Datoe Padoeko Ningsoen dan Puteri Ki Demang Lebar Doen dari Palembang

Ilustrasi. Tepian Batanghari
Oleh: Jumardi Putra*

Seri terakhir dari catatan antropolog Frieda Amran, Minggu, 28 Januari 2018, yang bertiti-mangsa pada sosok Tan Telanie (merujuk teks asli dalam naskah berbahasa Belanda), dan hubungannya dengan kerajaan di luar Jambi (baca catatan pekan-pekan sebelumnya di rubrik Telusur), menarik perhatian saya.

Bagi orang Jambi, Tun Telanie tak lah asing. Namanya akrab ditulis dan dilisankan sebagai Tun Telanai. Ia adalah sosok penanda masa awal kerajaan Jambi, lalu “hilang” hingga kemudian sampailah pada Ahmad Salim bergelar Datoek Padoeko Berhalo sebagai moyang dari Raja-raja Jambi setelahnya.

Dalam tulisan kali ini, selain pertempuran antara Putra Mahkota dengan Tan Telanie (buah tindakan Tan Telanie yang tidak mengakuinya sebagai anak sah), yang juga menarik perhatian saya adalah siapa sebenarnya Datoek Padoeko Ningsoen dan Puteri Ki Demang Lebar Daoen, penguasa Palembang? Jika mengikuti alur catatan Frieda, maka Orang Kayo Hitam bersaudara adalah cucu dari Datoek Padoeko Berhalo dan anak dari pasangan Datoek Padoeko Ningsoen dan puteri Ki Demang Lebar Daoen dari Palembang. Dengan kata lain, Padoeko Berhala bukan bapak melainkan kakek.

Sementara dalam banyak cerita dari generasi ke generasi dan sumber silsilah Raja-Raja Jambi, Padoeko Berhalo mengangkat dirinya sebagai Raja di Pulau Berhalo (Tanjung Jabung) yang menikah dengan Puteri Selaras Pinang Masak dari Pagaruyung. Buah pernikahan mereka adalah empat orang anak, yaitu Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Gemuk dan Orang Kayo Hitam.
Betulkah Datoek Padoeko Ningsoen anak dari Padoeko Berhalo dan pelanjut tahta raja Jambi usai Padoeko Berhalo meninggal? Siapa sebenarnya anak perempuan dari Ki Demang Lebar Daoen itu? Apakah Datoek Padoeko Ningsoen penguasa Jambi yang lain dalam masa yang sama? Bagaimana konteks pernikahan mereka dalam hubungan Jambi dan Palembang masa itu? Bahwa kemudian relasi antara Jambi dan Palembang, selain soal penaklukan antar wilayah, juga terjadi pernikahan politik yang tidak terelakkan dalam rentang waktu yang sama, adalah peristiwa yang tercatat dalam sejarah perkembangan Jambi. Demikian juga tradisi membayar upeti ke Mataram, sebagaimana titah Padoeko Berhalo pada Orang Kayo Pingai sebagai pelanjut tahta kerajaan Jambi hingga datang pemberontakan oleh Rang Kayo Hitam (muda) adalah plot yang tidak menyebutkan sosok Datoek Padoeko Ningsoen di dalamnya, dan rentetan pertanyaan lainnya.

Tentu tidak mudah menjawab dengan cepat perkara ini. Selain kurun waktu yang begitu jauh dari masa sekarang, juga sumber tertulis yang minim. Sebagai pemantik diskusi, bahkan penelitian, tentu kita semua bersepakat catatan Frieda ini bisa digunakan untuk penelusuran lebih lanjut. Apa sebab? Agar teks asli rujukan tampil utuh, pendekatan penulisan yang digunakan oleh Frieda Amran di rubrik Telusur Kajanglako.com adalah tidak melakukan interpretasi pada naskah berbahasa Belanda tentang Jambi, sehingga dapat berguna bagi sesiapa saja dalam melakukan penelusuran lebih lanjut.

Sekadar penelusuran singkat, saya mencoba merujuk Undang-undang Piagam Pencacahan Jambi (UPPJ. Naskah tersebut ditulis pada 1 Rabi’ al-Akhir tahun 1317/1900 atas perintah Sulthan Thaha Saifuddin (w. 1904)) dan Ini Sajarah Kerajaan Jambi dari Abad ke-700 Hijrah (ISKJ), yang keduanya merupakan naskah melayu, yang menceritakan mengenai sejarah negeri Jambi. Naskah tersebut ditulis oleh Ngebih Sutho Digolo Priyai Rajo Pembesar Kerajaan Sari Yang Dua Belas Bangsa Keturunan Orang Kayo Pingai bin Datoek Paduko Berhalo pada paruh kedua abad XIX.

Kisah-kisah yang terdapat di dalam ISKJ adalah (1) Silsilah Raja-raja Jambi, (2) Keturunan orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa, (3) Asal-usul ”Tanah Pilih”, (4) Undang-undang dan Hukum Adat, (5) Beberapa Piagam atau Surat tentang pemberian wewenang dan penentuan batas wilayah, dan (6) Legenda tentang Dewa Sekarabah, Si Pahit Lidah, dan Tun Telanai. Sedangkan UPPJ membagi sejarah Jambi dalam tiga babakan. Bahagian pertama, Jambi di zaman sejarah awal yang mengisahkan tentang Dewa Sekarabah yang sakti dan menterinya bernama Mata Empat. Babakan kedua mengisahkan tentang Jambi di masa Hindu, dan babakan ketiga mengisahkan tentang sejarah Jambi memasuki era Islam. Oleh karena itu pada halaman ini dimulai dengan ucapan Basmalah.

Salah satu pasal yang secara jelas menunjukkan estapet kekuasaan Jambi dalam Silsilah Raja-Raja Jambi, yang menunjukkan terjadi penyerbukan dari beragam entitas etnis dan budaya, seperti berikut ini:

"Diceritakan bahwa pada kurun waktu berikutnya bangsawan dari Turki datang ke pulau berhala dan menjadi raja di pulau ini dan dikenal dengan sebutan Datuk Paduka Berhala. Sebelum meninggal ia berpesan kepada puteranya, Datuk Paduka Ningsun, agar mengantarkan persembahan kepada Sultan Mantaram setahun sekali".

Dari situ diterangkan bahwa Datuk Paduka Berhala merintis kesultanan Melayu Jambi. Dia tidak lahir di Jambi. Tidak pula berdarah Jambi. Dia bangsawan dari Turki yang kemudian menjadi raja di Jambi. Pada masa jauh sebelum itu, Jambi dirajai oleh Tun Telanai. Datuk Paduka Berhala disebut-sebut sebagai moyang Sultan-sultan Jambi.

Selain mengintegrasikan unsur Turki ke dalam identitas Melayu Jambi, naskah itu juga menggambarkan bahwa Minangkabau dan Melayu Pelembang merupakan dua unsur ‘asing’ yang bersama-sama membangun identitas Melayu Jambi.

Seorang penguasa Jambi menikahi Puteri Pinang Masak, anak perempuan Yang Dipertuan Pagar Ruyung. Perkawinan keduanya menjadi cikal-bakal berdirinya sebuah kesultanan dan silsilah raja-raja Jambi. Di dalam naskah Ini Sajarah Kerajaan Jambi dari Abad ke-700 Hijrah (ISKJ) secara jelas disebutkan susunan Raja-Raja Jambi berawal dari Datuk Paduka Berhala, yang berasal dari Turki dan Putri Selaras Pinang Masak, yang berasal dari Minangkabau, sampai kepada Sulthan Thaha. Lebih jauh tentang asal-usul silsilah sultan-sultan Jambi, lihat Ali Muzakir dkk., “Sejarah Kesultanan Jambi dalam Konteks Nusantara,” Laporan Penelitian Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis Keagamaan, Balibang Departemen Agama RI, 2010.

Di samping itu, penguasa Jambi yang lain menikahi puteri Demang Lebar Daun, penguasa Palembang. Dengan pernikahan ‘politik’ itu, darah sultan-sultan Jambi, yang seringkali dianggap sebagai representasi dari kemurnian darah Melayu Jambi, senyatanya merupakan penyerbukan budaya dari beragam identitas.

Berikut lanjutan dalam pasal yang sama:

"Datuk Paduka Ningsun menjadi raja setelah ayahnya meninggal. Ia menikah dengan seorang puteri Ki Demang Lebar Daun dari Palembang. Pada saat menjadi raja, Datuk Paduka Ningsun berpindah nagari ke Ujung Jabung. Ia dikaruniai empat orang anak, yaitu Orang Kaya Itam, Orang Kaya Pingai, Orang Kaya Pedataran, dan Orang Kaya Gemuk".

Dua pasal di atas, dalam makna sederhana, hemat saya, yaitu selain mengintegrasikan unsur Turki ke dalam identitas Melayu Jambi, naskah itu juga menggambarkan bahwa Minangkabau dan Melayu Pelembang merupakan dua unsur asing yang bersama-sama membangun identitas Melayu Jambi.
Namun demikian, saya tetap belum sepenuhnya mendapat data menyeluruh mengeni identitas Datoek Padoeka Ningsoen dan puteri dari Demang Lebar Daoen, sehingga mereka memiliki empat anak, sebagaimana juga kita temukan keempat nama anak yang sama, buah dari pernikahan antar Datoek Padoeko Berhalo dengan Putri Selaras Pinang Masak? Benarkah ia penguasa Jambi yang lain dalam rentang waktu yang sama dengan Paduka Berhala dan Putri Selaras Pinang Masak? Atau memang ia adalah orang tua dari Orang Kayo Hitam bersaudara, sehingga Paduka Berhalo jatuh sebagai kakek dan bukan bapak dari mereka, sebagaimana dipahami publik selama ini?

*Tulisan ini pernah terbit di portal kajanglako.com pada tanggal 2 Februari 2018.

0 Komentar