Jejak Goresan Pena Lebih Abadi, Suara Lidah Sering Bagai Ngigau

ilustrasi.

Oleh: Jumardi Putra*

“Al Qalam abqa atsaran wa al-lisan aktsar hadzaran” (Jejak goresan pena lebih abadi, suara lidah sering bagai ngigau). Penggalan puisi al Jahiz itu senafas dengan keyakinan Bud Gadner, yakni ketika kamu bicara kata-katamu hanya bergaung ke seberang ruangan atau di sepanjang koridor. Tetapi ketika kamu menulis, kata-kata bergaung sepanjang zaman.

Sesederhana itukah mewujudkan gagasan ke dalam tulisan? Faktanya hingga kini menulis masih menjadi momok bagi sebagian orang, seperti digambarkan esais Muhidin M Dahlan, “Banyak orang yang bercita-cita menjadi penulis, tapi lebih banyak lagi yang terantuk sedikit saja terus meringis cengeng. Mereka mengeluh tak bisa menulis karena kesibukan ini dan keruwetan itu”.

Dalam proses kreatif kepenulisan kita bisa belajar pada mendiang Ahmad Wahib, yang dikenal luas melalui catatan harian tentang pengalaman religiusnya sehari-hari mencari Tuhan, berpacaran, kuliah, dan bergumul bersama masyarakat. Kita juga bisa mencontoh Soe Hok Gie, yang piawai menulis kolom menyangkut sejarah dan politik di masanya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian tercatat dalam catatan harian.

Selain mereka berdua, sosok Anne Frank juga tepat. Perempuan dari keluarga biasa ini berhasil menarik perhatian dunia melalui catatan hariannya, yang menjadi rujukan kesaksian kemanusiaan atas tragedi pembantaian orang-orang Yahudi pada Perang Dunia ke-2.

Bukankah nama-nama di atas memulai dari hal yang sederhana, yaitu catatan harian? Ya. Akan tetapi mereka menyadari bahwa setiap tujuan mempunyai label “harga”. Dengan kata lain, karcis masuk ke dunia tulis-menulis tak pernah gratis. Banyak hal yang harus dilakukan, seperti membaca buku, diskusi, berlatih menulis, dan usaha-usaha sejenis lainnya.

Nah, apa yang dilakukan Ahmad Wahib, Soe Hok Gie dan Anne Frank, juga akan kita temukan pada kisah beberapa penulis besar yang termuat dalam buku bertajuk Chicken Soup for the Writer’s Soul (Gramedia, 2007). Sebuah buku bergaya esai yang mengisahkan jerih payah menjadi penulis terkenal, yang bermula dari catatan harian, kerja keras, dan duka cita karena mengalami berkali-kali penolakan dari media.

Melalui buku ini kita mengetahui betapa seorang Genre Perret berlatih menulis ratusan lelucon untuk Bob-Hope, seorang yang ia kagumi dan selalu dijadikan referensi dalam melatih dirinya sebagai penulis komedian. Ia menganalisis semua monolog dari Bop-Hope di televisi, mulai dari bentuk, kata-kata, irama, dan pengaturan penyampaian dalam sebuah penampilan. Sampai pada akhirnya, setelah berjalan melewati sebagai komedi lokal, ia pun diminta oleh Bob-Hope mengisi acara Academy Award. Sontak, ia dikenal oleh masyarakat dunia sebagai penulis komedi dan penghibur terbaik dunia (hal 26-28).

Hal menarik lainnya kita temukan pada diri Kate M. Brausen (hal 22-25). Saat kondisi fisiknya tak sempurna, ia mampu menjadi penulis lepas full-time, meski awalnya sebatas menulis sesuatu yang ia rasakan ketika kakinya tak lagi berfungsi.

Ia memulai menulis justru diawali merinci setiap hal yang terpikir olehnya, ambil misal, tentang pohon yang semasa kecil menjadi tempat ia bermain. Mulai dari menggambar kulit pohon yang kasar di punggungnya, bunyi derak cabang sarat daun yang berayun-ayun tertiup angin dan noktah sinar matahari sore memancari tangan-tangannya dalam perjalanan menuju dedaunan yang bergemerisik. Kemudian, ia memutuskan untuk mencoba menulis puisi lagi, yang menggambarkan siksaan rasa takut terhadap kondisi fisiknya yang terus menurun. Puncaknya, berkat kerja keras ia berhasil dan begitu seterusnya.

Sejatinya, kisah para penulis di atas menunjukkan kepada kita, gabungan antara ketekunan dan pengalaman sehari-sehari dapat menjadi modal bagi sesiapa saja untuk menghasilkan karya-karya bagus. Hal ini sejalan yang dikatakan sastrawan garda depan Indonesia mendiang Pramoedya Ananta Toer, “Setiap pengalaman yang tidak dinilai, baik oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain, akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal, setiap pengalaman tak lain daripada fondasi kehidupan. Maka, belajarlah kau menilai pengalamanmu sendiri.”

Dengan demikian, kisah-kisah meraih impian menjadi penulis ini mengajarkan kita agar tekun mencari ide, tidak putus asa bila tulisan ditolak berbagai media, hingga impian menjadi penulis itu benar-benar terwujud. Kemudian jangan lupa mencintainya, karena tulisan itu abadi, sementara lisan cepat berlalu bersama derai angin (scripta manent verba volant).

*Tulisan ini pernah terbit di kajanglako.com pada tanggal 22 Mei 2018 dengan judul "Karena Tulisan itu Abadi, Sementara Lisan Cepat Berlalu Bersama Derai Angin".

0 Komentar