Oleh: Jumardi Putra*
Mei 2016 terbit buku bertajuk Dongeng Negeri
Kita: Antologi Cerita Rakyat Nusantara (An Antology of Nusantara Folktales), yang diprakarsai Padasan dan Lembaga Seni & Sastra Reboang. Buku tersebut diluncurkan di Gothe Institute,
Jakarta.
Saya pribadi merasa bahagia lantaran turut menjadi salah satu penulis
dalam buku dengan sajian dua bahasa (Indonesia-Inggris) tersebut yaitu menulis
kembali cerita rakyat dari Dusun Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, yang bertajuk
Tuah Burung Pamenan.
Kritikus sastra Maman S. Mahayana dan antropolog cum naratolog Kris Budiman, dalam prolognya mengatakan meski terdapat kerancuan kategorial antara batas wilayah budaya sebagai satuan geografis-administratif (provinsi), area kultural, atau kelompok etnis, inilah himpunan cerita rakyat paling lengkap mewakili Nusantara dewasa ini. Terbentang kearifan lokal dengan segala warna tempatan yang tak sekedar mengangkat sisi eksotismenya, melainkan juga spirit budaya yang penuh kejutan dan keajaiban.
Cerita rakyat Jambi berdialek Seberang itu, merujuk pendapat William R. Bascom (1965), terdiri dari mite, legenda, dan dongeng. Maka tidak perlu terkejut bila berjumpa dengan kisah-kisah beraroma magis. Tidak cuma itu, ada pula peristiwa yang memerankan tokoh binatang (Kecerdikan Kancil 1 & 2, hal. 5-13 dan Dongeng Kambing Buta dan Kancil, hal. 23-25), atau makhluk lain dengan segala personifikasnya (Anak Kambing dan Anak Harimau, hal. 29-41, dan Lang Kunduk, hal.2-3), serta kisah-kisah yang berujung bahagia, tragis, sekaligus menyentil nurani (Batu Belah Batu Bertangkup, hal. 74-80) dan Cerita Orang Tua yang Meninggalkan Harta untuk Anak-anaknya, hal. 49-67).
Cerita-cerita dalam buku terbitan Masyarakat Linguistik
Indonesia (MLI) itu dikumpulkan sebagai bagian dari sebuah proyek penelitian
bahasa yang dilakukan pada tahun 2005-2009 oleh empat peneliti, yakni Yanti
(Unika Atmajaya Jakarta), Uri Tadmor (University of Hawaii), Peter Cole dan
Gabriel Hermon (University of Delaware).
Kehadiran buku langka ini merupakan “kejutan” bagi saya pribadi. Apa pasal? Ke-11 cerita rakyat ini bak mengangkat batang terendam. Kita berhadapan dengan cerita rakyat yang tidak populer, tetapi penting untuk wilayah budaya tempatan. Jadi, dalam buku ini pembaca tidak akan berjumpa dengan kisah Orang Kayo Hitam, Putri Pinang Masak, Putri Tangguk, Si Kelingking, atau cerita-cerita lain yang sudah banyak dibukukan.
Namun, usai menghatam buku ini ada kekurangan atau harapan yang semestinya dapat dipenuhi. Berikut beberapa catatan yang dapat saya ketengahkan. Pertama, dari sisi teknik penyajian, ke-11 cerita dihidangkan dengan gaya bahasa klise, padahal terbuka kesempatan bagi para penulis menggali lebih dalam dan melakukan eksperimen yang menyegarkan.
Kecenderungan ini mudah kita baca pada bagaimana cerita dihidangkan kembali, antara lain pada cara membukanya, Tersebutlah pada zaman dahulu kala. Demikian cerita yang bertajuk Lang Kuduk, (hal. 2-3), Lebang Sialang (hal.18), dan lain-lain. Sementara di bagian lain, juru cerita mengawali kisah secara deskriptif dengan rona geografis dan historis. Kita bisa menemukan kecenderungan ini, antara lain dalam Datuk Sintai danPacinan (hal.69), Asal Mula Mudung Laut dan Mudung Darat (hal.15).
Dalam konteks itu, penyajian kembali cerita rakyat dihadapkan pada satu dilema yaitu kesetiaan pada versi asli. Antropolog Lono Simatupang secara kritis mendedah tentang tulis vs lisan, seperti dalam dua tulisannya yang bertajuk Tradisi Lisan: Konsep, teori, dan metode penelitiannya (2010) serta Cerita Rakyat: Strategi-strategi penelitian dan penulisan laporannya (2011) yang tehimpun dalam buku bertajuk Pergelaran, Jalasutra, 2013). Pun begitu bila kita merujuk buku babon perihal kelisanan dan keaksaran (Orality and Literacy), buah karya Walter J. Ong (1982).
Meski masihlah problematis, saya memandang semangat
inovatif yang kerap menjadi medan bagi sastrawan (dan seniman) pada umumnya
adalah “jalan lain” yang bisa ditempuh. Upaya tersebut tidak dalam pengertian
pertarungan yang berujung kalah-menang atau pun reduksioner antara tradisi
lisan dan tulis, melainkan relasioner. Apa pasal? Di situlah cerita rakyat yang
lazimnya hadir dengan serangkaian gaya bahasa klise dan penyajian peristiwa
yang bertele-tele, bisa menjadi kisah yang renyah dan menawan.
Merujuk Maman S. Mahayana (Dongeng Negeri Kita, 2015), cara penceritaan yang renyah dan menawan itulah sesunggunya hal yang penting dilakukan bagi usaha melakukan transformasi dari cerita rakyat sebagai bagian dari tradisi lisan menjadi teks yang bergerak dalam wilayah keberaksaraan.
Kedua, desain buku baik tampilan luar maupun isi, belum mendapat sentuhan maksimal sehingga sulit menarik perhatian pembaca. Hal itu dikarenakan pilihan ukuran buku, susunan tulisan, dan ilustrasi yang kurang memadai serta simbol angka di setiap paragraf cerita. Bahkan, beberapa motif batik Jambi atau pun alat-alat tradional Melayu Jambi yang tersaji di dalam buku ini tidak memiliki hubungan secara langsung terhadap isi kandungan cerita.
Meski begitu, harapan terhadap penyempurnaan buku ini tidaklah mengurangi keistimewaannya, mengingat sedari awal merupakan bagian dari kajian kebahasaan sebagai sebuah disipilin kelimuan, sehingga bobot naratifnya belum mendapat sentuhan imajinatif dan seperangkat teknik penceritaan yang menyegarkan. Uniknya, tidak saja memuat cerita dalam bahasa aslinya, selain bahasa Indonesia dan Inggris, buku ini juga menempatkan penanda linguistik dan deskripsi pada ejaan (orthography) bahasa asli daerah tempatan, serta penyusunan abjad yang digunakan di dalam transkripsi berdasarkan analisis fonemik. Tidak hanya itu, parser otomatis yang dikembangkan oleh Bradley Taylor membantu dalam analisis morfologis dan glosari dalam tiga bahasa yaitu dialek seberang, Indonesia, dan Inggris, berguna bagi kerja-kerja penelitian bahasa berikutnya.
Nah, dalam banyak forum kesuastraan, pertanyaan yang segera
muncul adalah: apa urgensi cerita-cerita rakyat dihadirkan di tengah kemajuan
teknologi yang berlari kencang saat ini? Sebagai karya kreatif, cerita rakyat,
seperti juga bentuk ekspresi seni lainnya, mengetengahkan hiburan dan sekaligus
wahana pendidikan, ajaran moral dan etika, bahkan juga pengetahuan.
Bertolak dari hal itu, glokalisasi cerita rakyat Jambi (dialek Seberang) sebagai “duta wisata” saya pikir sangat beralasan. Gagasan tersebut membuka ruang baru pada cerita-cerita rakyat maupun teks sastra pada umumnya melompat lebih jauh, tidak saja keluar dari kejumudaan instrumen intrinsik-struktural, tetapi juga kesanggupan membangun relasi yang berkesadaran dengan ruang hidup dan ingatan kolektif dari seluruh warganya sebagai karya seni sosial.
Frasa cerita rakyat sebagai “duta wisata” bukanlah sesuatu yang berlebihan. Itulah mengapa, dalam perjalanan bangsa-bangsa besar, sastra (puisi, prosa dan naskah drama) menjadi salah satu nilai yang bisa memberi kesan tentang kemajuan kebudayaan di negara itu, sebut saja Turki yang menghormati Tokoh sufi Jalaludin Rumi, Inggris yang sangat membanggakan Shakespeare, bangsa Amerika membanggakan Robert Frost dan Ernest Hemingways, dan bangsa Pakistan sangat menghormati Mohammad Iqbal. Pun begitu Malioboro yang dikenal luas hari ini justru ikut dibesarkan oleh para sastrawan.
Dengan demikian, ketika berkunjung ke Tanah Pilih Pusako Betuah, kota Jambi, para pelancong tidak sebatas menggugurkan ketakjuban pada Kawasan Percandian Muarojambi, tetapi juga menyauk pluralitas Seberang. Kawasan majemuk yang menyimpan berlimpah tradisi lisan dan karya-karya monumental lainnya.
*Tulisan ini pernah terbit di portal kajanglako.com pada tanggal 27 September 2017.
0 Komentar