleksi kebudayaan Kerinci, Provinsi Jambi, mencakup naskah-naskah kuno dan karya-karya kebudayaan daerah tersebut lainnya, dibangun dan akan diresmikan di Malaysia oleh Bupati Kerinci. Tak ayal, kasus ini pun menjadi topik hangat tidak hanya di media lokal, melainkan juga di nasional. Meski museum tersebut batal dan diganti menjadi pusat informasi, tak diragukan lagi kasus tersebut menyeruapkan sebuah kesadaran bahwa masa depan daerah ini beserta keunikan budaya yang dimilikinya telah menjadi incaran negara lain.

Ketiga, kerja-kerja penelitian budaya kalah seksi dari iven-iven kesenian tiap tahun (dalam dan luar Jambi) yang cenderung seremonial belaka. Buktinya, lima tahun terakhir ini, hasil penelitian tentang seni dan budaya boleh dikatakan sangat sedikit (kalau bukan tidak ada). Sebuah keadaan yang membuat hati miris dan jauh mundur dari periode-periode sebelumnya. Singkat kata, program selama ini hanya fokus pada pentas dan festival, belum memulai bentuk yang lain seperti penelitian, dokumentasi, dan pendidikan.

Tidak heran, bila pada masa kini, sebagian besar kaum muda tak banyak lagi yang mengenal keragaman seni-budaya Jambi. Sebut saja, selain yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia (2013-2015), untuk menyebut beberapa, tradisi Mandi Aek Asin yang berakar kuat di Tanjung Jabung Timur, Niti Mahligai dari Bumi Sakti Alam Kerinci, dan tari kromong dari Sarolangun. Demikian juga sastra lisan Jambi, seperti seloko, mantra, pantun, dan pepatah-petitih.

Keempat, perspektif tentang kesenian itu sendiri. Saat ini sebagian besar program pemerintah daerah masih terpaku pada kesneian sebagai bentuk kesenian tradisional atau masa lampau, padahal banyak komunitas seni baru dan kontemporer sedang bertumbuhan di sekitar mereka tanpa terdeteksi dan terfasilitasi.

Kelima, Pemerintah Provinsi Jambi belum memiliki Rencana Induk Pengembangan (RIP) Budaya dan Pariwisata provinsi Jambi, yang mengakibatkan agenda-agenda budaya dan pariwisata tampil parsial dan inkosisten.

Meminjam istilah profesor Jakob Sumardjo, dalam beberapa keadaan, kondisi seni dan budaya Jambi saat ini, sebagaimana dijabarkan di atas, lebih mendekati dua motif unggulan batik Jambi yaitu Durian Pecah dan Kapal Sanggat. Apa sebab?  Yang kita sebut sebagai keragaman seni dan budaya Jambi (tangible-intangible), untuk menyebut beberapa, seperti bahasa, sastra, seni (rupa, tari, musik, teater, film, fotografi, dan dokumenter), kuliner, alam, hutan, cagar budaya, alat-alat tradisional, dan kearifan lokal lainnya, kesemuannya itu bila tidak dibelah, masing-masing kita tidak akan merasakan manis dan manfaatnya. Demikian kiasan kapal sanggat, untuk menyebut mandeg atau terhenti di tepian Batanghari, lantaran sedimentasi lumpur sehingga menyulitkan bagi kapal-kapal untuk lewat dan berlayar ke laut luas.

Beranjak dari hal itu, relevan apa yang disampaikan oleh budayawan Yudhistira ANM Massardi, sebagai pokok kayu besar dengan seribu akar serabut, kita terlalu lama membiarkan banyak bagiannya melapuk. Untuk itu, kepada yang masih hidup, berikan energi baru (berdayakan, lahirkan kembali, pertahankan orisinalitasnya sambil ciptakan varian baru dengan warna dan kemasan baru). Untuk yang sudah punah dan terkubur, lakukan penelitian dan penggalian, petakan anatominya, tuliskan sejarahnya, lantas ciptakan replikanya, agar bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi baru (Kompas, 2009).

Dengan demikian, melalui agenda dan kerja-kerja strategis kebudayaan itulah pintu masuk bagi upaya pengembangan, pelestarian, dan pembinaan seni di provinsi Jambi secara berkelanjutan dan dapat dirasakan oleh masyarakat.

KETIGA: Pendidikan Seni. Merujuk kedua point di atas, guna mengelola dan meningkatkan kualitas kesenian dan guna lebih menumbuh-kembangkan wawasan ketahanan budaya lokal-nasional serta menyatukan pandangan dalam pertumbuhan kesenian di Jambi, perlu suatu institusi seni budaya yang betul-betul mendedikasikan pada kebangunan seni budaya Jambi.  Dengan kata lain, institusi ini yang diharapkan mampu melahirkan para sarjana seni yang memiliki kemampuan dan kepekaan kesenimanan, serta kepekaan akademik dalam membaca  kebutuhan zaman. Dengan demikian, kehadiran Perguruan Tinggi Seni di Jambi adalah jawaban tepat bagi iklim kebudayaan Jambi, baik kini dan masa akan datang.

Nah, dalam proses yang sedang berlangsung di DK-Jambi saat itu, Universitas Jambi tengah mengusulkan fakultas dan program studi baru, tak terkecuali beberapa program studi yang kelak disatukan dalam lembaga Fakultas Ilmu Budaya. Syahdan, setelah melalui perjalanan yang panjang dari sejak zaman Rektor Kemas Arsyad Somad sampai akhirnya terwujud pada masa Rektor Profesor Aulia Tasman tahun 2012, yang kemudian disambut penuh bahagia, lantaran lima Fakultas dengan 21 program studi terus menguatkan “kedigdayaan” Universitas Jambi dewasa ini, bahkan oleh Kementrian Ristek dan Dikti tahun 2015, Unja dengan memiliki 58 Program Studi dan 14 Fakultas, menempati posisi pertama untuk Program Studi terlengkap dan nomor dua untuk bidang fakultas di Sumatera.

Sementara keinginan luhur DK-Jambi dalam waktu yang bersamaan, terbentur pada surat keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bernomor 1061/E/T/2012, yang melakukan penghentian sementara (moratorium) pendirian dan perubahan bentuk perguruan tinggi serta pembukaan program studi baru yang tekait dengan pendidikan akademik, terhitung mulai tanggal 1 September 2012 sampai dengan paling lambat tanggal 31 Agustus 2014. Di samping itu, tentu disertai pula kendala non teknis, ambil misal, kesiapan Sumber Daya Manusia  (SDM), Anggaran, dan luas Lahan, meski soal yang terakhir ada sinyal positif dari Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus. Semoga dan tentu kita terus berharap pengurus DK-Jambi periode 2015-2020 berhasil mewujudkan cita-cita tersebut. Dan DK-Jambi saat itu mendukung sepenuhnya kehadiran FIB di UNJA.


Kembali ke FIB UNJA

Merujuk penjabaran di atas, terkuak sudah, bahwa sangatlah beralasan bila banyak pihak, terutama masyarakat seni-budaya di Jambi, dan mahasiswa serta dosen berharap ada perbaikan secara fundamental dalam menjalankan “biduk rumah tangga” FIB UNJA. Tersebab di sinilah, apalagi setelah gagasan pendirian Perguruan Tinggi Seni oleh DK-Jambi ‘gagal’, FIB UNJA merupakan salah satu  “kawah cadradimuka” bersama stakeholder lainnya dapat melakukan kerja-kerja strategis, antara lain:

Pertama, mengembangkan penelitian, pengkajian, penciptaan, dan pembinaan potensi seni budaya yang plural dan multikultural, berdasarkan budaya lokal nusantara agar memiliki daya saing dalam percaturan global. Salah satu contoh yang selalu menjadi pertanyaan saya, kenapa tidak ada program studi Melayu yang terkait dengan bahasa, sastra, sejarah, dan budaya, sebagaiman jurusan Sastra Melayu didirikan pada 1987 di Universitas Lampung, tiga tahun setelah Fakultas Ilmu budaya Universitas Lancang Kuning, Riau. 

Kedua, melaksanakan pengabdian untuk kemajuan seni budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi dalam menguatkan masyarakat pendukung seni budaya Jambi. Ketiga, mengembangkan kerjasama antar lembaga, baik di dalam maupun luar negeri, dan unsur-unsur lainnya yang relevan secara berkelanjutan, dan keempat, memantapkan organisasi penyelenggaraan perguruang tinggi (dalam hal ini UNJA dan FIB) dalam mencapai kinerja yang optimal untuk mengantisipasi perkembangan zaman berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan mandiri.

Bertolak dari hal itu, kekisruhan di FIB UNJA bisa menjadi momentum strategis, karena tidak saja fokus pada penyelesaian persoalan teknis-prosedural, tetapi juga berpikir jauh ke depan untuk mengembangkan disiplin keilmuan lainnya, yang merupakan cabang dari rumpun ilmu kebudayaan, yang barangkali dapat menjawab persoalan-persoalan sekaligus tantangan kebudayan dewasa ini baik dalam skala lokal Jambi, regional Sumatera, nasional, hingga ke leval internasional yaitu salah satunya menghadirkan beberapa program studi baru, antara lain Seni Rupa & Desain (Lukis, Patung, Grafis, Kriya, Desain Komunikasi Visual, Desain Interior dan Eksterior, Desain Tekstil); Film & Televisi (Film, Televisi, dan Fotografi); Manajemen & Teknologi Pertunjukan; serta Budaya Melayu Jambi (Sejarah, Adat, dan Sastra Melayu Jambi). Tentu hal itu dengan catatan, dipersiapkan masak-masak sejak awal alias tidak hanya untuk gagah-gagahan, sehingga kemudian didaulat sebagai kampus terlengkap.

Akhirnya, harapan terhadap pembenahan internal sekaligus penguatan eksternal Fakultas Ilmu Budaya UNJA selayaknya kita sambut dengan penuh gembira dan sekaligus kesempatan bagi Rektor terpilih Universitas, Profesor Johni Najwan, unjuk kepiawaian dalam menyelesaikan perkara fundamental dalam tubuh pendidikan UNJA saat ini. Semoga.  

*Tulisan ini pernah terbit di jambiindependent.com (2016) dan dimuat ulang di kajanglako.com

0 Komentar