Bokong Truk Adalah Wajah Kita


Oleh: Jumardi Putra*

“Beratnya muatanku tak seberat rinduku padamu,” begitu teks di bokong sebuah truk saya jumpai saat menuju Kota berjuluk Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun, Kabupaten Bungo, belum lama ini.

Peristiwa serupa kerap saya dapati saat bepergian ke daerah-daerah dalam provinsi Jambi. Begitu juga suatu kali saat penulis menempuh perjalanan dari Semarang menuju Blora, Rembang, Jepara, Kudus, dan kembali lagi ke ibukota yang dikenal luas dengan Museum Lawang Sewu itu.

Agaknya berpapasan dengan bodi truk bertuliskan kata-kata lucu, ironi, sensasional, nakal dan penuh intrik, tak lain itu adalah kisah seru sebuah perjalanan. Acapkali kita dibuat terperangah, terhibur, atau bahkan tersindir oleh kata-kata tersebut.

Tak jarang saya mesti menguntit sebuah truk sampai mendapatkan foto teks dalam posisi ideal. Terkadang saya harus meminta izin pada sopir. Terang saja sang sopir menunjukkan raut wajah keheranan, meski berakhir dengan senyuman.

Pengalaman demikian itu seolah menyiangi pandangan sebagian orang perihal kesan negatif truk di jalanan, lebih-lebih konvoi truk pengangkut Batubara yang muatannya melebihi tonase yang dapat merusak jalan, lajunya yang kencang membuat pengendara lain tak tenang, dan bahkan telah memakan tidak sedikit korban.

Tersebab menggunakan kendaraan travel menuju Kota Bungo, sudah barang tentu saya berinteraksi dengan penumpang lainnya. Rupanya Andre, salah seorang penumpang juga menyimpan ceritera serupa berkaitan teks di badan truk.

“Bila sopir kawin lagi, silahkan menghubungi no hp +6852….”

“Bukan salah ibu mengandung, salah bapak nggak pake sarung”;

“Jangan dinikahi bila segel rusak”

“Dah lama gak gitu, eh pas gitu gak lama”, dan

“Cintamu tak semurni bensinku”.

Demikian Andre membacakan beberapa potong teks di pantat truk yang membuat kami semobil dibuat tertawa terpingkal-pingkal.

Kita sebut fenomena ini sebagai apa? Sebagian besar dari kita, jauh sebelum jalur penerbangan menjadi primadona transportasi publik, jalan darat dengan segala pernak-perniknya menyimpan banyak cerita, salah satunya menjumpai teks-teks di bokong dan badan truk. Hanya saja sekarang ini sudah jauh berkurang.

Beragam teks tersebut lebih mengandung nilai seni yang otonom sekaligus khas, daripada memajang iklan produk kecantikan atau memajang poster calon anggota legislatif, calaon Bupati, atau calon-calon lain yang piawai menampilkan senyuman menipu, membosankan dan sarat dengan kepentingan politik jangka pendek.

Selain itu, kepiawaian penulis teks di badan truk jelas menunjukkan kemampuan mengolah wacana, menangkap realitas yang majemuk, serta problematika kehidupan sehari-hari kaum papa, utamanya isu ekonomi seperti teks berikut ini:

“Pulang malu tak pulang rindu, Demi anak istri”

“Jangan ditabrak! Hutang Belum lunas”

“Bukannya Aku tak memperhatikanmu, tetapi Aku sibuk bekerja untuk membahagiakanmu”

“Aku kerja keras, karena aku yakin untuk halalin Kamu tak cukup dengan cinta", dan “Bersatu di pangkalan bersaing di jalanan”.

Kali lain kita bisa menjumpai percikan teks berhubungan soal agama:

“Ridhlo Illahi, Utamakan sholat”, dan bahkan sedikit satire “Ngebut adalah ibadah. Semakin ngebut semakin dekat dengan Tuhan".

Rasanya ke depan saya perlu mewawancarai si penulis teks di badan truk, kira-kira apa yang melatari pilihan beragam teks tersebut.

Membaca teks-teks di badan truk secara “hitam-putih”, hemat saya di samping tidak memberi makna apa-apa bagi kita, juga menutup kesempatan kita belajar secara arif tentang realitas dunia para sopir lengkap tenunan pengalaman mereka.

Jalanan itu dunia yang keras. Menjadi sopir juga tidak gampang, apatahlagi dalam situasi ekonomi tidak menentu. Luapan perasaan sang sopir dan profesi yang digelutinya tampak terang benderang, sebagaimana teks berikut ini:

“Pergi jelas, pulang entah kapan, hasil pas-pasan”

“Putus cinta sudah biasa, putus rokok merana, putus rem matilah kita”

“Cintaku berat di bensin”, dan

“2 Anak cukup, 2 istri bangkrut. Selingkuh Oke!”.

Meminjam pandangan semiotika Roland Barthes, wacana (teks) tertulis di badan truk tersebut tak lain merupakan sistem komunikasi yang memuat pesan. Beragam teks di badan truk menjadi cerminan permasalahan sosio-kultur sebagian besar masyarakat akar rumput di Indonesia, yang melulu berkutat pada isu ekonomi, kriminalitas, perselingkuhan, krisis spiritualitas, distribusi keadilan yang tidak merata, serta kenyataan-kenyataan kecil yang paling fundamental yang kadang luput dari perhatian.

Tidak berlebihan kalau saya menyebut dunia sopir adalah ruang pergulatan yang menjanjikan banyak sisi untuk ditilik. Di satu sisi, ia dikenal sebagai profesi yang kerap bertugas berhari-hari di luar kota bahkan harus ke luar pulau dengan meninggalkan anak dan istri, tetapi di saat yang sama beban serta godaan yang tidak begitu enteng berada di pundaknya sepanjang jalan. Singkatnya, dunia sopir menyerupai kepadatan yang menguras emosi dan energi, yang terkadang jatuh dan mengeluh pada batas-batas harapan sendiri.

Acapkali sopir truk tampil urakan. Bau keringat yang menganggu. Ada juga yang menjadi pengunjung setia warung-warung remang di bibir jalan. Meski begitu, saya berkeyakinan sebagian besar mereka adalah orang-orang baik. Mereka manusia biasa. Mungkin mereka datang dari kalangan muda yang menanggung ekonomi keluarga, dan saat yang sama didesak kepastian oleh calon mertua. Mungkin mereka ayah dari beberapa anak, suami yang setia pada belahan jiwanya. Suami yang mendambakan anak-anaknya, sebagaimana digambarkan oleh Rabindranath Tagore,“Berbahagialah engkau, duduk di tanah, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi.”

Teks-teks di bokong truk adalah wajah kita. Sebagian kehidupan kita tersaji di situ. Ada banyak filosofi hidup yang bisa dimaknai lebih dalam. Meski bisa jadi teks-teks tersebut muncul karena iseng belaka, tapi jika didalami, banyak pesan penting yang dapat menjadi i’tibar bagi sesiapa saja.

Barangkali Gubernur, Bupati/Wali Kota di Provinsi Jambi atau calon kepala daerah yang akan berlaga, sekali-kali perlu memahami kandungan filosofis tulisan di badan dan bokong truk itu, seperti percikan kalimat berikut ini:

“Anda melucuti waktu untuk penumpukan harta dan kenyamanan. Kami butuh uang melunasi hutang”.

Tidakkah ini tentang ketimpangan pendapatan yang masuk akal, yang kadang luput dari perhatian pengambil kebijakan?

*Esai ini terbit pertama kali di rubrik oase portal kajanglako.com pada 1 Juni 2020.

0 Komentar