Budayawan Junaidi T. Noor di Mata Sahabat

 

Budayawan Junaidi T. Noor. Dok. Penulis

Oleh: Jumardi Putra*

Selasa, 10 September 2019, sekira pukul 13.00 WIB, tersiar kabar budayawan Jambi, Junaidi T. Noor, meninggal dunia. Kepergian pria kelahiran Tanjung Karang, 27 April 1947 ini kabar duka bagi masyarakat Jambi, khususya bagi kalangan seni dan birokrasi pemerintahan provinsi Jambi.

Di Jambi, sosok Junaidi T. Noor terbilang familiar. Selain birokrat tulen, dirinya juga dikenal sebagai budayawan yang menaruh perhatian besar pada sejarah dan budaya Jambi. Beberapa karya tulisnya mengangkat pernak-pernik sejarah dan budaya Jambi.

Berikut pendapat dan kesan para sahabat tentang sosok Junaidi T. Noor yang saya himpun dan dimuat pertama kali di portal kajanglako.com pada tanggal 15 September 2019:

- Fauzi Zubir (Perupa)

Beliau empat tahun lebih tua dari saya. Semasa kecil kami sepermainan. Ayahnya, Tajudin Noor, selain seorang tentara, juga piawai menyampaikan pepatah-petitih. Agaknya kemampuan itu menurun pada sosok Junaidi T. Noor. Pertemuan terakhir kami sekira empat bulan lalu di kediamannya. Di sela itu kami sama-sama mengenang masa kecil dan bahkan saat kami purnatugas. Kepergian pak Jun jelas kehilangan bagi kita semua. Kian terkikisnya budaya lokal Jambi merupakan keperihatinan pak Jun. Semoga generasi sekarang meneruskan apa yang telah dikerjakan oleh beliau semasa hidup. Semoga karya-karya pak Jun, yang terserak itu, dapat dikumpulkan dan dapat dibaca secara luas oleh generasi sekarang.

Bambang Budi Utomo (Arkeolog)

Saya kenal pak Junaidi T. Noor dalam kaitannya dengan Situs Muara Jambi. Beliau memang sangat mencintai budaya Jambi,  baik budaya benda (tangible) maupun takbenda (intangible). Dari dua budaya itu beliau bisa saja menyelaraskannya. Meskipun asalnya dari seorang birokrat, tetapi dia sangat menguasai di luar itu. Beruntung saya masih menyimpan tulisan beliau. Jambi kehilangan seorang informan budaya yang berdedikasi.

Pada sosok Junaidi T. Noor, paling tidak, saya melihat dua hal. Pertama, konsistensi, baik sebagai birokrat maupun sebagai budayawan. Kedua, kegigihan. Saya masih ingat betul kegigihan beliau menelusuri sumber-sember sejarah lokal, sebagaimana kita bisa membaca bukunya yang berjudul “Mencari Jejak Sangkakala”. Pada tahun 2000-an itu, beliau tekun menelusuri dan menuliskannya. Salah seorang yang berkontribusi terhadap keinginan Junaidi T. Noor adalah Pak Nasir, kepala museum Siginjei pertama. Boleh dikata almarhum Pak Nasir merupakan salah satu gurunya.

- Mg Aloy (Budayawan)

Sebagai orang yang cukup dekat dengan beliau, saya secara pribadi sangat kehilangan. Salah satu yang menjadi perhatian pak Jun semasa hidup, yakni kita membutuhkan komunitas yang serius menggali dan melestarikan sejarah dan budaya Jambi. Betul, almarhum pernah membuat Jambi Heritage, tetapi boleh dikata belum dapat berbuat banyak. Karena itu, kepergian beliau ini bak alarm bagi seni budaya Jambi. Mari kita bergerak terus. Meneruskan apa yang telah dikerjakan sepenuh hati oleh almarhum semasa hidup.

- Sakti Alam Watir (Seniman dan Fotografer)

Kepergian Pak Junaidi T. Noor tentu kehilangan kita bersama. Di mata saya beliau orang yang jujur, konsisten dan setia. Tak terkecuali selama beliau menempuh jalan seni.

- Deddy Rachmawan (Jurnalis)

Totalitas Pak Jun untuk sejarah dan budaya Jambi tak perlu diragukan lagi. Beberapa pekan sebelum beliau wafat, beliau meluangkan waktu untuk mengisi acara di Museum Perjuangan Rakyat Jambi. Tubuh yang ringkih tidak memberatkan kakinya melangkah dan berbagi pengetahuan. Ialah tempat meminta tunjuk ajar. Ramai negeri dek nan mudo. Elok negeri dek nan tuo. Sungguh kini kita di Jambi mulai kehilangan tuo tengganai tempat betanyo.

- Harkopo Lie (Pemilik Tempoa Gallery dan Museum Bioskop Jambi)

Jujur saya terlambat mengenal Pak Junaidi T. Noor. Tapi saya berkesempatan menimba ilmu padanya. Tak jarang ia memberikan masukan bagi Tempoa Gallery, tempat saya dan kawan-kawan menghadirkan ruang ‘aktualisasi’ seni budaya Jambi. Semoga kepergian beliau melecut semangat kita untuk senantiasa menggali dan melestarikan seni budaya Jambi.

- Karmila (Pengajar Sejarah Universitas Batanghari)

Bagi saya, pak Junaidi adalah maestro yang mencintai sejarah, meskipun sebenarnya bukan sejarawan akademisi. Beliau pribadi yang sederhana, hangat dan menyenangkan pada sesiapa saja untuk sharing tentang apapun. Di samping itu, kecintaannya pada ilmu dan agama, tak lain daripada wujud keseimbangan sebagai makhluk tuhan. Dan itu ia jalani hingga akhir hayatnya.

- Meiliana K. Tansri (Novelis dan Guru)

Pak Jun adalah sosok yang ramah dan tidak pelit ilmu. Saya bertemu dengan beliau dalam beberapa kesempatan, tapi jarang sempat ngobrol karena beliau selalu dikerubungi 'penggemar'. Namun, dari 2-3 kali kesempatan bercakap-cakap, beliau sungguh bersahabat dan sama sekali tidak jaim. Warisan ilmu dan wawasan yang beliau bagikan dengan sangat murah hati, semoga bisa terus terpelihara dan lestari dalam diri generasi muda Jambi.

- Abdul Haviz/Ahok (Aktivis/Pelestari Kawasan Percandian Muarojambi)

Sebagai pribadi saya betul-betul merasa kehilangan. Sehari-hari Pak Junaidi T. Noor saya panggil Datuk. Beliau ini sudah saya anggap seperti orangtua, yang senantiasa menyemangati, memberi arahan, dan bahkan menegur bila ada sesuatu yang tidak tepat dalam langkah-langkah saya. Pesan beliau semasa hidup, yang saya ingat betul, yaitu agar sayo fokus bersama kawan-kawan melestarikan seni, budaya dan peninggalan cagar budaya di Kawasan Percandian Muarojambi. Semoga kepergian beliau menjadi motivasi bagi kita, utamanya saya untuk terus melestarikan kawasan Percandian Muarojambi.

Asyhadi Mufsi Sadzali: Ketua Program Studi Arkeologi FIB UNJA)

Kala berita duka itu tiba, saya tengah diskusi dengan Pemda Tanjung Jabung Timur, terkait konsep seminar dan FGD peradaban maritim pantai timur Jambi pada peringatan hari maritim nasional tanggal 23 Sepetmber. Panitia berencana menghadirkan Pak Jun sebagai salah satu tokoh penggerak sejarah dan budaya Jambi. Tetapi, Tuhan berkehendak lain, beliau dipanggil keharibaanNya sebelum hajat kami dilaksanakan.

Interaksi saya dengan beliau, selain beberapa kali kehadirannya sebagai pembicara seminar di FIB Universitas Jambi pada tahun 2016-2017, juga ketika saya bersama tim pengusulan Raden Mattaher sebagai pahlawan nasional, meminta masukan sekaligus data dari beliau. Pak Jun, selain tegas, menguasai seluk beluk sejarah lokal, juga humoris. Sejak itu, saya menangkap kesan kuat beliu adalah guru penggerak sejarah dan budaya Jambi. Pesan beliau pada generasi sekarang agar mengkaji dan menulis sejarah dan budaya Jambi, sehingga masyarakat Jambi tetap kuat berpijak pada akar identitasnya. Selamat jalan Pak Jun, pengabdianmu hidup dalam keabadian semangat kami.”

- Feerlie Moonthana Indhra (Pengajar dan pegiat sastra).

Mengenang sosokmu, jujur aku bingung, sedih, campur baur jadi satu, tak tahu mesti menceritakan yang mana terlebih dahulu. Sebab terlalu banyak hal baik yang Abang tinggalkan dan sangat lekat dalam ingatan. Terakhir kita bertemu secara langsung, bulan Oktober tahun 2011. Saat itu, HISKI Bungo mengadakan peringatan Bulan Bahasa dan Hari Sumpah Pemuda. Abang datang sebagai narasumber yang membentangkan berbagai bentuk karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang di Provinsi Jambi. Terakhir Abang mengajari guru-guru menulis pantun secara kilat. Sungguh! Saat itu semua merasa bahwa ternyata membuat pantun dalam waktu singkat itu gampang!

Pada kesempatan itu juga, Abang kasih aku buku antologi pantun dengan judul “Pantun Titah”. Di situ banyak karyamu. Kenangan lain yang tak terlupa, namamu terukir jelas di tesisku, karena Abang juga narasumberku pada saat menulis tesis “Krinok; Kajian Struktural Semiotik”. Akh.. Bang, dirimu memang terlalu baik, selalu ingin memberi dan berbagi tanpa mengharapkan balasan atas apa yang telah kau lakukan. Bang, tenang dan damailah kau di sana. Amal dan kebaikanmu, akan jadi selimut dan bantal indahmu. Al Fatihah.”

0 Komentar