Perdebatan di Sekitar Pedestrian Jomblo: Menyusun Ulang Patahan Narasi

Pedestrian Jomblo di Kota Jambi.

Oleh: Jumardi Putra*

Bak Gadis cantik tinggi semampai, “Pedestrian Jomblo", hasil kerja Syarif Fasha, Wali Kota Jambi, menjadi buah bibir di kalangan nitizen. Jejaring sosial seperti facebook menjadi tumpah-ruah oleh urun saran, pujian, kritik, protes, dan bahkan muncul semacam “tunjuk-ajar” berbumbu intrikan.

Kerumunan dalam tarung-pendapat itu, tidak saja datang dari kalangan perorangan, yang beragam latar belakang profesi maupun pendidikan, tapi juga kelembagaan, meski yang terakhir ini, ambil misal, Kantor Bahasa Provinsi Jambi dan Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi), belum menyikapi secara institusional, yang mendasarkan pada hasil kajian. Yang muncul baru sebatas respon sepintas individu peneliti atau pun pengurus di dua lembaga tersebut.
Bagaimana dengan akademisi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jambi, yang “katanya” lumbung pengetahuan budaya (teori-metode=logos)? Tak terdengar riuh-rendah sama sekali. Saya menduga mereka belum sempat dan (mungkin) malas ikut ambil bagian, dikarenakan tengah fokus berbenah diri sejak Rektor Johni Najwan ‘turun tangan’ dan berujung mundurnya sang Dekan (baca di sini: http://kajanglako.com/id-37-post-melampaui-kekisruhan-fib-universitas-jambi.html).

Lalu, bagaimana keberadaan Lembaga Adat Melayu (LAM) Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi? Sampai catatan ini diturunkan, belum tampak sikap atau pernyataan secara resmi, kecuali komentar singkat yang bertebaran di portal berita online belakangan, yaitu pengurus segera mengadakan rapat internal membahas makhluk asing (untuk menyebut Pedestrian Jomblo)  yang nongkrong tepat di hadapan kantor LAM itu. Kenapa lembaga-lembaga tersebut saya ketengahkan? Di kesempatan lain akan saya tulis secara khusus kemudian.

Saya mencatat, tentu tidak menutup kemungkinan terhadap perspektif atau acuan pengelompokan lainnya, bahwa lalu lalang pro-kontra yang menyoal kehadiran “Pedestrian Jomblo” di jalan Jendral Basuki Rahmat Paal Lima, Kotabaru, Kota Jambi itu, bertumpu pada dua pijakan.

Pertama, banyak warga yang menyebut “Pedestrian Jomblo” adalah kerja cerdas sang Wali Kota Jambi, Syarif Fasha. Kedua, sebaliknya, yaitu kerja latah, duplikasi made-in Wali Kota Bandung, yang juga arsitek, Ridwan Kamil, bahkan lebih keras menyebut penamaan taman kota itu, tak lain adalah tuna-bahasa dan budaya.

Mereka yang menyebut sebagai kerja cerdas berkilah, “di tengah minimnya ruang publik di Kota Jambi, kehadiran “Pedestrian Jomblo” tentulah angin segar bagi warga Kota. Tidak saja kaum remaja yang akan memenuhi taman itu saban sore hingga malam, melainkan juga keluarga. Di situ tersedia alat-alat olahraga dan mobil pintar yang menyediakan buku bacaan anak-anak sampai orang dewasa.”
Singkat kata, pandangan kelompok ini segaris dengan pikiran Wali Kota. Dan perlu dicatat, ujar mereka dengan seyakin-yakinnya, menukil perkataan sang Wali Kota di pelbagai media,“Taman Kota yang ada di Tanah Pilih Pusako Betuah saat ini mulai ditata satu per satu dan ditambah jumlahnya”.

Sementara pendapat kedua berhujjah, kehadiran ruang publik tersebut penting bagi warga Kota, tetapi bukan di situ letak persoalannya. Oleh kelompok ini, pelabelan “Pedestrian Jomblo” terhadap taman Kota itu tidak saja “keliru” dari segi tata-bahasa (sesuai kaidah), tetapi sama sekali tidak mewakili identitas Jambi. Bahkan, penggunaan nama “Pedestrian Jomblo” di hadapan Kantor LAM Jambi dinilai tidak etis.

Terhadap “dalil” kelompok kedua itu, saya menangkap kesan sekaligus pesan yang merefleksikan, yakni perlahan-lahan, hubungan antara kota dan warga, yang mulanya ibarat cangkang dan kerang, yang tumbuh kembang bersama (simbiosis-mutualis), mulai tercerabut dari kenangan kolektifnya. Simbol-simbol budaya lokal lenyap tertimbun budaya massa (populer), dan pada puncaknya warga kota terjangkit virus yang lazim disebut historicalloss (pudarnya sejarah).

Di situlah, menurut hemat saya, muasal pro-kontra. Kian ke sini terlihat secara gamblang betapa “Pedestrian Jomblo” tidak saja an-sich soal tata-bahasa (sesuai kaidah), tetapi melompat ke soal-soal fundamental, yang pasca reformasi tidak saja menyembulkan “kegalauan”, tetapi persoalan baru sekaligus multidimensional, yaitu identitas Jambi dalam hubungannya dengan praktek desentralisasi (otonomi daerah), regulasi (Undang-Undang sampai Peraturan Daerah), “ruang publik” (tidak hanya menyangkut sesuatu yang bersifat fisik-spasial-arsitektural, melainkan juga mencakup ranah-ranah kultural, sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya), citra sebagai kota jasa, glokalisasi, pajak dan pendapatan daerah, serta kehendak (untuk menyebut harapan), yang menghubungkan penamaan di tiap-tiap Taman Kota di Jambi pada sejarah dan kenangan masa lalu warganya, bahkan (ada yang berujar) kesejahteraan ekonomi warga sebagai akibat yang ditimbulkannya.

Faktanya, kompleksitas yang menyertai silang-pendapat terhadap “Pedestrian Jomblo” itu berujung pada aksi sumpah-serapah, “logika fallacy”, dan simplifikasi melalui komentar-komentar lepas yang berpretensi menjadi “obat penenang” atau pemikiran “swa-bantu” semata, sehingga gagal sampai pada tahap “diagnosa” penyakit kronis yang tengah diidap Kota Jambi, yang katanya jauh lebih tua dari Batavia itu.

Semua tergesa-gesa menghadirkan jawaban, sehingga cukup sulit membedakan antara wacana kebudayaan (reflektif-mendalam) dengan politik para elit yang lebih menekankan laku dan analisa akrobatiknya. Tak pelak, situasi itu mengingatkan saya pada refleksi filusuf Th. Sumartana, "Wacana politik kita adalah wacana tentang jawaban. Jawaban yang didesakkan layaknya dogma. Dunia politik kita adalah dunia yang ribut kata dan kuasa, jauh dari dunia berfikir dan kontemplasi. Yang tinggal hanyalah aktifisme, dan aktifisme agenda seolah-olah jawaban sudah ada dan kita hafal dengan jawaban dan tidak peduli dengan pertanyaan". (interfidei, 2001)

Muncul semacam gugatan kecil di lubuk hati saya, “Lalu apa bedanya kelompok kedua yang getol mempersoalkan penamaan “Pedestrian Jomblo” dengan kelompok ketiga, yang datang kemudian secara bersamaan (meski tidak diundang), yang urusannya cuma satu, yaitu sekadar ikut-ikutan bak memancing ikan di air keruh alias tanpa jelas ujung-pangkalnya”. Atau yang belakangan secara gamblang disebut kelompok “kemasan baru”, tapi “stok lama”, yang tujuannya sekadar cari “lokak” dalam urusan-urusan kepublikan. Nah, njelimet!

Sependek yang saya tahu, terhadap polemik“Pedestrian Jomblo”, kecuali gugatan soal bahasa di ruang publik agar sesuai kaidah (dan itu tupoksi Kantor Bahasa Jambi), tidak (atau belum) ditemukan pemikiran (untuk menyebut tulisan), yang berhasil menghubungkan satu perkara dengan hal lainnya ke dalam satu “kegelisahan" bersifat impersonal, apa di tengah semua ini? Mana pangkal, ujung, dan periferi? Yang menyeruap justru saling bertabrakan dan cenderung menerapung di wilayah permukaan.

Atas dasar itu, saya mengambil sikap. Pertama, tidak akan “menyoal” kelompok pertama, karena memang sejak awal, mereka lebih menekankan fungsionalitas taman ketimbang menjelaskan secara memadai apa dan kenapa “Pedestrian Jomblo” disematkan pada taman Kota tersebut.

Saat bersamaan, akibat ketidakmampuan menghadirkan jawaban, kelompok ini secara tidak langsung mengakui ada yang “tidak beres” pada penamaan tersebut, tapi mereka berusaha menutup itu dengan pelbagai argumentasi yang dipaksakan. Hal itu persis terjadi pada diri sang Wali Kota. Tak ada alasan darinya yang berhasil meyakinkan warga, terutama kepada para “penantang” (kelompok kedua), yang sejak awal konsisten menyoal nama taman di Jalan Basuki Rahmat itu.

Belakangan, mulai muncul semacam apologia, bahwa pemberian kata “Jomblo” pada taman itu, tak lain usaha untuk “melek” kekinian, sadar informatika, dan akrab bersama kaum muda. Terhadap pendapat itu, saya hanya memutar ulang adigium berikut ini,  “Lebih dekat dengan segala bentuk kekinian (termasuk kesenangan) bukanlah sebuah dosa, tapi kontemplasi akan memberi kita makna, termasuk untuk apa kekinian (dengan segala “tetek-bengeknya”) itu ada?

Kedua, secara substansial, terutama pada soal penamaan, kegelisahan saya tidaklah berbeda dengan kelompok kedua. Titik! Hanya bagi saya, persoalan tidak berhenti sampai di situ, soal bahasa (sesuai kaidah). Justru terhadap kelompok kedua saya berlaku “kontra", karena ingin mengembalikan tafsir-tafsir (pembacaan) yang kian melebar, sebagaimana tersebut di atas, pada sebuah sikap tegas, yang tidak saja didukung oleh pendasaran argumentasi dan data yang kuat, tetapi juga komentar-komentar lepas itu diharapkan menjelma ke dalam arus pemikiran yang komprehensif, yang kemudian berhasil diterjemahkan ke dalam aksi-aksi kongkrit, serta memperlihatkan secara jelas, di mana posisi kebudayaan dalam pembangun(isme) Kota Jambi dewasa ini, dan langkah selanjutnya, dari mana langkah itu mulai diayunkan?.

Masih dalam satu tarikan nafas dengan hal di atas, dalam sebuah catatan kebudayaannya, “Kembali ke Dalam Diri” (2012), budayawan Acep Iwan Saidi secara bernas merefleksikan, “Jaringan kapital, kita tahu, tidak pernah terokalisir dalam batas yang tegas dan jelas. Alih-alih demikian, permainan kapital adalah tarian dari tangan gurita yang menembus segala pembatas. Lantas di manakah posisi kebudayaan”.

Sehingga apa hal itu menjadi urgen? Untuk keluar dari malapetaka sedemikian (saya menyebutnya limbah kebudayaan global), suka atau tidak suka, kita harus mengubah cara melangkah. Kita harus mengayun kaki ke belakang sebelum melangkah ke depan. Ini mungkin akan terasa lambat, tapi itulah harga mahal yang harus dibayar: kesabaran untuk menghindar dari godaan kesegeraan.

Kita mesti menyediakan waktu untuk sebenar-benarnya pulang ke dalam “diri”, menyusun ulang patahan-patahan narasi kebudayaan Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi, di tengah kekalahan kesadaran manusia atas logika terhadap nafsu industri (pembangunan) yang gigantik. Lebih lanjut lihat tulisan saya bertajuk: Jambi Emas dan Kebudayaan yang Teralienasi, Gurita Mall di Tanah Pilih, dan Anomali Tanah Pilih Pusako Betuah Kota Jambi, dalam buku “Kami Tahu Mesin Berhenti, Sebab Kami Nyawa yang Menggerakkannya” (Diandra, Yogyakarta, 2014).

Ketiga, “bersikap adillah” terhadap SY. Fasha. Apa pasal? Saya sama sekali tidak kenal secara pribadi Waki Kota kita ini, dan saya menyadari bahwa sang Wali Kota Jambi bersama wakilnya, Abdul Sani, belum memiliki gagasan mengenai pembangunan yang beriringan dengan (dan dalam) jagad kebudayaan. Dalam pembangunan, kebudayaan bukan subordinat. Bukan pinggiran. Jelas, karena itu menuntut ia “berpihak” terhadap kebudayaan Jambi serasa permintaan yang “mengada-ada” (kalau bukan berlebihan).

Dalam situasi itu, apa yang relevan dan segera dilakukan. Saya teringat penggalan puisi Ook Nugroho (2009), Kami akan pergi/Kembali pada sungai/Sebab mereka paham/Arah ke muara. Maka, mengacu pada kata “muara”, di situlah, hemat saya, kebudayaan (gugusan ide/norma/nilai-nilai, etika, dan estetika) yang menjadi basis bagi kerja-kerja penyelenggaraan substansi demokrasi dalam berkeseharian, bernegara dan berbangsa, yakni-pinjam ungkapan “kuncen budya” Radhar Panca Dahana-sebagai proses pengabdian dan pengadaban negeri.

Barangkali, di situlah masing-masing kita, warga Kota Jambi, terutama yang menaruh perhatian pada isu-isu kebudayaan, berikhtiar secara suntuk untuk menghadirkan pemikiran yang disertai tindakan riil kepada pemimpin yang dimandatkan oleh rakyatnya melalui sistem dan instrumen demokrasi yang berjalan sejak pasca reformasi.

Selanjutnya, setelah tumbuh kesadaran bahwa kebudayaan sebagai laku keseharian (cultura dan cultis), dalam konteks kehidupan berbangsa (dalam hal ini, kita warga kota) tetap dibutuhkan sebuah orientasi (memuat visi perubahan dan arah perkembangan budaya yang mau dirancang). Karena itu, kerja ini membutuhkan “nahkoda”, yakni seorang figur yang tepercaya, pemimpin besar, yang tentu saja harus memiliki “kepekaan budaya”, yang tinggi sehingga dengan begitu ia bisa menggunakan kebudayaan itu sendiri sebagai sebuah pendekatan dalam menerapkan segala kebijakannya, tak terkecuali soal penataan ruang publik bagi warga Kota Jambi.

Demikian, tentu pembicaraan ini (semoga bukan bualan) tidak akan pernah tuntas. Tetapi meskipun narasi tidak harus ditutup-rapat, perbincangan mesti menegaskan sebuah jeda, semacam kesimpulan sementara: tak ada peradaban yang dibangun dalam satu malam. Tak ada perjuangan menuju kemandirian bangsa (dalam hal ini, Kota Jambi) yang dipersingkat oleh sebuah rezim. Tak ada yang instan. Semua mesti direncanakan dan diagendakan. Filsuf-cum-novelis Prancis, Albert Camus, secara jernih mengatakan, “kehidupan adalah hasil penjumlahan dari semua yang kita pilih”.

Akhirnya, upaya menyusun ulang patahan-patahan narasi tentang Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi, di “kampung” global saat ini, tidak lain, tidak bukan, adalah sebuah upaya menghadirkan masa silam dan kekinian dalam bingkai semangat kewargaan, keseimbangan lingkungan, kohesi sosial, kebangunan seni-budaya, kemajuan yang tidak diskriminatif serta berkelanjutan, yang kesemuanya berujung pada perasaan bangga segenap warga kota, dan karena itu tiada henti menyeru kebaikan bersama (bonum commune).

*Tulisan ini sebelumnya terbitnya di Jambi Independent (3 April 2016) dengan judul Mulanya Nama pada Sebuah Taman Kota: menyusun ulang patahan narasi.

0 Komentar